36 | Sakit Tak Terlihat

319 26 3
                                    

Nata mengantar Dahlia ke rumah sakit menggunakan mobilnya. Bara juga ikut serta bersama mereka berdua saat itu. Nata meminta Haura tetap di rumah menemani Vera karena masih trauma pada hal yang terjadi hari ini.

Bara melihat sosok Yoga yang duduk di depan ruang gawat darurat, ia pun segera memberitahu Dahlia dan Nata yang masih mencari.

"Mas Yoga! Bagaimana? Apa kata Dokter?" tanya Dahlia.

Yoga menatap ke arah Dahlia yang memang terlihat sangat cemas.

"Kenapa kamu masih peduli setelah apa yang hampir saya lakukan pada putramu?" tanya Yoga.

"Karena saya manusia dan saya punya hati. Sekarang katakan Mas, Dokter bilang apa mengenai keadaan Adisti?" desak Dahlia.

Bara dan Nata saling pandang selama beberapa saat di tengah keheningan yang terjadi saat itu.

"Apa kamu tahu, sudah berapa lama saya menunggu untuk menjadi seorang Ayah?" Yoga menatap kosong ke arah pintu yang tertutup.

"Mas, saya tahu Mas ingin sekali punya anak. Maka dari itu saya bertanya bagaimana keadaan Adisti?" Dahlia mengulang pertanyaannya.

Yoga pun menunjuk ke arah kiri, di mana sebuah papan nama besar terpampang di sana.

"Kamar Jenazah," gumam Nata.

Dahlia pun menutup mulut dengan kedua tangannya karena merasa shock.

"Kamu sudah berusaha Lia, kamu sudah berusaha menyelamatkannya dan calon anakku. Terima kasih," ungkap Yoga.

"Paman Yoga," Nata berusaha membuat Yoga tenang.

"Tidak Nata, jangan membujuk saya. Saya bukan orang yang pantas untuk kamu bujuk." tolak Yoga.

Nata pun terdiam.

"Bertahun-tahun saya selalu meminta pada Niken agar berkonsultasi ke Dokter supaya kami bisa punya anak. Tapi Niken menolak. Dia bilang hidup tanpa anak pun sudah membuatnya bahagia karena punya banyak harta. Sejak saya tahu alasan yang dia katakan, saya merasa begitu jijik karena telah menikahinya. Tapi di saat yang sama saya tidak bisa menceraikannya karena peraturan yang Papa buat untuk membuat Danu jera akan keputusannya."

Yoga menangis hebat.

"Nyatanya, peraturan itu bukan menyengsarakan Danu, karena Danu tahu bahwa jalannya benar. Peraturan itu malah menyengsarakan Mas Bagas dan saya! Mas Bagas tak bisa menyelamatkan Ibunya Haura dari Nia dan Mas Bagas tak bisa membebaskan Haura dari siksaan Nia meskipun dia tahu kalau Haura menderita! Saya pun begitu! Saya tidak bisa menceraikan Niken, meskipun Niken tak mau memberikan anak untuk saya! Semua karma dari apa yang Papa saya lakukan pada Danu jatuh pada saya dan Mas Bagas!"

Bara dan Nata pun segera meraih tubuh Yoga agar pria itu tenang.

"Paman, tenang dulu ya. Paman benar mengenai kesalahan Kakek. Paman benar. Kami tak menyalahkan Paman," bujuk Nata.

Yoga menatap Nata.

"Kakekmu..., Kakekmu yang membuat saya dan Paman Bagasmu sengsara! Dia sudah sangat keterlaluan pada kami, tapi dia tak pernah menyadari itu!" ungkap Yoga.

"Sudah Paman Yoga. Paman harus tenang. Kita akan bicarakan semuanya agar Paman bisa menceraikan Bibi Niken," Bara ikut membujuk.

"Untuk apa??? Adisti sudah mati bersama calon anakku!!! Untuk apa semua itu dibicarakan sekarang???" Yoga memberontak.

"CUKUP PAMAN YOGA!!!"

Nata akhirnya melewati batasan itu. Ia meluapkan emosinya agar Yoga berhenti bertingkah seperti orang gila.

"Kalau Allah mencabut nyawanya, maka itu sudah takdir! Dan hal itu juga menandakan bahwa dia bukan jodoh Paman!" bentak Nata.

Nata berusaha mengatur nafasnya lagi agar kembali tenang setelah Yoga tak memberontak seperti tadi.

"Sekuat apapun Paman berusaha untuk mempertahankan Adisti, kalau Allah sudah berkehendak lain maka Paman tidak bisa melakukan apapun. Benar, Kakek memang salah karena membuat peraturan sekejam itu sehingga Paman Yoga dan Paman Bagas menderita. Tapi bukan berarti, hal ini tidak bisa diperbaiki. Paman hanya perlu berhenti mendendam terhadap Kakek dan bicara padanya baik-baik. Jelaskan apa yang Paman tidak suka, jelaskan apa yang Paman inginkan. Kakek pasti akan mendengarkan jika itu memang untuk kebaikan hidup anak-anaknya," jelas Nata, halus.

"Abimu juga pernah mengatakan itu pada Paman..., dan lihat... ."

"Aku dan Ummiku kini tinggal bersama Kakek. Kami bukan lagi anggota keluarga yang tidak diakui oleh Kakek," potong Nata, "apakah Paman tahu, semua itu terjadi karena apa? Karena kami tidak pernah memaksa Kakek untuk mengakui kami. Kami hanya mendo'akannya agar Allah membukakan pintu hatinya, bukan untuk menerima kami, tapi untuk memaafkan kesalahan Abiku yang sudah lebih dulu meninggal ketimbang dirinya."

Bara menepuk-nepuk pundak Yoga agar sadar dengan semua kesalahannya.

"Allah adalah yang mengendalikan hati manusia. Sekeras apapun hati seseorang jika kita terus mendo'akan kebaikan untuknya, Insya Allah, Allah akan membuat hatinya menjadi lembut dan mau menerima saran yang baik. Tapi jika kita terus membenci dan mendendam, maka Allah juga akan semakin membuat hatinya menjadi sekeras batu. Intinya, semua itu tergantung dari diri kita sendiri," tutur Nata.

Dahlia menyeka airmatanya lalu bergegas menemui Dokter yang menangani Adisti tadi. Bara membawa Yoga ke mobil, Nata menyusul Ibunya.

"Apakah Adisti punya keluarga?" tanya Dahlia.

Nata menggelengkan kepalanya.

"Dalam resume pegawai pun tidak tercantum sama sekali mengenai Orangtua atau kerabatnya Mi," jawab Nata.

"Kalau begitu biar pihak rumah sakit saja yang urus jenazahnya termasuk memandikan dan mengkafani. Kita akan urus pemakamannya saja," ujar Dahlia.

"Baiklah, akan kuhubungi Pak Pranoto agar menyiapkan lokasi pemakaman untuk Almarhumah Adisti."

Hampir menjelang dini hari semua baru selesai dilakukan termasuk pemakaman untuk Adisti. Yoga di bawa pulang oleh Bara, sementara Nata dan Dahlia menuntaskan semuanya baru pulang ke rumah bersama Pranoto.

Akmal terlihat masih duduk di ruang keluarga saat Nata dan Dahlia tiba. Pria paruh baya itu tidak tidur demi menunggu menantu dan Cucunya kembali ke rumah.

"Maafkan saya Lia, maafkan saya yang lagi-lagi mengecewakanmu dengan kenyataan buruk dari masa lalu," ungkap Akmal.

"Jangan minta maaf pada saya Pak. Jangan minta maaf pada anak-anak Bapak. Kami ini hanya anak-anak, dan Bapak adalah Orangtua kami. Jika Bapak memang ingin mengubah peraturan itu, ubah saja agar tidak ada lagi kejadian seperti ini. Tolong, kasihanilah batin anak-anak Bapak yang sudah begitu menderita karena tak bisa melepaskan keburukan dari hidup mereka," pinta Dahlia.

Nata pun mendekat pada Akmal.

"Kita akan bicarakan lagi semuanya besok ya Kek, sekarang Kakek harus istirahat. Kakek tidak boleh kecapekan dan stress, nanti Kakek sakit," bujuk Nata.

"Tapi... ."

"Istirahatlah Pak. Nata benar, Bapak tidak boleh stress dan kecapekan," Dahlia setuju.

Nata pun membawa Akmal menuju ke kamarnya. Bagas dan Bara keluar dati kamar yang dulu Haura pakai sebelum menikah.

"Yoga sudah saya urus. Dia sedang tidur sekarang," ujar Bagas.

"Mas Bagas tidak usah pulang dulu bersama Bara dan Vera ya. Mas Bagas temani Mas Yoga agar perasaannya membaik," pinta Dahlia.

"Iya, saya akan temani dia," jawab Bagas, setuju.

Bara menatap Dahlia yang kini berjalan menuju kamarnya sendiri.

"Ya Allah, mengapa berat sekali kenyataan yang kau berikan untuk Bibiku?" batinnya.

* * *

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang