Akmal menatap kedua putranya yang kini berdiri di hadapannya dengan kepala tertunduk. Nata dan Bara sudah berusaha meminta Kakek mereka untuk tidak marah lagi pada Bagas dan Yoga, namun Akmal tentu saja tak bisa dibujuk dengan semudah itu.
"Pokoknya keputusan saya sudah bulat! Dua perusahaan milik keluarga ini akan dikelola oleh Bara! Saya tidak akan lagi menyerahkan perusahaan itu pada kalian berdua! Kalian sudah mengecewakan saya selama ini. dan saya tidak bisa memaafkan hal itu!" tegas Akmal.
"Kek, sudah, jangan terus marah-marah seperti ini. Nanti Ukhti Haura dengar dan dia malah jadi takut sama Kakek," bujuk Nata.
Akmal pun segera menurunkan nada suaranya. Bara sedikit terkejut karena bujukan Nata kali ini berhasil membuat Akmal diam.
"Kakek hanya tidak mau ada lagi yang berubah. Kakek sudah senang dengan adanya kamu dan Bara di rumah ini, Kakek tidak mau Bara melepas kembali perusahaan yang sudah dipegangnya dan Kakek tidak mau kamu melepas tanggung jawabmu terhadap pesantren yang ditinggalkan oleh Abimu," ujar Akmal, jujur.
"Kek, kedatangan Paman Bagas serta Paman Yoga ke sini bukan karena ingin mengambil kembali kepemimpinan perusahaan. Aku dan Mas Bara yang membawa mereka ke sini untuk menemui Kakek. Mereka berdua ingin bicara dengan Kakek, bukan ingin meminta apapun dari Kakek," jelas Nata.
"Setelah bicara, menurutmu mereka akan pergi begitu saja tanpa memaksa untuk meminta sesuatu? Percayalah Nak, Kakek sudah tahu betul bagaimana sifat mereka berdua," Akmal tetap menolak.
Dahlia hanya bisa mendengarkan semua itu sambil terus berdo'a agar dibukakan jalan yang terbaik oleh Allah. Ia tak ingin ikut campur, karena ikut campur hanya akan membuat segalanya menjadi lebih runyam.
"Kakek, dengarkan aku baik-baik. Tidak ada gunanya seorang manusia melaksanakan shalat, membaca Al-Qur'an, berpuasa, berzakat dan bahkan berhaji jika di dalam hatinya tersimpan dendam meski hanya sebesar butir debu. Semua amalan yang ia perbuat hanya akan menjadi sia-sia. Bukankah Kakek selalu bilang padaku bahwa Kakek ingin memperbaiki diri sebelum semuanya terlambat?" tanya Nata.
Akmal pun kembali terdiam.
"Sekaranglah saatnya Kek, perbaiki segalanya dan dimulai dari memaafkan yang bersalah. Paman Bagas dan Paman Yoga adalah manusia biasa yang bisa berbuat salah jika tidak dituntun dengan benar. Kakek sendiri yang menuntun mereka sejak dulu, maka jika mereka berbuat kesalahan berarti Kakek juga turut andil dalam kesalahan tersebut. Anak adalah cerminan dari Orangtuanya. Maka dari itu, ini saatnya untuk memperbaiki. Dimulai dari Kakek memaafkan mereka dan diikuti oleh Kakek yang akan menuntun mereka ke arah yang benar," Nata berusaha sekuat tenaga untuk membuat Akmal tidak lagi berkeras hati.
Bara tersenyum sambil menatap ke arah Nata.
"Air terjun," gumamnya, setengah berbisik.
Akmal pun akhirnya mengangguk, ia pun akhirnya mau membuka hatinya untuk bicara dengan kedua putranya.
"Kalau begitu, aku dan Mas Bara akan meninggalkan Kakek bersama Paman Bagas dan Paman Yoga agar kalian bisa berbicara."
Bara dan Nata pun keluar dari kamar itu lalu menutup pintunya agar Akmal benar-benar bisa mengungkapkan segalanya pada Bagas dan Yoga. Dahlia bangkit dari sofa seraya menatap ke arah putra dan keponakannya yang mendekat.
"Bagaimana? Apakah Kakek kalian tidak marah lagi?" tanya Dahlia, cemas.
"Insya Allah tidak Mi. Insya Allah Kakek akan bicara dari hati ke hati kali ini pada Paman Bagas dan Paman Yoga," jawab Nata sambil merangkul Ibunya dengan lembut.
"Bibi tenang saja, Nata memiliki segudang senjata bernama 'tausiyah' untuk meluluhkan hati Kakek," ujar Bara sambil melirik ke arah Nata.
Dahlia pun tertawa pelan dari balik niqob-nya.
"Ada-ada saja kalian berdua ini," ujar Dahlia.
Bi Inah datang mendekat ke arah Dahlia.
"Nyonya Lia, makanannya sudah matang semua, apakah mau langsung disajikan ke meja makan untuk makan malam?" tanyanya.
"Iya Bi, langsung saja disajikan ke meja makan," jawab Dahlia.
"Ummi sudah memasak? Bukankah tadi Ummi baru saja selesai mengantar Kakek check-up ke rumah sakit?" tanya Nata.
"Bukan Ummi yang memasak, tapi Nak Vera dan Nak Haura. Mereka kan sedang tidak ada kegiatan, makanya mereka memasak bersama di dapur," jawab Dahlia sambil mengeluarkan piring dari dalam lemari.
Bara dan Nata pun saling pandang.
"Alhamdulillah kita sudah tahu duluan, jangan sampai seperti kemarin dulu waktu kita salah memberi pujian atas masakan yang enak," bisik Bara.
Nata tersenyum.
"Jadi Mas Bara ingin memuji seseorang hari ini? Kalau begitu besok aku yang akan memasak, biar Mas Bara bisa memberi pujian itu untukku saja," ujar Nata.
Bara pun menyipitkan kedua matanya dengan cepat.
"Kamu latihan tausiyah sajalah Dek, ya. Jangan sentuh-sentuh dapur," bujuk Bara.
"Ayolah Mas, sekali saja...," Nata memohon.
"Jangan!"
* * *
Bara masuk ke mobilnya dan berangkat menuju kantor setelah selesai sarapan pagi di rumah utama. Nata pun begitu, setelah berpamitan dengan Ibunya ia juga bergegas masuk ke mobilnya sendiri dan berangkat ke pesantren.
Dahlia menatap Haura yang baru saja selesai meminum obatnya dibantu oleh Vera.
"Siap-siap ya sayang, sebentar lagi Guru Privat yang baru akan datang untuk mengajarimu," ujar Dahlia.
Haura tersenyum dari balik niqob-nya ke arah Dahlia.
"Baik Mi, aku akan bersiap-siap," jawabnya.
Vera menatap ke arah Dahlia.
"Nyonya Lia, bolehkah saya izin keluar hari ini? Ada beberapa hal yang harus saya urus dengan Adik saya di sekolahnya," pinta Vera.
"Tentu Nak, silahkan. Tapi jangan lupa telepon saya kalau ada hal yang dibutuhkan ya. Dan juga ajak Pak Saiful agar dia bisa mengantarmu ke sekolahnya Adikmu," Dahlia mengizinkan.
"Tidak Nyonya, saya akan pergi naik angkutan umum saja. Nanti tidak ada yang menjaga Tuan Besar kalau Pak Saiful mengantar saya," tolak Vera dengan halus.
Dahlia pun tersenyum sambil merangkul Vera dengan lembut.
"Baiklah kalau begitu, tapi kamu harus hati-hati ya di jalan," pesan Dahlia.
"Insya Allah Nyonya Lia, saya akan sangat berhati-hati di jalan," janji Vera.
Nata tiba di pesantren untuk menghadiri latihan dakwah bagi para santri dan santriwati. Latihan dakwah itu dicetuskan oleh Nata agar para santri dan santriwati terbiasa menyampaikan dakwah ketika mereka berada di tengah-tengah masyarakat.
Mahmud menyambutnya, latihan dakwah itu akan segera dimulai saat Nata tiba.
"Hari ini hanya para santri saja yang akan menerima pelatihan ini Akh Nata, para santriwati sedang menyetor hafalan mereka pada Ukhti Asma," ujar Mahmud.
"Ya Akh Mahmud, tidak masalah. Intinya kita akan memulai pelatihan ini dari sekarang agar mereka bisa menjadi penerus generasi yang terbaik," tutur Nata.
"Baiklah Akh Nata, mari silahkan masuk."
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Qadarullah
Espiritual[COMPLETED] Menerima setiap takdir yang Allah berikan bukanlah perkara mudah bagi setiap manusia di dunia ini. Namun itulah yang dilakukan oleh Nata, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Ummi dan Almarhum Abinya sedari kecil. Namun ketika akhirnya...