40 | Menjaga Titipan

531 26 15
                                    

Nata memarkirkan mobilnya di halaman rumah keluarga Brawijaya. Ia dan Yoga tak langsung turun dari mobil sebagaimana mestinya. Mereka berdua masih berdiam diri dengan pikiran mereka masing-masing.

"Kamu yakin, akan tetap merahasiakan hal ini dari Ummi dan istrimu?" tanya Yoga.

"Insya Allah Paman, aku akan tetap menjaga rahasia ini demi kebaikan mereka berdua. Mereka adalah tanggung jawabku, dan aku tidak akan membiarkan batin mereka terbebani sekaligus terluka oleh kelamnya masa lalu," jawab Nata, mantap.

Yoga pun mengangguk-anggukan kepalanya. Ia mengerti apa yang Nata pikirkan saat itu.

"Jika Almarhum Abimu ada di sini sekarang, maka dia juga akan melakukan hal yang sama seperti yang kamu putuskan," ujar Yoga.

Nata menoleh ke arahnya.

"Bagaimana Paman bisa tahu akan hal itu? Apakah itu hanya sebuah prediksi?" tanya Nata.

"Itu bukan hanya sekedar prediksi. Itu adalah hal yang benar-benar akan dilakukannya jika dia masih hidup."

Yoga menarik nafasnya selama beberapa saat.

"Almarhum Abimu mewarisi sifat yang sama persis dengan Almarhumah Nenekmu. Tangguh, pemberani, dan pelindung. Dia tangguh karena berani menghadapi semua hal tanpa takut akan akibatnya. Dia pemberani karena selalu mengambil resiko meskipun tahu kalau resikonya adalah hal terburuk yang akan terjadi. Dan dia pelindung bagi orang-orang yang ia cintai, dia tidak akan membiarkan siapapun terusik ataupun tersakiti, dia bahkan rela mati untuk melindungi orang-orang yang berharga di dalam hidupnya."

Di dalam hati, Nata pun membenarkan apa yang Pamannya katakan mengenai Abinya. Abinya memang sosok yang seperti itu, ia bahkan masih ingat terakhir kali saat Abinya melewati pintu rumah dan akan keluar sebelum malamnya beliau meninggal dunia. Sosok itu tersenyum padanya dan memegang kedua pundaknya dengan tegas.

"Suatu saat, Ummimu akan menjadi tanggunganmu jika Abi sudah tiada, tapi di sisi lain akan ada seseorang yang datang ke dalam hidupmu dan ikut menjadi tanggunganmu. Jadi belajarlah menyeimbangkan kedua bahumu. Jangan berat sebelah, jangan juga membuat keduanya terlalu rendah. Berjalanlah dengan tegap, lakukan semuanya dengan tenang, dan jangan pernah ragu-ragu ketika kamu harus melindungi seseorang."

Pesan itulah yang selalu Nata ingat di dalam hidupnya, dan kini, apa yang Almarhum Abinya pesankan menjadi kenyataan. Umminya akan selalu menjadi tanggungannya, dan juga datanglah Haura ke dalam hidupnya untuk menyeimbangkan berat kedua bahunya. Semua itu akan benar-benar ia jalani sampai tiba harinya, di mana ia tak mampu lagi untuk berdiri.

Dahlia keluar dari dalam rumah dan melihat ke arah mobil Nata yang sudah terparkir. Nata dan Yoga pun segera keluar dari sana lalu seakan-akan mereka berdua baru saja sampai.

"Assalamu'alaikum Mi," ucap Nata sambil mencium tangan Ibunya.

"Wa'alaikumsalam Nak," balas Dahlia.

"Assalamu'alaikum Dek," Yoga ikut menyapa.

"Wa'alaikumsalam Mas. Mas Yoga sudah ditunggu oleh Bapak di dalam," ujar Dahlia.

"Aku nggak ada yang nungguin Mi?" gurau Nata.

"Ada! Itu istrimu belum makan malam sejak tadi gara-gara menunggumu pulang! Sana masuk, bujuk dia supaya makan malam bersamamu," Dahlia memberikan cubitan di perut Nata.

Nata pun berpura-pura meringis kesakitan agar Umminya senang. Ia pun langsung masuk ke dalam rumah dan merentangkan kedua tangannya ke arah Haura yang begitu senang saat melihat kedatangannya. Mereka berdua pun saling memeluk dengan sangat erat, Nata mengecup puncak kepala istrinya dengan penuh kasih sayang.

"Assalamu'alaikum bidadariku," sapa Nata, manis.

"Wa'alaikumsalam kekasihku," jawab Haura, tak kalah manis.

"Ekhm! Ekhm! Tolong ya, jangan di depan umum! Mata kami bisa ternodai akibat ulah kalian berdua yang bermesraan di tempat umum," sindir Bara, terang-terangan.

Vera hanya bisa terkikik geli dengan kelakuan suaminya yang selalu saja menggoda Adiknya saat bersama Haura. Dahlia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan keponakan dan putranya yang sama sekali tak ada bedanya. Nata pun segera berpura-pura mengeluarkan ponselnya.

"Halo Assalamu'alaikum Vini. Dek, kamu nggak mau minta jemput sama Kak Bara gitu untuk pulang ke rumah?"

Bara pun mendelik seketika di tempat duduknya.

"Hei! Jangan coba-coba ya mengundang Vini pulang! Belum saatnya! Masa honeymoon-ku belum selesai!" omel Bara tak terima.

"Bara! Angkat dulu ini kardus ke gudang! Jangan honeymoon terus kamu!" perintah Bagas dari lantai dua.

HAHAHAHAHAHA!!!

Nata pun tak mampu menahan tawanya saat melihat Bara yang tak lagi berkutik saat Bagas memanggilnya. Ia pun segera makan malam berdua dengan Haura agar istrinya tidak mengalami nyeri lambung akibat terlambat makan. Bi Inah membawakan ikan bakar untuk Nata.

"Abi dengar katanya Ummi tidak mau makan malam sebelum Abi pulang ya? Kenapa? Kan nanti Ummi jadinya terlambat makan kalau menunggu Abi," tanya Nata.

Haura tersenyum.

"Siapa bilang? Ummi sudah makan kok sama Ukhti Vera tadi sore, hanya tidak banyak. Nah, tadi saat makan malam Ummi masih agak kenyang, jadinya Ummi bilang kalau Ummi mau makan malam bersama Abi," jelas Haura.

"Ooh..., Ya Allah, info yang Abi terima kurang lengkap ternyata. Afwan ya Mi kalau Abi salah paham."

Haura tersenyum seraya menganggukan kepalanya.

"Tidak apa-apa Bi, Abi bertanya seperti itu pasti karena Abi khawatir pada Ummi. Jadi Ummi tidak akan marah hanya karena sedikit kesalah pahaman yang tidak serius."

Nata pun menggenggam tangan istrinya dengan lembut.

"Setelah makan malam, kita bicarakan soal resepsi pernikahan ya. Abi mau kita merayakannya agar semua orang tahu kalau Abi sudah menikahi Ummi," ujar Nata.

"Apakah tidak akan mengganggu pekerjaan Abi kalau kita mengadakan resepsi pernikahan? Ummi takut pekerjaan Abi akan terbengkalai," Haura khawatir.

"Insya Allah tidak akan ada yang terbengkalai Mi. Lagipula kan hanya sehari, bukan berhari-hari," Nata meyakinkan.

Dahlia mendekat untuk membawakan puding untuk putra dan menantunya.

"Ummi juga sudah memesankan baju pengantin untuk dipakai Haura di hari resepsi pernikahan kalian. Jadi, tinggal membicarakan tanggal dan waktu yang tepat untuk pelaksanaannya saja," ujar Dahlia.

"Kalau lusa bagaimana Bibi Lia?" saran Bara yang baru selesai mengangkat kardus ke gudang bersama Bagas.

"Oh iya, kebetulan lusa kan hari minggu, jadi para tamu yang akan hadir juga tak terhalangi oleh kegiatan kantor ataupun kegiatan lainnya," Nata terlihat setuju.

"Hmm..., Vini akan senang sekali kalau tahu hari minggunya akan terpakai lagi untuk menghadiri pesta pernikahan seperti sepuluh hari yang lalu," ujar Vera.

"Nah, dia pasti yang paling semangat kalau kita beritahu sekarang," tebak Dahlia.

Bara, Nata, dan Haura tertawa mendengar apa yang Vera dan Dahlia katakan. Vini memang selalu bersemangat menghadiri acara penuh keramaian, dia suka sekali dengan bunga-bunga hias dan Nata akan memastikan hal itu ada di dalam acara resepsi pernikahannya dengan Haura.

Haura menatap suaminya dengan berjuta rasa bahagia yang tergambar jelas di kedua matanya, Nata pun tersenyum ke arahnya sambil terus menggengam tangan istrinya dengan erat seakan tak ingin melepaskan. Nata merasa segalanya telah lengkap di dalam hidupnya, dan ia ingin terus mempertahankannya.

"Abi, Insya Allah aku akan selalu menjaga Ummi dan berbakti kepadanya sampai akhir hayatku. Abi, aku juga akan menjaga Haura, gadis kecil yang Abi yakini akan menjadi bagian hidupku meskipun hanya dalam sekali lihat. Insya Allah, aku takkan pernah melepaskannya, aku akan berjuang untuk menjadi imam yang baik di dalam hidupnya. Insya Allah, aku takkan mengecewakan Abi," janji Nata.

* * *

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang