13 | Terus Mendampingi

299 27 5
                                    

"Hanya saja apa Mas?" tanya Nata, tak sabar.

Bara menarik nafasnya dalam-dalam.

"Hanya saja Ukhti Haura kembali histeris tadi saat berada di Kantor Polisi Dek. Pak Pranoto berinisiatif membawanya ke rumah sakit, dan sekarang dia masih berada di bawah pengaruh obat penenang yang diberikan oleh Dokter," jelas Bara yang terdengar begitu sedih.

"Astaghfirullah hal 'adzhim," Nata pun beristighfar.

"Aku mau memberitahu Ummimu Dek, hanya saja rasanya aku tidak tega jika kembali mengabarinya dengan sebuah beban. Beliau sudah cukup terpukul dengan kenyataan bahwa sahabat baiknya ternyata telah meninggal dunia, apakah aku harus menambahkan kesedihannya dengan mengabarkan kalau Ukhti Haura kembali histeris?" Bara seakan meminta pertimbangan.

Nata menarik nafasnya sejenak selama beberapa saat. Ia sendiri pun merasa sangat tak tega jika harus memberitahunya mengenai kondisi Haura, namun ia tak memiliki pilihan lain selain berkata jujur pada Ibunya. Kebohongan hanya akan semakin memperkeruh masalah yang sudah ada.

"Mas Bara, sekarang Mas Bara tenang saja ya. Mas Bara hanya perlu fokus pada apa yang harus Mas Bara lakukan. Biar Ukhti Haura di jaga oleh Ukhti Vera, aku yang akan menghubungi Ummi untuk memberitahunya mengenai keadaan Ukhti Haura. Sekarang selesaikanlah yang harus Mas selesaikan bersama Pak Pranoto," saran Nata.

Pranoto mendengar hal itu, Bara memang menyalakan loudspeaker ponselnya sejak tadi. Pria itu sangat tak ingin menyembunyikan sesuatu dari siapapun, dan Pranoto kini menyadari bahwa Bara tidak berpura-pura melakukan semuanya. Dia bahkan tak bertanya soal kantor meski tahu kalau Nata sedang tak bisa pergi ke kantor.

"Baiklah Dek, akan aku katakan pada Pak Pranoto agar aku bisa menyelesaikan semuanya hari ini. Assalamu'alaikum," pamit Bara.

"Wa'alaikumsalam," balas Nata.

Sambungan telepon itu terputus, Bara menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Ia kemudian bersandar pada dinding luar rumah sakit sambil mengusap wajahnya yang terlihat begitu frustasi. Sebuah sentuhan yang tegas di bahunya membuat Bara menoleh dengan cepat ke arah orang yang menyentuh bahunya.

"Haura sudah agak membaik, tapi Dokter belum mengizinkan dia untuk keluar dari rumah sakit," ujar Pranoto.

"Kalau begitu, mari kita berdua saja yang kembali ke Kantor Polisi Pak. Nata bilang, saya harus menyelesaikan semuanya hari ini dan meminta Pak Pranoto untuk mendampingi saya," ajak Bara.

"Baiklah, mari kita ke Kantor Polisi lagi," Pranoto pun setuju.

* * *

Dahlia tiba di rumah sakit setelah Nata menjemputnya, wanita itu bergegas menuju ke ruangan yang di tempati oleh Haura sesuai dengan yang Vera katakan di telepon. Nata menunggu di luar ruangan, sementara Dahlia masuk ke sana dan langsung menghambur memeluk Haura.

"Ya Allah, putri Ummi kenapa? Ummi sangat khawatir setelah mendengar mengenai keadaanmu dari Nata. Maafkan Ummi ya karena tak bisa menemanimu tadi siang," ujar Dahlia sambil mengusap kepala Haura dengan lembut.

"Nggak apa-apa Mi, maaf karena aku sudah membuat Ummi khawatir. Aku terlalu emosional saat mendengar kembali kejadian itu ketika diceritakan oleh Akh Bara. Aku merasa semuanya seakan kembali berputar dengan jelas di depan mataku Mi. Aku sangat ketakutan dan aku menjadi tidak bisa mengendalikan diri," Haura mengakui.

"Nggak, kamu tidak salah Nak. Semua itu memang terjadi di depan matamu dan juga Bara. Wajar jika kamu atau Bara masih mengingat dengan jelas bagaimana hal itu terjadi. Setiap hal buruk yang pernah kita lalui tentu tidak mudah untuk membuatnya lenyap begitu saja, semua butuh proses, semua butuh waktu. Pada saat itulah, di butuhkan kesabaran agar bisa menyelesaikan segalanya dengan baik," tutur Dahlia.

Haura pun menyeka airmatanya dari balik niqob yang masih dikenakannya sejak pagi. Dahlia beralih menatap ke arah Vera.

"Ukhti Vera, syukron ya atas kesigapanmu dalam mengurus Haura. Ukhti bisa beristirahat dulu sekarang, biar saya yang menjaga Haura," saran Dahlia.

Vera pun tersenyum dari balik niqob-nya.

"Syukron Nyonya Lia, saya akan keluar dulu untuk mencari makanan sekaligus shalat Ashar karena sebentar lagi waktunya akan tiba," ujar Vera.

"Iya Ukhti Vera, silahkan," balas Dahlia.

Vera pun keluar dari dalam ruang perawatan itu, Nata sempat melihatnya sekilas namun kembali pada ponselnya yang sedang menampilkan Al-Qur'an yang tengah dibacanya. Bara dan Pranoto pun muncul tak lama kemudian setelah mereka menyelesaikan semuanya di Kantor Polisi. Nata menyambut Bara dengan memeluknya seperti pada Kakak sendiri.

"Laporannya sudah diterima oleh pihak kepolisian, rencananya mereka akan segera melakukan penangkapan pada Nia dan Niken besok pagi," ujar Pranoto.

"Alhamdulillah Ya Allah. Kalau begitu kita hanya tinggal menunggu hasilnya dari pihak kepolisian," ujar Nata.

"Ya, itu benar sekali. Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Haura?" tanya Pranoto pada Nata.

"Sepertinya Ukhti Haura sudah membaik. Dia masih ada di dalam bersama Ummi saya Pak Pranoto," jawab Nata.

"Alhamdulillah kalau begitu. Baiklah, karena masih ada yang harus saya urus, maka saya akan segera kembali ke kantor lebih dulu," pamit Pranoto.

"Baiklah Pak, hati-hati di jalan."

"Iya, Insya Allah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Bara dan Nata bersamaan.

ALLAHUAKBAR..., ALLAHUAKBAR...!!!

Suara adzan Ashar pun berkumandang, Bara dan Nata berjalan menuju mushala rumah sakit untuk melaksanakan shalat agar tak terlambat. Usai shalat, Bara menahan Nata agar tetap duduk di sampingnya.

"Ada apa Mas Bara? Katakan jika ada yang ingin Mas Bara katakan padaku," Nata menunggu dengan sabar.

"Begini Dek, aku sudah melakukan semua hal yang kamu sarankan, tapi rasanya beban yang selama ini aku tanggung masih saja terasa berat di pundakku. Aku tidak mengerti kenapa bisa begitu. Apakah karena Ukhti Haura yang belum benar-benar memaafkanku atas semua tindakan diamku selama ini mengenai pembunuhan terhadap Almarhumah Ibunya?" tanya Bara.

Nata begitu memahami bagaimana perasaan bersalah yang masih saja mengakar di dalam hati Bara. Semua yang pernah terjadi di masa lalu adalah luka yang ditorehkan oleh Ibunya sendiri. Dan luka itu, sudah jelas takkan dengan mudah menghilang begitu saja seperti debu yang tertiup oleh angin.

"Mas Bara, semua hal itu butuh proses. Mas tahu sendiri bagaimana keadaan Ukhti Haura selama sepuluh tahun terakhir ketika Bibi Nia dan Bibi Niken menyiksanya. Dia masih dalam proses mengatasi trauma yang ada di dalam dirinya. Begitu juga dengan masalahnya pada Mas Bara, dia butuh proses untuk menerima bahwa apa yang Mas Bara lakukan adalah demi kebaikannya dan demi keadilan untuk Almarhumah Ibunya. Ukhti Haura tidak pernah sekolah sampai selesai selama ini, dia pernah bersekolah hanya sampai di bangku SD kelas tiga. Maklumilah dia, berikan waktu padanya untuk memahami bahwa tidak semua kebohongan memiliki maksud yang buruk," saran Nata.

Bara pun mengangguk.

"Iya Dek, aku akan terus memberinya pengertian sampai dia mengerti. Tapi, maukah kamu juga membantuku Dek? Jujur saja, kadang aku tidak punya keberanian untuk menghadapinya sendirian. Aku takut dia akan semakin membenciku dan aku takut kalau dia akan berpikir bahwa aku memaksakan kehendak tentang pemahaman yang kupikirkan selama ini," pinta Bara.

"Insya Allah Mas, aku akan selalu membantu Mas Bara untuk memberi penjelasan pada Ukhti Haura," janji Nata untuk meyakinkan Bara seraya tersenyum tulus pada pria itu.

Vera masih mendengarkan dari balik tirai pembatas mushala rumah sakit itu. Ia kini mengerti mengapa Bara begitu murung di setiap langkahnya.

'Ya Allah, mengapa kau harus memberikan beban seberat itu pada hamba-Mu yang belum tentu mampu menanggung beban seperti dia?'

* * *

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang