22 | Memutus Satu Derita

238 24 12
                                    

"Awalnya, mereka biasa saja waktu pertama kali aku masuk ke sana bersama Kak Vera. Tapi sejak Kak Vera sering pergi kerja dan harus tinggal di rumah pasien yang dirawatnya, mereka mulai sering menggangguku," ujar Vini

Bara mendengarkan dengan seksama.

"Alasannya, karena setiap kali Kak Vera datang atau pulang ke panti asuhan, Kak Vera selalu membelikan barang-barang baru untukku. Entah itu sepatu, tas, baju, atau hanya sekedar makanan. Mereka berpikir, aku kan yatim piatu seperti mereka, seharusnya aku juga tidak makan yang enak, tidak pakai baju yang layak, tidak pakai sepatu bagus, dan tidak punya tas baru. Seharusnya aku selusuh mereka dan mereka tidak terima karena aku selalu beruntung mendapatkan barang-barang baru," Vini menangis tak bersuara sambil menatap keluar jendela.

"Lalu selanjutnya apalagi?" tanya Bara tenang meskipun di dalam hatinya sudah sangat geram sejak tadi.

"Aku pernah cerita pada Kak Vera, lalu Kak Vera berinisiatif membelikan mereka juga barang yang sama agar aku tak lagi diganggu. Tapi yang terjadi justru bukan malah membaik, mereka malah merasa terhina oleh tindakan yang Kak Vera lakukan. Mereka bilang, 'kami tidak butuh sumbangan dari sesama anak yatim piatu! Kalau kami mau, kami bisa kok cari uang dan membeli barang seperti yang kamu punya', lalu baju yang baru dibelikan Kak Vera waktu itu langsung mereka robek agar aku tak bisa memakainya sama sekali."

Kali ini suara tangis Vini begitu terdengar dengan jelas oleh Bara. Bara sangat mengerti kalau gadis kecil itu sangat tersiksa dengan keadaannya selama ini.

"Sudah ya, jangan menangis lagi. Kamu adalah gadis yang kuat, dan Kakak yakin kamu juga gadis yang tabah dalam menghadapi apapun. Buktinya, selama ini kamu mampu bertahan di sana meskipun keadaan sangat sulit," ujar Bara.

Vini pun menghapus arimatanya dengan kedua tangannya yang masuk ke balik niqob di wajahnya. Ia pun tersenyum tanpa menoleh ke arah Bara.

"Syukron Kak, atas apa yang Kakak lakukan untukku. Kak Vera beruntung karena bisa berteman dengan orang seperti Kak Bara yang tidak memandang kondisi kami dengan sebelah mata," ucap Vini.

Bara ikut tersenyum, meskipun wajahnya kembali menunjukkan ekspresi kebingungan seperti dua hari yang lalu.

"Afwan Dek. Jangan terlalu dipikirkan. Oh ya, boleh Kakak tanya sesuatu?"

"Boleh Kak Bara. Kakak mau tanya apa?"

Bara terdiam selama beberapa saat.

"Tadi kamu bilang Kakakmu beruntung karena bisa berteman dengan Kakak. Memangnya selama ini Kakakmu tidak punya teman?" Bara ingin tahu.

"Punya Kak, banyak. Tapi..., mereka semua menjauh saat hidup keluarga kami mulai jatuh setelah meninggalnya Almarhumah Ibu. Bapak jadi sering mabuk-mabukan dan berjudi hingga membuatnya menggadaikan rumah peninggalan Almarhumah Ibu. Almarhum Bapak meninggalkan hutang untuk kami saat meninggal, dan akhirnya rumah peninggalan Almarhumah Ibu disita oleh bank," Vini bercerita dengan suara yang begitu berat.

"Lalu?"

"Lalu kami keluar dari rumah itu dan Kak Vera mulai bekerja sana-sini untuk melunasi hutang yang Almarhum Bapak tinggalkan. Teman-temannya menjauh, mereka tak mau dipermalukan karena memiliki teman yang miskin dan terlantar. Sejak itu Kak Vera tak pernah lagi mau mengandalkan siapapun, bahkan jika kami menderita, dia hanya diam dan memendamnya sendiri."

Dada Bara rasanya ingin meledak mendengar apa yang Vini ceritakan padanya. Ada yang terasa sakit di dalam hatinya ketika tahu kalau Vera yang setiap hari ia lihat berusaha membuat Haura ceria, ternyata memiliki masalah yang rumit di dalam hidupnya. Sangat ironi.

"Kak Vera bahkan pernah dituduh lalai dalam menjaga pasiennya. Pasien itu meminta pada Kak Vera untuk diambilkan air, katanya dia akan menunggu jadi tak perlu ikut bersama Kak Vera ke dapur. Tapi saat Kak Vera kembali, pasien itu sudah mengiris pergelangan tangannya dengan silet yang dia temukan. Semua orang menyalahkan Kak Vera dan mengatakan bahwa dia lalai hingga tak mau mendengar penjelasannya."

"Loh, kok bisa?" Bara mengerenyitkan keningnya.

"Iya Kak, keadaannya memang seperti itu. Kak Vera bahkan tidak dibayar atas pekerjaannya karena mereka menganggap tindakan itu sebagai ganti rugi atas kelalaiannya, dan sejak itu Kak Vera jarang dipekerjakan oleh orang yang membutuhkan jasa perawat rumahan. Tempatnya bekerjalah yang tak pernah memperlihatkan resume-nya pada orang yang mau memakai jasa, sehingga tak ada yang memilihnya," ujar Vini.

"Jadi, baru sekarang Kakakmu mendapat pekerjaan lagi?"

"Iya, setelah tujuh bulan berlalu sejak kejadian itu. Kak Vera senang sekali karena akhirnya ada yang memilihnya tanpa melihat resume dari pemilik tempat kerjanya. Katanya, Bapak itu hanya mencari perawat wanita yang memakai niqob. Itu saja, dan Kak Vera pun terpilih," jawab Vini, senang.

Bara pun kembali tertawa mendengarnya. Ia menghentikan mobilnya di depan sebuah toko buku dan meminta Vini mengikutinya.

"Kita mau ngapain ke sini Kak Bara?" tanya Vini.

"Kita mau beli peralatan baru buat kamu. Nanti di pesantren kamu akan butuh Al-Qur'an, beberapa kitab, dan juga peralatan tulis yang lengkap," jawab Bara.

"Tapi aku punya Al-Qur'an kok Kak," tolak Vini secara halus.

"Iya, tapi kecil dan sudah rusak. Kamu harus punya yang baru, agar kamu lebih semangat dalam menghafalkan Al-Qur'an. Masih ingat janjimu sama Kakak, kan?" Bara mengingatkan.

Vini pun tersenyum dari balik niqob-nya dengan penuh semangat kembali. Bara memilih satu buah Al-Qur'an, satu buah tafsir, dua buah buku kumpulan hadits shahih, dan beberapa kitab yang sering ia lihat pada jadwal di kantor milik Nata. Bara juga tak lupa memilihkan alat tulis dan beberapa buku catatan agar Vini tak kesulitan saat belajar di sana.

Usai membayar barang belanjaan mereka, Bara pun kembali menyetir mobil dan membawa Vini ke pesantren yang jaraknya sudah sangat dekat. Ia memarkirkan mobilnya di depan pesantren ketika tiba dan melihat Nata yang sudah menunggunya di depan pintu masuk. Nata pun mendekat.

"Assalamu'alaikum Mas Bara," sapa Nata.

"Wa'alaikumsalam Dek. Kenalkan, ini Vini, Adiknya Ukhti Vera," ujar Bara.

Vini pun menangkupkan tangannya di depan dada seperti yang biasa Vera lakukan pada pria yang bukan mahramnya. Nata pun tersenyum.

"Assalamu'alaikum Kak Nata," ujar Vini.

"Wa'alaikumsalam Ukhti Vini, selamat datang di pesantren Al-Mukaromah dan semoga kamu betah ya tinggal di sini," balas Nata, ramah.

"Insya Allah Kak, aku pasti betah. Aku harus bisa menghafalkan Al-Qur'an untuk memenuhi janjiku pada Kak Bara," jawab Vini, penuh semangat.

"Masya Allah, sikapnya sama persis seperti Ukhti Vera. Sepertinya Ukhti Vera memang panutan yang baik untuk Adiknya," puji Nata.

Bara tersenyum mendengar hal itu, lalu kembali menatap Vini.

"Kalau ada keperluan yang harus kamu penuhi, katakan saja pada Kakak ya, tidak usah pada Kak Vera. Biar hati Kak Vera lebih tenang saat bekerja," pesan Bara.

"Iya Kak. Syukron atas semua yang sudah Kakak lakukan untukku dan Kak Vera," ucap Vini.

"Afwan."

"Ayo, kamu akan di antar menuju asrama putri oleh Ustadzah Dian. Malam ini kamu tidak perlu ikut kegiatan apapun dulu, beristirahat saja. Besok baru kamu mulai kegiatan sesuai jadwal yang diberikan," ujar Nata.

"Baik Kak Nata."

Vini pun mengikuti langkah Ustadzah Dian yang sudah menunggu kedatangan santriwati baru seperti yang Nata kabarkan tadi. Kini Bara dan Nata saling menatap satu sama lain.

"Alhamdulillah Mas, kamu telah membebaskan satu penderitaan dari dalam hidupnya."

"Ya, tapi sayangnya masih banyak derita di dalam hidupnya Dek. Derita yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya," balas Bara dengan wajah sendu.

* * *

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang