Kedua mobil milik keluarga Brawijaya tiba bersamaan ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Bara dan Nata saling tersenyum saat bertemu usai bekerja seharian di kantor dan pesantren. Pak Saiful masuk lebih awal agar bisa segera makan malam dan beristirahat, sementara kedua pria itu duduk di bangku taman untuk melepas penat.
"Bagaimana keadaan di pesantren? Apakah sekarang kamu bahagia karena benar-benar bisa menjalankan apa yang Almarhum Abimu tinggalkan untukmu?" tanya Bara.
"Alhamdulillah Mas, semua hal yang ada di pesantren sangat lancar. Semuanya juga berkat saranmu dulu saat pertama kali kita bertemu. Seandainya aku dan Ummi tidak mengikuti saranmu, maka pesantren itu kini mungkin hanya tinggal nama sekaligus kenangan tentang Almarhum Abiku," jawab Nata.
Bara tahu kalau Nata selalu memiliki sifat rendah hati pada siapa saja, tapi ia tak pernah mengira kalau sifat itu akan selalu melekat dengan erat pada diri pria itu sampai sekarang.
"Semua karena Allah Dek, aku hanya perantara yang Allah kirim untuk menjembatani kemudahan dalam hidupmu dan Ummimu. Lagipula, kalian berdua sudah terlalu banyak bersabar dalam hidup ini. Bahkan kalian berdua pun tidak pernah keberatan atau marah ketika Kakek tidak menganggap kalian sebagai bagian dari keluarga ini," pandangan Bara menerawang, seakan tengah kembali mengingat masa lalu.
Nata menepuk pundak Bara dengan lembut.
"Mas, Allah sudah menetapkan jalan bagi setiap umatnya di dunia ini. Kita hanya perlu menjalani dan bersyukur. Mengeluh hanya akan membuat hidup semakin sulit. Tidak seharusnya seorang muslim atau muslimah mengeluh akan kehidupannya, karena jika dipikirkan lebih dalam maka seorang manusia tidak akan pernah sanggup menghitung kenikmatan yang telah dirasakannya selama ini. Kenikmatan di setiap langkah dan waktu yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta'ala tidak akan pernah sanggup dihitung oleh siapa pun Mas. Dengan banyaknya kenikmatan yang selama ini telah aku dan Ummiku rasakan, maka tentu tidaklah pantas jika aku masih saja mengeluh," jelas Nata.
Bara tersenyum.
"Apa kubilang..., kamu itu kalau bicara bawaannya bikin sejuk kaya air terjun. Padahal nyatanya saat ini aku gerah sekali dari tadi karena belum mandi," ujar Bara.
Nata pun ikut tersenyum mendengar apa yang Bara katakan tentangnya.
"Mas Bara ada-ada saja. Kalau begitu ayo pulang, nanti kita ke rumah utama setelah mandi dan shalat isya untuk makan malam di sana," ajak Nata.
"Ya, aku memang mau makan di rumah utama kok. Biarpun ada makanan di rumah kita sendiri, aku akan menolak untuk memakannya Dek," gurau Bara.
"Iya, iya Mas..., sadar diri aku kalau diriku ini nggak bisa masak," balas Nata.
Mereka berjalan menuju rumah mereka sendiri setelah berbincang beberapa saat. Dahlia pun mengurungkan diri untuk memanggil mereka untuk makan malam. Ia lebih memilih membiarkan Putra serta keponakannya untuk mandi dan shalat terlebih dulu seperti yang mereka inginkan. Akmal menatapnya saat ia kembali masuk ke rumah utama.
"Loh, mana Bara dan Nata? Sudah dipanggil?" tanya Akmal.
Dahlia tersenyum dari balik niqob-nya.
"Mereka berdua mau mandi dan shalat isya dulu Pak, setelah itu baru ke sini untuk makan malam," jawab Dahlia, pelan.
"Oh begitu rupanya. Ya sudah, biarkan mereka mandi dan shalat dulu, jangan lupa berikan mereka vitamin agar tetap sehat selama bekerja," pinta Akmal.
"Baik Pak, Insya Allah saya tidak akan lupa memberikan vitamin untuk mereka berdua."
Akmal pun di bawa oleh Pak Saiful menuju ke kamarnya agar bisa beristirahat. Dahlia sendiri kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam yang hangat untuk Nata dan Bara di bantu oleh Bi Inah. Tak lama kemudian, Nata dan Bara pun benar-benar datang ke rumah utama. Dahlia menyambut mereka berdua setelah kedua pria itu mencium tangannya.
"Ayo segera makan malam, jangan terlambat makan nanti lambung kalian berdua sakit," perintah Dahlia, tak ingin dibantah.
"Kakek mana Mi?" tanya Nata.
"Kakek kalian ada di kamarnya. Beliau sudah makan malam tadi bersama Ummi, Nak Haura, Nak Vera, dan Bi Inah. Sekarang Kakek mungkin sedang beristirahat. Temui saja setelah kalian makan malam ya, biar Kakek tidak kesepian," jawab Dahlia sekaligus memberi saran.
"Baik Bi, kami pasti akan menemui Kakek setelah makan malam," janji Bara.
Vera keluar dari kamar bersama Haura. Haura sendiri berjalan di belakang Vera seakan terlihat ragu-ragu akan sesuatu. Dahlia menatap kedua wanita itu dengan teliti, bahkan sebelum mereka sampai di hadapannya.
"Nak Vera? Ada apa?" tanya Dahlia, dengan kepekaan yang hebat seperti biasanya.
Vera terlihat berusaha tersenyum dari balik niqob-nya, namun Haura tetap saja bersembunyi di balik punggung Vera dan tak mengatakan apapun.
"Anu Nyonya Lia, itu...," Vera sangat ragu-ragu.
"Katakan saja, ada apa?" Dahlia kini sangat ingin tahu.
Nata dan Bara menunda makan mereka dan mendengarkan tanpa menoleh ke arah Vera ataupun Haura.
"Bisakah Ukhti Haura tidak lagi belajar bersama Guru Privat yang tadi datang ke sini Nyonya?" tanya Vera, memberanikan diri.
Dahlia mengerenyitkan keningnya keheranan. Begitupula dengan Nata dan Bara yang masih mendengarkan sejak tadi.
"Memangnya kenapa Nak Vera? Bukankah belajar itu sangat bagus bagi Nak Haura yang akan mengikuti Ujian Paket?" Dahlia menginginkan penjelasan.
Vera pun memperlihatkan tangan kiri Haura yang memar-memar akibat dari pukulan pada Dahlia.
"Astaghfirullah hal 'adzhim!!! Kenapa tangan kamu Nak??? Kenapa bisa memar-memar begini???" tanya Dahlia, panik.
Bara dan Nata pun menoleh setelah mendengar suara Dahlia yang meninggi karena kaget akan sesuatu. Sosok Vera dan Haura terhalang oleh sosok Dahlia sehingga mereka tak menatap ke arah kedua wanita itu secara langsung.
"Itulah alasannya Nyonya Lia, mengapa saya meminta Nyonya memberhentikan Guru Privat yang tadi datang. Saya sudah curiga ketika dia bilang sebaiknya saya keluar dari kamar selama Ukhti Haura belajar, dan inilah yang terjadi ketika saya memeriksa kondisi Ukhti Haura," jelas Vera.
Dahlia meminta Haura menatapnya. Bara mendengarkan dengan seksama, Nata pun begitu.
"Bilang sayang..., bilang sama Ummi apa yang sebenarnya terjadi?" bujuk Dahlia, melembut.
Haura menangis pelan dari balik niqob-nya.
"Dia bilang aku terlalu bodoh Mi, dan dia bilang akan percuma kalau aku ikut Ujian Paket karena aku bahkan nggak bisa menerima pelajaran dengan cepat. Dia memukulku dengan penggaris miliknya jika aku tidak bisa menjawab soal yang dia berikan. Aku tidak mau bilang pada Ummi, tapi Ukhti Vera memaksaku untuk bilang," jelas Haura.
"Loh! Jangan disembunyikan! Nak Vera benar dengan memaksamu mengatakannya pada Ummi. Jangan terus berdiam diri Nak, jangan siksa lagi dirimu dengan kebungkamanmu itu. Jangan menyiksa batinmu sendiri sayang, jangan...," Dahlia memeluk Haura erat-erat sambil mengusap punggungnya dengan lembut.
Bara menggeram.
"Kelewatan!"
"Ini nggak bisa dibiarkan Mas, besok aku sendiri yang akan segera memecat Guru Privat itu," ujar Nata yang tak kalah geramnya dari Bara.
"Pastikan dia juga akan dipecat dari lembaga yang menaunginya selama ini," tambah Bara.
"Ya, karena orang lain tak boleh menjadi korban seperti yang terjadi pada Ukhti Haura!" tegas Nata.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Qadarullah
Spiritual[COMPLETED] Menerima setiap takdir yang Allah berikan bukanlah perkara mudah bagi setiap manusia di dunia ini. Namun itulah yang dilakukan oleh Nata, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Ummi dan Almarhum Abinya sedari kecil. Namun ketika akhirnya...