EXTRA 1 | Belajar Kembali

378 23 10
                                    

Yoga memarkirkan mobilnya tepat di depan gedung pesantren. Vini membuka seat belt yang dipakainya agar bisa turun.

"Ingat, belajar yang rajin, jangan banyak main, jangan malas, jangan berhenti menghafalkan Al-Qur'an," pesan Yoga.

"Iya, Paman juga. Tuh, Paman sudah ditunggu sama Ustadz Mahmud," balas Vini.

Yoga pun terkekeh pelan ketika mendapat balasan dari Vini. Mereka berdua turun dari mobil, Mahmud pun menyambut mereka berdua.

"Assalamu'alaikum Vini, langsung ke asrama ya, Ustadzah Mala sudah menunggu untuk materi pagi di Masjid bersama santriwati lainnya," ujar Mahmud.

"Wa'alaikumsalam Ustadz. Saya akan langsung ke asrama sekarang. Titip Paman saya ya Ustadz," pinta Vini.

"Paman tidak akan lari kok!" Yoga berusaha meyakinkan.

Mahmud pun berjabat tangan dengan Yoga.

"Assalamu'alaikum Akh Yoga, mari kita masuk ke dalam," sapa Mahmud.

"Wa'alaikumsalam Akh Mahmud, tolong jangan didengar apa yang keponakan saya katakan ya. Insya Allah saya benar-benar tidak akan lari," janji Yoga.

"Iya Akh Yoga, saya percaya seratus persen pada Akh Yoga bahwa Akh Yoga tidak akan lari. Kalaupun Akh Yoga melarikan diri dari pelajaran yang saya ajarkan, maka saya bisa pastikan Akh Nata sendiri yang akan menyeret Akh Yoga kembali ke hadapan saya," jawab Mahmud, setengah mengancam namun tetap tertawa.

Sekarang Yoga mulai merasakan betapa seramnya Mahmud seperti yang selalu Vini ceritakan padanya sejak kemarin di acara resepsi pernikahan Nata dan Haura. Mendadak Yoga ingin mempertimbangkan kembali mengenai siapa yang akan menjadi pembimbingnya untuk belajar membaca dan menghafalkan Al-Qur'an.

Mahmud membuka sebuah pintu di mana ruangan itu kosong tanpa penghuni. Di dalamnya hanya ada satu meja dan dua kursi. Ruangan itu memiliki jendela yang bersih sehingga bisa membuat siapapun menatap ke arah pegunungan yang ada di belakang pesantren. Semuanya terasa sangat menenangkan bagi Yoga.

"Akh Yoga, silahkan duduk" ujar Mahmud mempersilahkan.

Yoga pun segera duduk di kursi kosong yang tak di tempati oleh Mahmud. Mereka duduk berhadapan sekarang, sehingga hawa-hawa keseraman yang Vini ceritakan tentang Mahmud.

"Baiklah, Akh Yoga, saya dengar dari Akh Nata kalau Akh Yoga sudah lama sekali meninggalkan bacaan  Al-Qur'an sehingga membuat Akh Yoga kesulitan untuk membacanya kembali. Kalau boleh tahu, apa penyebabnya sehingga Akh Yoga meninggalkan bacaan Al-Qur'an ini? Afwan, saya bertanya seperti ini agar tidak ada lagi ganjalan di hati Akh Yoga saat kembali mempelajari Al-Qur'an. Silahkan utarakan dan silahkan lampiaskan semua ganjalan itu sekarang, agar tidak ada hambatan di saat nanti Akh Yoga mulai belajar," pinta Mahmud.

Di ruangan sebelah - tanpa Yoga tahu - ada beberapa orang yang memantau kelas khusus tersebut. Kelas itu ditujukan untuk orang-orang yang begitu kesulitan dalam mempelajari Al-Qur'an. Semua aspek dalam kelas itu akan dinilai, termasuk aspek psikologi orang yang akan mempelajari Al-Qur'an.

Yoga pun terdiam. Wajah tampannya yang tak termakan oleh usia itu pun menunjukkan betapa berat masalah di dalam hidupnya.

"Sa..., saya...," lidah Yoga begitu kelu, "saya ingin sekali punya anak," namun bibirnya tetap tersenyum.

Mahmud mendengarkan, begitupula orang-orang di ruangan sebelah.

"Saya begitu bahagia melihat Kakak dan Almarhum Adik saya yang bisa memiliki anak. Saya sehat secara jasmani, mantan istri saya pun sehat secara jasmani. Dulu saya juga sehat secara rohani tapi tidak dengan istri saya. Saya terus membujuknya untuk ke Dokter berkonsultasi, agar tahu ada masalah apa sehingga kami sulit punya anak. Tapi akhirnya saya tahu jawaban sebenarnya, mantan istri saya sengaja meminum obat-obatan yang bisa mencegahnya agar tidak hamil," kedua mata Yoga berkaca-kaca.

Mahmud menangkap kekecewaaan yang sangat dalam dari raut wajah pria itu.

"Dia bilang pada saya dengan sangat jujur bahwa hidupnya sudah bahagia meskipun tidak punya anak, karena menikah dengan saya membuat hidupnya sudah terpenuhi dengan harta yang banyak. Baginya, saya hanya alat untuk mendapatkan kesenangan duniawi, jadi dia merasa tak perlu memenuhi apa yang saya mau, yaitu memiliki anak."

Yoga terdiam selama beberapa saat.

"Sejak itu, saya merasa kecewa pada Allah, karena saya berpikir Allah begitu tega pada saya dengan mengirimkan jodoh seorang wanita berhati iblis yang hanya bisa menyiksa saya tanpa sedikitpun berusaha membahagiakan saya. Tapi sepertinya saya juga salah mengenai pemahaman itu, karena ternyata Allah memberikan jalan yang begitu baik pada saya untuk bisa mengakhiri pernikahan laknat dengan wanita itu melalui keponakan-keponakan saya yang tak pernah berhenti berjuang," ungkapnya dengan penuh kelegaan di dalam dadanya.

Mahmud pun tersenyum.

"Apakah Akh Yoga sekarang merasa lega setelah mengungkapkan semuanya?" tanya Mahmud.

Yoga mengangguk.

"Ya, saya merasa sangat lega sekarang."

"Alhamdulillahi rabbil 'alamiin. Akhirnya semua beban itu sudah Akh Yoga ungkapkan sepenuhnya. Baiklah, mari sekarang kita mulai kembali mempelajari membaca Al-Qur'an secara bertahap. Dimulai dari surat Al-Fatihah sebagai surat pembukaan dalam Al-Qur'an," bimbing Mahmud.

Yoga pun bersiap-siap, ia sudah menyeka airmatanya dan memasang kembali kacamatanya dengan benar.

"Silahkan baca ta'awudz terlebih dahulu Akh Yoga," pinta Mahmud.

Yoga menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan.

"Auzu bilahi minasaitonir rojiim," ucap Yoga.

Mahmud tersenyum.

"Kita perbaiki dulu ya Akh, tolong ikuti yang saya ucapkan. A'udzu..., memakai huruf 'ain dan dzal, jadi dibaca A'udzu."

"A'udzu," Yoga mengikuti.

"Billahi, ada tasydid pada huruf lam, maka dibaca lebih panjang sebanyak dua harkat atau dua ketukan. Billahi."

"Billahi," Yoga benar-benar mengikuti dengan teliti.

"Minasy-syaithonir-rojiim. Di sana ada huruf syin bukan huruf sin dan ada tasydid di atasnya sehingga harus dibaca dua harkat atau dua ketukan. Begitupula dengan huruf ra dengan tasydid di atasnya. Jadi dibaca secara lengkap. A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim."

"A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim," Yoga mengikuti dengan benar dan tepat.

"Alhamdulillah, sangat bagus Akh Yoga. Sekarang mari kita mulai membaca surat Al-Fatihah sambil melihat hurufnya yang tertera di dalam Al-Qur'an," ajak Mahmud.

Mereka pun memulainya dengan serius. Di ruangan sebelah orang-orang yang memperhatikan bagaimana berjalannya kelas itu mulai memberi penilaian untuk bahan diskusi mereka nanti pada saat rapat.

"Luar biasa, setelah apa yang dia lalui, akhirnya dia mau kembali mempelajari Al-Qur'an dengan bersungguh-sungguh seperti saat ini. Tapi ini kan baru awal, kita tidak tahu bagaimana selanjutnya nanti," ujar Ustadz Galih, seakan tak terlalu yakin.

"Benar sekali Akh Galih, bukan sesuatu yang mudah untuk kembali membangun ulang hidup dari awal setelah melalui prahara luar biasa di dalam rumah tangga. Tapi dia adalah ikhwan yang kuat, Insya Allah dia akan bangkit dari keterpurukannya dan benar-benar menjalani hidupnya yang baru," Ustadzah Dian menunjukkan dukungannya terhadap Yoga.

Ustadz Galih kembali menatap ke arah kamera yang masih terus merekam kelas tersebut. Ia merasa agak lain setelah Ustadzah Dian menujukkan dukungannya secara terang-terangan seperti itu. Padahal Biasanya, Ustadzah Dian tidak pernah mendukung secara terang-terangan pada siswa khusus di pesantren itu.

"Ya, kita lihat saja nanti," balas Ustadz Galih, dingin.

* * *

Berlanjut Extrapart 2 ya... 😊

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang