29 | Keputusan

222 26 29
                                    

Bara berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya dengan gelisah seperti orang yang sedang menunggu sesuatu dalam ketidakpastian. Rio menatapnya dengan penuh tanda tanya. Bara yang ia kenal selama beberapa bulan ini adalah orang yang pendiam jika sudah berada di tempat kerja, sehingga kelakuannya hari ini membuat Rio kebingungan.

"Pak Rio, saya membutuhkan saran," ujar Bara.

Rio pun tersenyum.

"Iya Pak. Bapak sudah mengatakan hal itu sebanyak dua puluh delapan kali hari ini. Tapi Bapak tidak juga mengatakan pada saya mengenai saran apa yang Pak Bara inginkan," ujar Rio, sabar.

Bara pun berhenti untuk menatap ke arah Rio.

"Benarkah? Saya sudah mengatakan hal itu sebanyak dua puluh delapan kali hari ini?" Bara tak percaya dengan kelakuannya sendiri.

Rio tersenyum seraya mengangguk-anggukan kepalanya untuk menjawab pertanyaan dari Bara. Bara pun kembali memperlihatkan wajahnya yang gelisah luar biasa di hadapan Rio.

"Pak Bara sebenarnya kenapa? Apakah Pak Bara sedang sakit?" tanya Rio yang mulai khawatir.

"Begini Pak Rio, saya butuh saran," ujar Bara lagi.

"Dua puluh sembilan kali Pak. Sekarang katakan dengan jelas Bapak butuh saran apa dari saya?"

"Jadi tadi pagi, saya sedang dalam kondisi terdesak Pak Rio. Sehingga mau tak mau saya akhirnya mengutarakan niat mengkhitbah seseorang tanpa perencanaan sama sekali. Saya memang mau mengkhitbah akhwat tersebut, namun saya hanya tidak punya persiapan apa-apa tapi terlanjur terdesak oleh keluarga saya. Menurut Pak Rio saya harus bagaimana?" tanya Bara setelah menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.

"Masya Allah Pak Bara, saya kira Bapak kenapa sampai berkelakuan aneh seperti ini," Rio mendadak lega karena atasannya hanya sedang panas dingin karena baru saja mengkhitbah tanpa perencanaan, bukan gila.

Bara pun tersenyum serba salah ke arah Rio. Ia yakin sekali kalau Rio sudah mengambil ancang-ancang untuk menghubungi rumah sakit jiwa kalau ia tak juga mengatakan apa duduk permasalahannya.

"Begini Pak, saat ini kemungkinan besar keluarga Bapak sudah menyampaikan khitbah dari Pak Bara untuk akhwat tersebut. Jadi saat ini sebaiknya Bapak memberinya waktu untuk menjawab khitbah tersebut, sambil meyakinkannya bahwa Bapak benar-benar serius ingin menikahinya," ujar Rio.

"Cara untuk meyakinkannya bahwa saya benar-benar serius ingin menikahinya, bagaimana?" tanya Bara.

"Uhm..., Bapak belum pernah meyakinkan pacar Pak Bara sebelumnya?" Rio merasa bingung saat mendengar pertanyaan Bara.

"Saya tidak pernah pacaran Pak Rio, karena dalam Islam ikhwan dan akhwat tidak boleh berpacaran. Hukumnya haram! Saya bahkan belum pernah jatuh cinta sebelumnya, saya baru merasakan jatuh cinta pada akhwat yang saya khitbah saat ini," jelas Bara.

Rio pun tersenyum lagi.

"Masya Allah, beruntungnya akhwat yang Bapak khitbah. Insya Allah dia akan menjadi satu-satunya dan terakhir di dalam hidup Bapak sampai akhir hayat nanti," do'a Rio untuk Bara.

"Amiin yaa rabbal 'alamiin. Syukron atas do'anya Pak Rio. Jadi, bagaimana dengan sarannya?" Bara menagih.

"Sebaiknya begini Pak Bara... ."

* * *

Vera menangis di dalam sujudnya sambil terus memanjatkan do'a kepada Allah agar semua kebaikan mendekat ke dalam hidupnya dan keburukan pergi menjauh. Hatinya takkan berdusta, ia bahagia mendengar khitbah yang disampaikan oleh Dahlia dari Bara. Tapi entah kenapa ia begitu bimbang. Ia begitu takut menghadapi pandangan orang lain, ia takut kembali menerima tatapan tajam seperti yang pernah di terimanya dulu.

Haura mengawasinya, ia tahu persis bagaimana ketakutan Vera saat ini. Vera pernah menceritakan segalanya pada Haura, sehingga ia tahu bagaimana deritanya.

Usai Vera selesai melaksanakan shalatnya, Haura pun mendekat untuk merangkul wanita itu.

"Ukhti Vera, jangan terus-menerus merasa takut. saya tahu bagaimana perasaan Ukhti saat semua hal buruk itu terjadi. Tapi saat ini, bukan orang berpikiran picik yang tengah Ukhti hadapi. Saya pernah berpikiran buruk tentang Akh Bara, saya pernah marah sekali padanya karena tidak mengatakan semuanya mengenai yang dia lihat hari itu. Tapi apa yang dilakukannya adalah yang terbaik, yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan saya. Seandainya dia tidak bungkam, maka nyawa saya juga terancam, dan Ibunya akan membunuh saya seperti dia membunuh Ibu saya," ujar Haura.

Vera pun memeluk Haura, mereka menangis bersama di dalam pelukan itu.

"Akh Bara tidak akan menyakiti Ukhti, dia akan menjaga Ukhti dengan baik seperti dia menjaga saya agar tetap hidup selama ini. Ukhti jangan ragu padanya, karena dia juga akan menjadi Kakak Ipar yang baik untuk Vini. Vini akan punya keluarga yang lengkap seperti yang Ukhti harapkan untuknya," Haura meyakinkan Vera.

Vera melepaskan pelukannya dari Haura. Ia menatap wanita di hadapannya, yang usianya lebih muda lima tahun darinya namun deritanya sudah melebihi derita yang ia rasa.

"Apakah tidak akan ada yang mencela Akh Bara jika dia menikah dengan saya? Apakah Akh Bara tidak akan merasa malu jika hidupnya didampingi oleh saya? Apakah dia akan bertahan jika menerima celaan? Jawab saya Ukhti Haura, jawab saya," pinta Vera.

"Insya Allah tidak, Ukhti Vera," jawab Bara dari balik pintu yang terbuka.

Dahlia menemaninya berdiri di ambang pintu agar Bara bisa berbicara dengan Vera tanpa merasa takut ataupun canggung. Akmal menepuk-nepuk punggung Bara agar pria itu merasa tenang.

Vera mendengarkan dari dalam kamar. Haura masih merangkulnya.

"Insya Allah saya tidak akan mendengarkan celaan orang lain jika memang akan ada yang mencela, saya akan bertahan dan melindungi Ukhti agar tak perlu mendengar celaan itu. Insya Allah saya tidak akan pernah merasa malu jika Ukhti Vera menjadi pendamping hidup saya. Ukhti Vera akan menjadi pendamping yang pertama dan terakhir dalam hidup saya. Saya akan bertanggung jawab penuh atas hidup Ukhti Vera dan juga Vini. Insya Allah, saya akan pegang kata-kata saya seumur hidup," Bara berusaha meyakinkan.

Dahlia pun mendekat pada Vera, ia meraih Vera dari pelukan Haura yang selalu setia di sampingnya.

"Dengar, Bara sudah menjawab sendiri semua pertanyaanmu. Sekarang giliran kamu yang memberinya jawaban atas khitbahnya. Kamu sudah shalat istikharah kan semalam?" tanya Dahlia.

Vera pun menganggukan kepalanya.

"Sudah Nyonya Lia, saya sudah lakukan apa Nyonya sarankan," jawab Vera di tengah isak tangisnya.

"Kalau begitu sekarang katakan, apa jawabanmu untuk Bara," pinta Dahlia sambil mengusap wajah Vera yang basah karena airmata.

Vera berusaha menenangkan dirinya selama beberapa saat. Bara menunggunya di luar kamar bersama Akmal dengan jantung yang berdebar-debar hebat. Nata datang mendekat tanpa tahu apa yang sudah terjadi.

"Iya Akh Bara, saya menerima khitbah yang Akh Bara ajukan," Vera memberi jawaban.

"Alhamdulillahi rabbil 'alamiin!!!"

Semua orang mengucap syukur secara serempak untuk menggambarkan betapa leganya hati mereka atas jawaban yang Vera berikan untuk Bara. Nata memeluk Bara dengan erat.

"Alhamdulillah, sebentar lagi Mas Bara akan menjalani hidup yang baru. Barakallah Mas..., barakallah," ucap Nata bahagia.

"Syukron Dek, syukron atas semua dukunganmu untukku," balas Bara.

'Insya Allah, takkan ada hal buruk yang terjadi setelah kita bersatu nanti. Amiin yaa rabbal 'alamiin.'

* * *

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang