25 | Fitnah

232 26 22
                                    

Pranoto datang pagi-pagi sekali ke kediaman keluarga Brawijaya dengan wajah kalut, seakan ada hal berat yang di bawanya untuk keluarga itu. Bara menyambutnya dengan ramah, Nata sendiri sudah berangkat lebih awal ke pesantren karena akan ada pelatihan dakwah di sana.

"Ada apa Pak Pranoto? Kenapa Bapak terlihat sangat tidak biasa hari ini?" tanya Bara.

"Ada hal yang sangat penting Bara, seseorang melaporkanmu dan Nata ke Polisi atas tuduhan pelecehan seksual pada Karyawati," jawab Pranoto.

"Apa???" suara Bara meninggi.

Dahlia yang sedang mengurus Akmal di ruang tengah pun sampai menghentikan kegiatannya. Haura dan Vera tak berani keluar, mereka hanya berdiam diri di kamar yang pintunya terbuka lebar.

"Siapa orang gila yang melaporkan aku dan Nata atas tuduhan menjijikan itu???" tanya Bara, emosi.

"Namanya Adisti Bianika, dia adalah Karyawati yang kamu pecat," jawab Pranoto.

"Astaghfirullah hal 'adzhim!!! Saya memecat dia karena dia sangat kurang ajar Pak Pranoto. Dia bahkan berkata hal-hal tidak senonoh di depan saya dan Karyawati lain di hari pertama saya menjabat di perusahaan. Bapak boleh tanya sendiri pada Rio, dia menyaksikannya," jelas Bara.

Haura dan Vera pun saling pandang seketika saat mendengar semua itu.

"Astaghfirullah..., kenapa ada orang yang tega melakukan fitnah seperti itu pada orang yang baik seperti Akh Bara dan Akh Nata?" tanya Vera, pelan.

"Keterlaluan! Sangat keterlaluan!" tambah Haura, geram.

Bara pun mencoba menghubungi Nata dan menjelaskan semuanya secara singkat. Nata sedang dalam perjalanan kembali ke rumah setelah menutup telepon. Dahlia datang mendekat ke ruang tamu.

"Nak Bara, ada apa ini? Kenapa Bibi dengar suaramu begitu meninggi? Apa kamu tidak memikirkan Nak Haura dan Nak Vera yang mungkin saja takut mendengar suaramu?" tegur Dahlia.

"Afwan Bi, aku khilaf. Aku dan Nata terkena masalah, dan ini bukan masalah biasa Bi," jelas Bara.

Dahlia pun terdiam sesaat, Pranoto juga terlihat sangat gelisah di tempat duduknya saat itu.

"Baiklah, sekarang jelaskan pada Bibi, kamu dan Nata sedang terkena masalah apa?" pinta Dahlia.

Bara mengusap wajahnya dengan kasar, ia benar-benar frustasi. Sekilas, ia melihat Vera yang berada di ambang pintu kamarnya. Ia yakin sekali kalau kini Vera pasti sedang berpikiran buruk tentang dirinya.

Dahlia masih menantikan penjelasan dari Bara ataupun Pranoto, namun kedua pria itu lebih memilih diam dan menunggu kedatangan Nata. Bara berjalan ke arah pintu kamar tempat di mana Vera berdiri, namun tak benar-benar sampai di sana.

"Tolong, jangan salah paham. Semua yang Ukhti dengar, tidak seperti yang Ukhti kira," jelas Bara.

Vera tak menjawab, wajahnya memerah di balik niqob-nya. Ia buru-buru masuk ke kamar dan menutup pintu kamar itu rapat-rapat sebelum ada yang berpikiran macam-macam mengenai dirinya dan Bara.

"Astaghfirullah, kenapa Akh Bara harus memintaku agar tidak salah paham? Kenapa hanya aku yang tak boleh salah paham padanya?" tanya Vera, pada dirinya sendiri.

Haura jelas hanya bisa menggelengkan kepalanya, pertanda ia tahu jawaban dari pertanyaan Vera.

Bara menutup kedua matanya dan pasrah pada apa yang akan terjadi. Vera begitu terburu-buru menutup pintu kamar seakan tak ingin lagi melihat Bara. Wanita itu telah salah paham, Bara meyakini itu di dalam hatinya.

"Ya Allah, mengapa di saat aku baru akan memulai sesuatu semuanya menjadi sangat runyam seperti ini?" batin Bara.

Nata tiba tak lama kemudian. Ia menatap ke arah Bara yang masih mematung di tempatnya dan kemudian menoleh pada Pranoto yang masih duduk di sofa. Nata mendekat pada Dahlia lebih dulu.

"Mi, Ummi masuk ke kamar ya. Biar aku selesaikan semua masalah fitnah ini bersama Mas Bara," pinta Nata, lembut.

Dahlia menatap putranya lalu mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang.

"Nak, ingat pesan Almarhum Abimu ya, hadapi semua masalahmu dengan kepala yang dingin. Karena sebesar apapun masalah yang datang ke dalam hidupmu akan segera berlalu jika kamu berkepala dingin," pesan Dahlia.

Nata tersenyum.

"Iya Mi, Insya Allah aku akan selalu ingat pesan yang Almarhum Abi berikan padaku. Syukron karena Ummi telah mengingatkanku setiap saat," ungkap Nata.

"Afwan Nak. Ummi sangat menyayangimu."

Dahlia pun masuk ke dalam kamarnya setelah selesai berbicara dengan Nata. Bara mendekat, wajahnya begitu terlihat frustasi dan berantakan. Tidak seperti Bara yang biasanya.

"Mas, Mas Bara tenang saja. Insya Allah semuanya akan kita luruskan dan akan kita selesaikan hari ini juga," janji Nata.

"Apakah jika masalah ini selesai maka tidak akan ada yang salah paham padaku atau ragu akan kelakuanku di luar sana?" tanya Bara, penuh ketakutan.

Nata mengerenyitkan keningnya.

"Maksud Mas Bara apa? Siapa yang salah paham pada kelakuan Mas?" tanya Nata.

Bara terdiam selama beberapa saat.

"Ukhti Vera," jawab Bara, jujur.

"Ada apa dengan Ukhti Vera?"

"Aku memintanya untuk tidak salah paham dengan apa yang dia dengar sejak tadi saat Pak Pranoto mengatakan mengenai fitnah itu. Tapi dia tak mengatakan apapun, dia hanya bergegas masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat," jelas Bara.

Nata tersenyum serba salah.

"Mas, apakah Mas Bara yakin kalau Ukhti Vera salah paham terhadap Mas? Apakah dia masuk ke dalam kamarnya bukan karena salah tingkah akibat diri Mas Bara yang hanya memintanya untuk tidak salah paham?" selidik Nata

Bara pun kini menatap Nata sambil mengerenyitkan keningnya. Ia mulai berpikir ulang mengenai sebab dari Vera yang tiba-tiba menghindarinya dengan menutup pintu kamar itu rapat-rapat.

"Apakah benar kata Nata? Apakah dia masuk ke dalam karena salah tingkah terhadapku?" batin Bara.

Rio tiba di rumah keluarga Brawijaya tak lama kemudian. Pria itu menyerahkan sebuah kotak yang Nata minta sejak tadi. Nata pun segera menatap ke arah Pranoto.

"Ayo Pak Pranoto, kita ke kantor Polisi untuk melawan tuduhan wanita itu. Saya akan pastikan kalau kita yang akan menuntuk balik terhadapnya dengan tuduhan pencemaran nama baik," ajak Nata.

"Baiklah, ayo kita bergegas sebelum dia tahu kalau kita punya bukti yang memberatkan dia. Karena kalau sampai dia tahu, maka dia sudah jelas akan melarikan diri lebih awal sebelum kita bisa menuntut balik," balas Pranoto.

Bara mencegah Nata beberapa saat.

"Apakah buktinya sudah seratus persen akurat? Apakah tidak ada yang perlu diperiksa lebih dulu?" tanya Bara.

"Insya Allah bukti itu sudah seratus persen akurat Pak Bara. Saya sendiri yang memegang semuanya sejak awal Pak Nata menjabat di perusahaan. Pak Nata sudah merancang itu sebelum beliau duduk di perusahaannya dengan tujuan awal mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti pencurian dan pembobolan. Tapi saya sungguh tak menduga, kalau hal itu akan membuktikan hal yang lain sekarang," jawab Rio.

"Baiklah, saya akan ikut ke kantor Polisi. Pak Rio ke kantor saja, dan awasi semua orang. Siapa tahu Pak Rio bisa menemukan orang yang bekerja sama dengan si mantan Karyawati itu untuk menjebak kami," ujar Bara.

"Baik Pak Bara, saya akan ke kantor."

* * *

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang