EXTRA 3 | Terkadang Untuk Kebaikan

277 22 24
                                    

Vini tersenyum lebar dari balik niqob-nya saat melihat sosok Yoga yang masih menungguinya pulang untuk berakhir pekan di rumah bersama keluarga besar Brawijaya.

"Assalamu'alaikum Paman," sapa Vini.

"Wa'alaikumsalam Vini. Bagaimana hari ini? Menyenangkan tidak pelajarannya?" tanya Yoga.

Vini mengangguk penuh semangat.

"Alhamdulillah Paman, pelajarannya sangat menyenangkan. Paman sendiri bagaimana? Ada perkembangan dalam membaca Al-Qur'annya?" Vini bertanya balik sambil duduk di kursi taman milik pesantren.

Yoga membukakan sekotak kue bolu pandan kesukaan Vini yang Dahlia buat untuk gadis itu.

"Perkembangan Alhamdulillah ada, tapi di balik perkembangan itu ada juga ganjalannya," jawab Yoga dengan wajah yang tetap tersenyum.

Vini mengunyah kue bolu pandan itu sambil mendengarkan apa yang Yoga katakan. Ustadzah Dian keluar dari asrama putri dan melihat sosok Vini yang sedang duduk bersama seorang pria meskipun berjauhan. Ia pun berjalan mendekat untuk menegur gadis itu, namun langkahnya terhenti saat tahu siapa pria yang duduk bersamanya.

"Kadang Paman tidak habis pikir, kenapa ada saja manusia yang bisa menyakiti wanita seenak hatinya. Paman memang bukan manusia sempurna, tapi menyakiti wanita adalah hal yang paling pantang untuk Paman lakukan," ujar Yoga.

Hati Vini tiba-tiba mendadak sakit mendengar apa yang Yoga katakan. Ustadzah Dian tahu apa yang sedang Yoga katakan pada Vini meski tak menyebut nama siapapun. Pria itu pasti masih sangat kepikiran dengan apa yang Ustadz Galih katakan tadi siang di ruang rapat.

"Dulu Almarhumah Ibuku sering disakiti oleh Almarhum Bapakku. Bapakku pemabuk, penjudi, dan Ibu sering jadi sasarannya kalau pulang tengah malam dalam keadaan mabuk dan kalah judi," ujar Vini sambil memainkan kotak yang sejak tadi dipegangnya.

Ustadzah Dian terkejut dan langsung bersembunyi saat mendengar pengakuan Vini pada Yoga. Yoga sendiri menatap tak percaya ke arah Vini dengan ceritanya yang mengejutkan. Bagas memang sering mengatakan padanya kalau Vera dan Vini sudah banyak menghadapi sulitnya hidup. Tapi Yoga tak pernah mengira jika kesulitan itu termasuk kekerasan dalam rumah tangga kedua Orangtuanya.

"Kalau sudah begitu, Almarhumah Ibu akan menguncikan Kak Vera dan aku di dalam kamar sampai Bapak selesai mengamuk lalu tertidur akibat pengaruh alkohol. Saat Ibu membukakan kami pintu, Ibu tetap tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Sampai pada suatu hari, Ibu tak pernah lagi bisa membukakan kami pintu. Kak Vera sampai harus menjebol kunci pada pintu kamar dan akhirnya melihat Ibu yang sudah tidak bernyawa di lantai rumah. Dan apakah Paman tahu, Bapakku tidak menyesal sama sekali. Dia bertingkah seakan tak tahu apapun, bahkan tidak hadir di pemakaman Ibu."

Vini memejamkan kedua matanya sambil menarik nafasnya dalam-dalam. Ustadzah Dian memegangi dadanya yang seakan baru saja terkena hantaman palu setelah mendengar apa yang terjadi pada hidup salah satu santriwatinya.

"Jadi, saat Paman mengatakan hal seperti tadi, aku merasa sangat beruntung. Karena aku akhirnya tahu kalau Kak Vera dan aku berada di dalam lingkaran keluarga yang tidak akan saling menyakiti. Aku lega," ungkap Vini, jujur.

"Hei. Sudah ya, jangan ungkit-ungkit lagi luka lama itu. Sekarang semua sudah berubah, Kamu dan Kakakmu sudah berada di tempat yang tepat dan nyaman. Mengungkit luka lama tidak akan membuat masa depan menjadi lebih baik, justru akan membuat masa depan semakin suram karena bayang-bayang masa lalu," saran Yoga.

Vini pun mengangguk-anggukan kepalanya.

"Nah, karena kue bolu pandannya sudah habis dan pipi kamu semakin terlihat gembul, maka sebaiknya kita pulang sekarang," ajak Yoga.

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang