"Haura saat ini sedang dalam masa penyembuhan Mas. Ada apa? Kenapa Mas Bara tiba-tiba menanyakan keadaan Haura? Dari mana juga Mas tahu kalau Haura ada di rumah bersama kami?" tanya Nata.
Bara menatap kosong ke arah lantai, airmata itu masih mengalir deras di wajahnya.
"Ada ketakutan besar dalam diriku untuk kembali ke rumah itu. Aku benar-benar takut karena tak bisa melupakan masa lalu yang pernah terjadi di sana," ujar Bara, tanpa menjawab pertanyaan Nata.
Nata bangkit dari kursinya dan duduk bersimpuh di hadapan Bara yang terlihat sangat ketakutan.
"Mas, katakan padaku, sebenarnya ada apa di masa lalu sehingga kamu begitu merasa takut seperti ini? Katakan Mas, bilang padaku dan jangan disembunyikan," bujuk Nata.
Bara berusaha mengontrol dirinya agar tak kembali tenggelam dala. ketakutannya. Ia menyeka airmatanya dan berusaha untuk berhenti menangis.
"Haura..., dia ambil paksa oleh Mamaku dari Ibunya karena Mamaku menganggap Ibunya Haura adalah ancaman bagi keluarga kami. Mamaku takut kalau Papaku akan menceraikannya dan memilih kembali pada Ibunya Haura. Karena saat itu, Ibunya Haura baru saja kehilangan suaminya dalam sebuah kecelakaan," ujar Bara memulai.
Nata mendengarkan.
"Lalu? Apa yang terjadi?"
"Ibunya Haura datang ke rumah, dia menuntut pada Mamaku untuk mengembalikan Haura padanya. Mamaku tidak mau dan terus saja menuduhnya ingin merebut Papaku. Meskipun Ibunya Haura telah mengatakan bahwa dia tidak memiliki niat sama sekali untuk merebut Papaku dari hidup Mamaku, Mamaku tetap tidak percaya padanya. Mereka memperebutkan Haura hingga akhirnya Ibunya Haura hilang keseimbangan lalu jatuh dari tangga."
"Astaghfirullahal 'adzhim!" Nata kaget mendengarnya.
"Kepalanya terbentur dengan keras, aku melihatnya berdarah banyak sekali di lantai, tapi Mamaku tidak menolongnya. Dia malah meminta Bibi Niken untuk membantu menyingkirkan Ibunya Haura. Mereka membunuhnya. Mereka menikamkan pisau di dadanya hingga benar-benar tidak bernyawa. Nata..., aku takut Nata. Aku takut...," Bara menangis pilu dengan tubuh gemetar hebat saat itu.
"Ya Allah..., Mas, tenang dulu Mas. Tenangkan diri Mas Bara, jangan jatuh terlalu dalam ke kubangan dosa yang tidak Mas Bara lakukan. Mas harus tenang," Nata mencoba meyakinkan Bara.
Bara pun mengikuti apa yang Nata katakan. Ia berusaha menenangkan dirinya dengan terus beristighfar.
"Sekarang katakan padaku Mas, apakah Mas Bara punya bukti yang kuat atas apa yang Mas Bara saksikan waktu itu?" tanya Nata.
"Iya, aku punya buktinya. Aku sengaja menyimpannya agar suatu saat beban dalam hidupku ini bisa lepas. Tapi aku takut, aku takut tidak ada yang akan mendukungku jika aku melaporkan Mamaku sendiri. Karena saat itu, Kakek masih terus mendukung semua kelakuan Mamaku," jawab Bara.
"Oke. Ayo, sekarang kita pulang dan kita selesaikan semuanya di depan pengacara. Biar dia yang membantu memberikan saran mengenai apa yang harus kita lakukan," ajak Nata.
Bara pun menganggukan kepalanya. Nata membantunya mengemas semua barang-barang milik pria itu dan membawanya pulang bersama Pak Saiful yang sudah menunggu mereka di parkiran hotel.
Dahlia menyambut mereka berdua dengan begitu senang, Bara sendiri langsung berlutut di kaki Dahlia sambil kembali menangis seperti yang dia lakukan di hadapan Nata tadi.
"Bi, maafkan aku Bi, maafkan aku yang tidak bisa berkata jujur sejak awal bertemu Bibi," Bara memohon.
"Nak, ada apa ini? Katakan pada Bibi, kamu kenapa Nak?" tanya Dahlia, khawatir.
"Ummi tenang dulu ya, kita tunggu Pak Pranoto tiba di sini baru kita bicarakan bersama," ujar Nata.
"Apa yang mau dibicarakan? Kenapa harus menunggu Pak Pranoto?" Dahlia menjadi gelisah.
Nata melihat ke arah Vera yang masih membantu Haura makan di meja makan.
"Ukhti Vera, tolong bawa Ukhti Haura ke kamarnya sekarang," pinta Nata.
"Baik Akh Nata," jawab Vera dengan cepat.
Vera pun membawa Haura ke kamarnya seperti yang Nata minta. Haura sendiri begitu kebingungan, namun sekilas ia melihat sosok Bara yang masih berlutut di hadapan Dahlia.
ARRRGGGHHHH!!!
"ANAK PEMBUNUH!!! KAMU ANAK PEMBUNUH!!!" Haura histeris seketika.
Bara menatapnya penuh rasa bersalah. Haura melepaskan diri dari Vera dan berusaha menyerang Bara. Nata tentu saja tak bisa menangkapnya, karena ia sangat tidak ingin menyentuhnya meskipun dalam keadaan terdesak.
"Astaghfirullah Haura!!! Nak, kamu kenapa???" Dahlia berusaha menghentikan Haura dengan keras.
Vera ikut memegangi Haura, Bi Inah datang dari arah dapur dan membantu menarik Haura ke dalam kamarnya.
"DIA ANAK PEMBUNUH!!! KEMBALIKAN IBUKU!!! KEMBALIKAN!!!"
"Maafkan aku Haura..., maafkan aku...," lirih Bara.
Akmal keluar dari kamarnya dan melihat bagaimana Haura histeris saat melihat Bara.
"KAMU MELIHATNYA DIBUNUH, KAMU MELIHATNYA!!! TAPI KAMU DIAM SAJA!!!"
Nata memeluk Bara untuk menenangkannya. Pranoto datang dan melihat sosok Bara yang tengah menangis di dalam pelukan Nata.
"Aku minta maaf..., aku takut mengatakannya..., tidak ada yang akan percaya padaku saat itu..., semua orang akan membenarkan perbuatannya termasuk Kakekku sekalipun. Dia bisa menipu siapapun dengan kata-katanya, aku minta maaf...," ratap Bara.
Haura terjatuh ke lantai dan menangis hebat. Dahlia memeluknya dengan erat untuk membuatnya tenang.
"Sudah Nak, tenang dulu. Biarkan Bara menjelaskan semuanya, biarkan Bara melakukan yang seharusnya dia lakukan. Ummi tahu kamu begitu terpukul dengan apa yang terjadi di masa lalu, tapi membenci Bara dan menjadikannya pelampiasan atas rasa marahmu tidak akan merubah apapun. Ummi mohon ya, tolong bersikap tenang," bujuk Dahlia.
Pranoto membantu Nata membawa Bara ke ruang keluarga. Akmal meminta Pak Saiful mendorong kursi rodanya agar bisa ikut ke sana bersama mereka. Vera dan Bi Inah membawa Haura ke dalam kamar agar bisa beristirahat sementara Dahlia ikut bergabung di ruang keluarga.
"Nak, sekarang jelaskan pada Bibi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Dahlia pada Bara.
Bara mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasnya, ia membukanya dan memperlihatkan sebuah pisau yang berlumuran darah kering pada seluruh sisinya.
"Itu adalah pisau yang digunakan oleh Mamaku dan Bibi Niken ketika membunuh Ibunya Haura di bagian bawah tangga rumah ini," ujar Bara.
Akmal menutup kedua matanya dan kembali menyesali masa lalu setelah mendengar pengakuan dari Bara.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un!!! Ya Allah Nak!!! Kenapa kamu sembunyikan semua ini sendirian??? Kamu bisa beritahu Bibi sejak awal kita bertemu, Bibi bisa membantumu dan kamu tidak perlu melarikan diri!!!" Dahlia histeris.
"Aku tidak mau menyeret Bibi Lia dan Nata ke dalam masalah ini. Lagipula saat itu Kakek masih sangat mendukung Mamaku, dia membenci Bibi Lia, jadi aku tidak mungkin mengatakan semuanya begitu saja. Jangan sampai Bibi Lia dan Nata yang terkena masalah karena aku," jelas Bara.
Pranoto menggeram hebat saat melihat pisau di dalam kotak itu. Ia akhirnya tahu bahwa Adiknya kini sudah tak ada lagi di dunia ini. Bara mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan pada Dahlia bukti lain dari peristiwa pembunuhan itu. Dahlia menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Ya Allah..., Fahira.., Fahira... ."
Dahlia pun terjatuh dengan kesadarannya yang menghilang tiba-tiba.
"UMMI!!!" teriak Nata.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Qadarullah
Spiritual[COMPLETED] Menerima setiap takdir yang Allah berikan bukanlah perkara mudah bagi setiap manusia di dunia ini. Namun itulah yang dilakukan oleh Nata, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Ummi dan Almarhum Abinya sedari kecil. Namun ketika akhirnya...