23 | Do'a

232 24 6
                                    

Haura menatap Vera yang tengah membantunya menggerakkan lehernya yang masih kaku karena dalam masa penyembuhan. Hari ini penyangga lehernya baru saja dibuka, jadi Vera begitu hati-hati menjaga Haura agar tak kesakitan.

"Ukhti Vera istirahat saja dulu, jangan terlalu risau akan keadaan saya," saran Haura.

"Tidak Ukhti Haura, saya tidak perlu istirahat. Saya harus menjaga Ukhti," ujar Vera.

Haura pun menghentikan Vera dengan tangannya.

"Ukhti Vera, saya baik-baik saja. Saat ini Ukhti yang butuh istirahat, perasaan Ukhti sedang tidak baik. Ukhti sedang kalut saat ini," ujar Haura.

Vera pun terduduk di samping Haura, ia menangis pelan dari balik niqob-nya. Haura pun merangkul wanita itu dengan erat agar perasaannya lebih tenang.

"Ukhti Vera, saya tahu betul bagaimana perasaan Ukhti saat ini. Saya juga pernah ada di posisi Ukhti dan bahkan lebih parah. Saat itu, saya tidak punya tempat bersandar dan tidak tahu harus melakukan apa untuk mengatasi kekacauan di dalam hati saya. Tapi kini keadaannya berbeda. Ukhti Vera tidak sendiri, Ukhti Vera punya saya yang bisa Ukhti ajak bercerita dan berbagi. Saya mungkin tidak punya kekuatan untuk membantu secara finansial, tapi saya punya kekuatan untuk membantu memperbaiki perasaan Ukhti yang sedang kacau," tutur Haura.

"Syukron Ukhti..., syukron karena Ukhti mau memahami perasaan saya yang sedang kacau seperti saat ini. Saya merasa sangat bersalah pada Vini, tapi saya tidak punya pilihan lain selain menempatkannya di panti asuhan itu," ungkap Vera.

Haura mengusap punggung Vera dengan lembut.

"Sabar ya Ukhti, saat ini semuanya mungkin sedang kacau. Tapi Ukhti harus tetap bersabar. Apa Ukhti ingat apa yang Ummi Lia katakan pada kita berdua di taman waktu itu?"

Vera masih terisak di dalam pelukan Haura.

"Sebagai manusia, kita hanya punya dua pilihan. Melangkah maju dan meninggalkan semua keburukan yang pernah kita alami, atau terus berdiam diri di tengah keburukan itu dan membiarkan segalanya semakin memburuk," Haura mengulang apa yang Dahlia katakan.

Vera mengingat hal itu dengan jelas.

"Saya yakin, Ukhti Vera tentunya akan memilih pilihan pertama. Sebagai manusia, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang mau terus berkubang dalam lubang yang sama di sepanjang hidupnya. Lalu bagaimana caranya agar kita bisa melangkah maju dan meninggalkan semua keburukan yang pernah kita alami jika kita tidak belajar untuk bersabar?"

Dahlia hanya bisa mendengarkan dari balik pintu. Ia tahu betul kalau saat ini Vera memang membutuhkan dukungan, dan dia sedang tidak punya pendukung.

"Semua akan kita lalui Ukhti Vera, dan Ukhti tidak sendiri. Ukhti selalu ada untuk saya dan membantu saya keluar dari rasa takut, maka saya juga akan melakukan hal yang sama agar Ukhti Vera bisa keluar dari lingkaran masa lalu yang buruk," Haura berusaha meyakinkan dan memberi dukungan.

Dahlia pun membuka pintu kamar itu dan masuk ke sana sambil tersenyum. Ia mendekat pada Haura dan Vera lalu merangkul keduanya agar merasa lebih tentram.

"Apa yang Haura katakan itu benar Nak Vera. Bahwa dalam setiap masalah yang datang, kita harus menghadapinya dengan penuh kesabaran. Sabar adalah kunci dari semua hal di dunia ini. Jika kita tidak bersabar maka segalanya akan sangat tidak teratur, semua akan berantakan, dan kita tidak akan pernah mendapatkan penyelesaian," ujar Dahlia sambil mengusap bahu Vera yang tengah dirangkulnya.

"Syukron Nyonya. Saya tidak tahu harus mengatakan apa pada Nyonya Lia atas semua kebaikan yang Nyonya dan keluarga Nyonya berikan untuk saya. Saya benar-benar malu karena membuat Nyonya harus mengetahui masalah saya," Vera tak enak hati.

"Tidak apa-apa Nak. Justru kalau kamu punya masalah jangan dipendam-pendam sendiri, tidak baik untuk kehidupanmu nanti. Batinmu akan tersiksa," saran Dahlia.

"Iya Nyonya, saya tidak akan menyembunyikan apapun lagi dalam hidup saya. Insya Allah," janji Vera.

"Ya sudah, ayo kita keluar. Kita siapkan makan malam sebelum Nata dan Bara pulang," ajak Dahlia.

Mereka pun keluar dari kamar lalu beranjak menuju ke dapur. Bi Inah tersenyum ke arah mereka.

"Ini terongnya mau dibuat terong balado Nyonya?" tanya Bi Inah.

"Iya Bi, sudah lama saya tidak membuatkan Nata terong balado. Dia suka sekali dengan terong balado sejak kecil," jawab Dahlia bersemangat.

"Pedas atau tidak pedas Mi?" tanya Haura.

"Tidak pedas. Sejak kecil perut Nata akan kesakitan kalau memakan makanan yang terlalu pedas," jelas Dahlia.

Haura pun mengangguk-anggukan kepalanya. Ia segera mengurangi jumlah cabai yang akan dipakai untuk memasak terong balado tersebut. Dahlia memperhatikannya dan sesekali mengarahkan agar tak kelebihan memberi bumbu.

"Assalamu'alaikum," ujar Nata dan Bara yang sudah selesai mandi sekaligus shalat Isya.

"Wa'alaikumsalam," jawab semua orang, serempak.

Semua makanan sudah tersaji di meja makan. Bara mendorong kursi roda milik Akmal agar bisa makan malam bersama di meja makan Nata sudah menyiapkan bubur untuk Kakeknya dan bersiap untuk menyuapinya.

"Wah, ada terong balado. Kakek boleh menyicipi sedikit, kan?" tanya Akmal.

"Jangan!!!" cegah Bara dan Nata.

Dahlia sampai kaget karena teriakan kedua pemuda itu. Akmal hanya terkekeh pelan melihat ekspresi kedua cucunya yang begitu overprotectif terhadapnya.

"Bercanda..., Kakek tahu diri kok kalau hanya bisa makan bubur dan minum susu kalsium tinggi," ujar Akmal.

Nata dan Bara pun mendadak lega luar biasa. Nata mengambil terong balado itu dan memenuhi piringnya, ia hanya mengambil sedikit nasi lalu memulai makan.

"Kamu makan nasi pakai terong balado, atau makan terong balado pakai nasi?" sindir Bara sambil menatap piring milik Nata.

Nata tersenyum diam-diam.

"Biarkan saja Nak Bara, Nata memang begitu kalau dimasakan terong balado. Dia hanya akan mengambil sedikit nasi agar bisa memakan semua terong itu," ujar Dahlia.

HAHAHAHA!!!

Akmal tertawa.

"Ada-ada saja kebiasaanmu Nak," ujarnya sambil menepuk pundak Nata beberapa kali.

Dahlia ikut tersenyum.

"Bagaimana? Enak tidak terong baladonya?" tanya Dahlia.

"Alhamdulillah enak sekali Mi. Aku suka, kalau bisa terong baladonya dimasak setiap hari ya Mi," pinta Nata.

"Alhamdulillah...," Dahlia mengucap syukur, "Nak Haura..., terong baladonya enak kata Nata. Dia minta dimasakkan lagi besok," Dahlia sengaja mengeraskan suaranya ke arah dapur.

UHUKKKK!!!

Nata pun tersedak seketika, Bara pun menertawainya diam-diam bersama Akmal.

"Wah..., putri Ummi sudah bisa punya suami kalau begini," lanjut Dahlia sambil meninggalkan meja makan.

"Amiin ya rabbal 'alamiin," sahut Bara dengan cepat.

"Astaghfirullah hal 'adzhim Mas Bara," Nata beristighfar dengan cepat.

"Loh kenapa? Kata-kata adalah do'a, siapa tahu saja Haura cepat ketemu jodohnya kalau ku amiin-kan do'a Bibi Lia," balas Bara sambil mengedip-ngedipkan matanya pada Nata.

"Amiin...," tambah Akmal.

Nata pun semakin terpaku di tempatnya dengan wajah memerah luar biasa.

* * *

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang