Nata menggendong Ibunya ke kamar agar bisa berbaring di tempat tidur. Bi Inah mengambilkan minyak kayu putih agar bisa mengembalikan kesadaran Dahlia yang tiba-tiba terjatuh setelah melihat isi rekaman video yang ada pada ponsel Bara.
"Mi, sadar Mi. Tolong Mi, Nata di sini untuk Ummi, bangun Mi," pinta Nata, panik.
"Nyonya Lia, bangun Nyonya...," Bi Inah terus membantu Nata.
Pranoto menatap ke arah Bara yang masih menangis di tempatnya.
"Kenapa kamu menyimpan semua itu sendiri selama ini?" tanya Pranoto yang di dalam hatinya sedang menahan amarah.
"Siapa yang mau percaya pada saya Pak? Bahkan Papa saya sendiri pun tidak akan percaya jika saya mengatakan kalau Mama saya membunuh Ibunya Haura. Semua orang buta saat itu, semua hal yang jahat di rumah ini adalah pemenang. Kalau saya buka mulut, maka saya akan kehilangan satu-satunya bukti yang akan menjerat mereka atas pembunuhan itu dan Haura tidak akan mendapat keadilan Pak," jawab Bara.
Akmal mendekat pada cucunya, ia memeluk pria itu dengan erat.
"Maafkan Kakek Nak. Ini semua kesalahan Kakek. Kakek terlalu memanjakan Mamamu dan juga Niken sehingga mereka selalu berpikir apa yang mereka perbuat adalah benar," Akmal mengakui.
Pranoto akhirnya menerima alasan itu dan merasa kalau Bara sangat benar ketika menyembunyikan hal itu. Haura takkan pernah dapat keadilan apa-apa atas kematian Ibunya, dan Fahira hanya akan terlupakan.
Dahlia terbangun dan langsung menatap wajah Nata yang basah. Ia menangkupkan kedua tangan di wajah putranya lalu menangis tergugu ketika mengingat Fahira, sahabat baiknya.
"Ummi nggak menyangka Nak, Ya Allah, Ummi nggak pernah tahu lagi kabar Bibi Fahira yang biasa dulu menggendong-gendong kamu saat kecil. Ya Allah Nak, sakitnya hati Ummi Nak, sakit...," rintih Dahlia.
"Ummi sabar ya, kita akan cari jalan keluar untuk masalah ini. Sekarang Ummi istirahat dulu, tenangkan pikiran dan hati Ummi," bujuk Nata.
Dahlia pun mengangguk, Bi Inah menemaninya di kamar sementara Nata keluar setelah menutup pintu. Ia hendak menuju ke ruang keluarga, namun langkahnya terhenti ketika mengingat Haura. Nata pun berjalan menuju pintu kamar yang di tempati oleh gadis itu.
Tok..., tok..., tok...!!!
Suara ketukan membuat Vera berhenti menenangkan Haura umtuk membuka pintu. Ia melihat sosok Nata yang berdiri di depan kamar sambil menatap ke arah lain.
"Ukhti Vera, apakah Ukhti Haura sudah tidur?" tanya Nata.
"Belum Akh, Ukhti Haura masih menangis," jawab Vera, jujur.
"Kalau begitu tolong bawa dia ke ruang keluarga. Permasalahan ini harus ada jalan keluarnya dan harus ada penyelesaian," pinta Nata.
"Baik Akh Nata, saya akan membawa Ukhti Haura ke ruang keluarga," balas Vera.
Nata pun berjalan menuju ruang keluarga lebih dulu, Vera dan Haura menyusul tak lama kemudian. Haura menatap Bara penuh kebencian.
"Ukhti Haura, jangan menatap ikhwan yang bukan mahrommu. Tundukkan kepalamu," perintah Nata, tegas namun lembut.
Begitulah Nata, yang selalu tegas jika seseorang sudah melanggar batasannya. Haura pun segera menundukkan kepalanya dan tidak lagi menatap ke arah Bara. Mereka pun duduk di salah satu sofa yang kosong.
"Saya tahu kalau kamu merasa sangat sakit hati atas semua hal yang terjadi pada Almarhumah Ibumu dan juga dirimu sendiri Ukhti Haura. Tapi Allah juga tidak menyukai hamba-Nya yang membenci hingga menanam dendam di dalam hatinya. Istighfar lah atas kekhilafanmu," saran Nata.
Haura kembali menahan sesak di dadanya dan airmatanya mulai.kembali membasahi wajah itu.
"Astaghfirullahal 'adzhim," lirih Haura.
"Sekarang dengarkan baik-baik. Akh Bara telah meminta maaf padamu karena dia menyembunyikan kebenaran mengenai Almarhumah Ibumu. Tapi hal itu ia lakukan bukan tanpa alasan. Akh Bara hanya mempunyai satu buah bukti yang bisa menjerat pelaku pembunuhan Almarhumah Ibumu. Jika waktu itu Akh Bara langsung membuka semuanya lalu bukti kuat itu disingkirkan oleh si pelaku, apakah akan ada keadilan untuk Almarhumah Ibumu?" tanya Nata.
Haura menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak ada, Ibu saya tidak akan dapat keadilan apa-apa jika buktinya disingkirkan," jawab Haura.
"Ya, itulah yang dicegah oleh Akh Bara dalam diamnya. Apa kamu sudah mengerti sekarang?" Nata menegaskan kebenarannya pada Haura.
Haura pun mengangguk.
"Sekarang katakan pada saya Ukhti Haura, apakah kamu akan memaafkan dengan ikhlas tindakan yang Akh Bara lakukan jika Akh Bara meminta maaf padamu?"
Airmata Haura semakin deras mengalir hingga tubuhnya bergetar.
"Insya Allah Akh Nata, Insya Allah saya akan memaafkannya."
Nata kini berpaling pada Bara.
"Mas Bara, Ukhti Haura sudah membuka hatinya untuk memaafkanmu. Sekarang silahkan meminta maaf padanya secara langsung," ujar Nata sambil merangkul pria itu.
Bara mencoba mengatur nafasnya agar kembali teratur.
"Ukhti Haura, saya mohon maaf atas tindakan saya yang menyembunyikan kebenaran mengenai kematian Almarhumah Ibumu. Jujur, bukan karena saya mau melindungi Mama saya sendiri, tapi saya melakukan itu agar Almarhumah Ibumu benar-benar bisa mendapatkan keadilan dan agar Mama saya serta Bibi saya bisa dihukum dengan hukuman yang setimpal," ujar Bara.
Haura memeluk Vera yang berada di sampingnya, saat itu ia benar-benar membutuhkan sandaran.
"Kemungkinan melenyapkan bukti sangat besar saat itu, apabila saya membongkar semuanya tanpa ada dukungan dari keluarga saya sendiri. Saya tidak peduli jika akan dicap sebagai anak durhaka karena.melaporkan Mama saya sendiri, hanya saja resikonya terlalu besar. Selain itu, ada kamu yang harus saya pastikan tetap hidup selama Mama saya masih berkuasa. Saya tidak bisa melihat pembunuhan lain lagi setelah hari itu, makanya saya terus menutup mulut dan menunggu waktu yang tepat."
Akmal kembali memeluk Bara dengan erat agar semua beban itu terlepas dari diri cucunya.
"Bagaimana Ukhti Haura? Apakah Ukhti Haura bersedia memaafkan Akh Bara?" tanya Nata setelah Bara selesai menjelaskan.
Vera melepaskan pelukannya dari Haura agar Haura bisa menjawab pertanyaan Nata.
"Iya Akh Nata, Insya Allah saya sudah memaafkan semua hal yang Akh Bara lakukan. Saya ikhlas," jawab Haura.
"Alhamdulillah Ya Allah. Pak Pranoto, katakan pada saya, apa langkah yang bagus setelah semuanya kita ketahui seperti ini?" Nata meminta saran.
Pranoto menatap Nata dengan tenang. Putra Almarhum sahabatnya itu memang selalu mampu membuat orang lain tenang meskipun berada di tengah-tengah kekacauan yang parah.
"Besok pagi, Bara akan ikut dengan saya ke Kantor Polisi untuk melaporkan perbuatan Nia dan Niken terhadap Almarhumah Ibu Fahira. Kalau bisa Haura juga ikut, karena dia dan Bara sama-sama melihat kejadian itu ketika terjadi," saran Pranoto.
"Baiklah, besok Ukhti Haura dan Akh Bara akan ikut ke Kantor Polisi. Saya dan Ukhti Vera juga akan ikut untuk mendampingi mereka," Nata menerima saran itu.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Qadarullah
Spiritual[COMPLETED] Menerima setiap takdir yang Allah berikan bukanlah perkara mudah bagi setiap manusia di dunia ini. Namun itulah yang dilakukan oleh Nata, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Ummi dan Almarhum Abinya sedari kecil. Namun ketika akhirnya...