32 | Sebuah Paksaan

298 24 10
                                    

Mahmud memberikan semua barang-barang baru untuk dua gedung asrama putra dan putri yang sudah selesai dibangun. Nata hanya perlu mengecek semuanya setelah selesai nanti. Saat ini Nata masih ada di luar untuk memeriksa gedung sekolah yang sedang direnovasi.

"Akh Mahmud, bagaimana dengan asrama putra dan putri yang baru?" tanya Nata.

"Alhamdulillah Akh Nata, semuanya sudah selesai. Dua gedung ini sudah bisa ditempati sekarang," jawab Mahmud.

"Alhamdulillah kalau begitu Akh Mahmud. Tempatkan para santri dan santriwati baru di gedung itu. Untuk Adik saya, Vini, beri kamar di lantai satu saja jangan terlalu jauh. Agar Kakak Ipar saya bisa menjenguknya dengan mudah jika beliau datang ke sini," pinta Nata.

"Baik Akh Nata."

Nata bergegas menuju ke arah mobilnya untuk pulang ke rumah. Setelah sampai, Nata langsung memarkirkan mobilnya di garasi rumah lalu masuk ke dalam rumah utama untuk menemui Dahlia terlebih dahulu.

"Assalamu'alaikum," ujar Nata.

"Wa'alaikumsalam!"

Jawaban serempak yang ia terima membuatnya kaget. Apakah sedang ada tamu?

Nata pun tiba di ruang tamu, namun segera berbalik kembali saat melihat Ibunya sedang keadatangan tamu.

"Eh, Nak Nata, mau kemana? Kemarilah dulu, saya mau memperkenalkan putri saya pada Nak Nata," ujar salah satu teman Dahlia.

"Jangan Nata! Pulanglah ke rumahmu, nanti Ummi yang akan ke sana," cegah Dahlia.

Nata pun akhirnya jadi serba salah dan diam di tempatnya.

"Loh, kenapa begitu Bu Lia? Saya kan mau berniat baik ingin mengenalkan Riri pada Nak Nata. Siapa tahu kita bisa berbesanan," jelas Salima.

Riri yang memang sudah tahu bagaimana Nata sejak menghadiri pernikahan Bara seminggu yang lalu pun menunjukkan ketertarikannya dengan cara berlebihan. Dahlia tersenyum dari balik niqob-nya.

"Saya tahu niat Bu Salima baik, yaitu untuk memperkenalkan Nak Riri pada putra saya Nata. Tapi sayang sekali, Nata tidak menyukai akhwat yang tidak menutup wajahnya, dia bahkan tidak akan pernah mau menatap wajah Riri jika diperkenalkan. Lagipula, saya sudah menjodohkan Nata dengan seorang akhwat. Insya Allah, Nata akan segera menikah dengannya dalam waktu dekat," jelas Dahlia.

Nata pun segera melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah utama. Wajah Riri terlihat begitu kecewa setelah ditolak oleh Ibu dari pria yang ia sukai.

"Mas Nata kan belum tentu menyukai pilihan Ibu, masa Ibu tidak mau mencoba memperkenalkannya dulu pada saya?" tanya Riri dengan berani.

"Insya Allah Nata akan menerimanya Nak Riri, Nata sendiri yang meminta pada saya untuk dijodohkan dengan akhwat yang saya pilih," jawab Dahlia.

Haura mendengarkan itu dari arah ruang tengah, Vera berusaha menyabarkannya agar tidak merasa sedih.

"Tenang saja Ukhti Haura, Akh Nata tidak akan tergoda oleh akhwat yang sikapnya seperti itu. Insya Allah," ujar Vera.

"Dan apakah Akh Nata tidak akan menyesal menikahi saya? Saya ini bukan wanita yang cantik seperti Mbak Riri itu, hidup saya juga tidak sesempurna hidupnya. Akh Nata pasti menyesal kalau sampai dijodohkan dengan saya Ukhti Vera," tutur Haura.

"Belum tentu seperti itu Ukhti Haura. Akh Nata sendiri yang meminta dijodohkan pada Ummi, jadi tidak mungkin Akh Nata akan menyesal jika menikah dengan Ukhti," Vera berusaha meyakinkan.

"Tapi mungkin bukan dengan saya. Akh Nata pasti tidak menduga kalau dirinya akan dijodohkan dengan saya. Dia pasti akan menyesal jika tahu."

Vera pun hanya mampu terdiam, karena Haura benar, Nata belum tahu kalau dirinya dijodohkan dengan Haura.

Bara tiba di rumah setelah bekerja. Ia baru saja keluar dari mobil saat melihat Nata yang terus berbalik badan memunggungi seorang akhwat tak berniqob yang terlihat seakan memaksa Nata untuk berbalik. Ia mendekat dengan cepat.

"Pergilah, saya tidak mau bertemu dengan kamu!" tegas Nata, yang mati-matian menghindar.

"Nak Riri, tolong menjauh dari putra saya! Jangan keterlaluan!" seru Dahlia yang terus saja dihalang-halangi oleh Salima - Ibunya Riri.

"HEI!!! MENJAUH DARI ADIK SAYA!!!"

Teriakan penuh amarah dari Bara membuat Riri terkejut dan segera menjauh dari Nata. Vera melihat suaminya datang dengan begitu murka di wajahnya. Ia bahkan ikut kaget sendiri saat mendengar suara bentakannya.

"PERGI!!! JANGAN GANGGU ADIK SAYA!!! PAK SAIFUL, USIR MEREKA DARI SINI DAN JANGAN BIARKAN MEREKA DATANG LAGI!!!" tegas Bara.

"Heh! Seharusnya kamu bersyukur karena keluarga kami ingin menjadikan Adikmu itu sebagai menantu! Jangan malah bersikap tidak tahu diri seperti itu!" omel Salima yang masih tak mau kalah.

"Adik saya tidak perlu memiliki mertua seperti anda yang tidak bisa mendidik putri anda sendiri! Ajari saja putri anda agar tahu sopan santun serta adab terhadap ikhwan! Jangan menunjukkan diri seperti wanita murahan dengan memaksa seorang ikhwan untuk melihat wajahnya yang tidak cantik itu!" balas Bara.

"Apa kamu bilang? Putri saya tidak cantik? Apa mata kamu buta, hah?" Salima semakin meradang.

"Dia memang tidak cantik! Itu kenyataannya! Kalau dia memang cantik, maka seharusnya dia tahu adab di hadapan seorang ikhwan yang bukan mahramnya! Karena hal pertama yang keluarga kami nilai adalah akhlak, bukan fisik! Sekarang keluar, dan jangan kembali lagi!" usir Bara.

Pak Saiful pun benar-benar menyeret Ibu dan anak itu keluar dari halaman rumah keluarga Brawijaya. Vera berlari mendekat untuk menenangkan suaminya.

"Sudah Bi, jangan marah lagi," bujuk Vera.

Bara pun tersenyum.

"Abi tidak marah pada orang rumah Mi. Abi hanya marah pada kedua orang tidak tahu diri itu saja," balas Bara, lembut.

Vera pun tersenyum lega saat tahu suaminya tak marah pada orang lain. Mereka berdua berjalan mendekat ke arah Dahlia yang sedang dipeluk dan ditenangkan oleh Nata.

"Maafkan Ummi Nak, Ummi benar-benar tak tahu kalau tujuan Bu Salima datang hari ini adalah untuk memaksamu kenal dengan Riri. Ummi benar-benar menyesal telah menerimanya sebagai tamu," ungkap Dahlia.

"Sudahlah Mi, kita kan tidak pernah tahu isi hati seseorang. Kalau sudah terjadi ya mau di apa, lupakan saja. Toh aku juga tak melihat wajahnya sama sekali dan Insya Allah takkan pernah kulihat seumur hidup," ujar Nata, menenangkan Dahlia.

Bara meraih tangan Dahlia dan menciumnya dengan lembut.

"Maafkan aku juga ya Bibi Lia, karena aku pulang dan langsung marah-marah seperti tadi. Aku bahkan lupa mengucapkan salam," sesal Bara.

Dahlia menggelengkan kepalanya.

"Kamu hanya melakukan apa yamg seharusnya kamu lakukan untuk keluarga ini Nak, kamu tidak salah," ujar Dahlia sambil menyeka airmatanya yang sudah membasahi niqob sejak tadi.

"Kalau sudah begini, lebih baik aku memang cepat menikah saja Mi. Aku ingin menghindari fitnah dan juga menghindari godaan syaiton seperti yang tadi. Lagipula, bukankah Ummi bilang kalau aku sudah dijodohkan? Katakan padaku siapa akhwat yang Ummi pilih untuk menjadi pendampingku?" tanya Nata dengan senyum paling bahagia di wajahnya.

Dahlia menatap wajah putranya dengan penuh kasih sayang. Putranya kini benar-benar sudah dewasa dan sudah benar-benar siap untuk menapaki hidupnya sendiri.

"Iya Nak, Ummi sudah menjodohkanmu. Dan calon jodohmu adalah... ."

* * *

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang