4 | Mempertahankan

447 46 20
                                    

Usai shalat subuh Nata membantu Akmal meregangkan tubuhnya agar tidak kaku. Enam tahun terus berbaring di atas tempat tidur membuat Akmal harus berusaha kembali agar tubuhnya bisa bekerja dengan semestinya. Dahlia telah menyiapkan sarapan sejak tadi, kini ia tengah membantu Haura mandi dan membersihkan diri di kamarnya.

"Kakek boleh coba makanan lain atau tidak?" tanya Akmal.

Nata tersenyum.

"Kakek mau masuk rumah sakit lagi atau tidak?" Nata bertanya balik.

Akmal pun langsung mengalah sambil terkekeh pelan. Nata kembali menyuapinya bubur, Pranoto datang ke rumah itu bersama satu orang perawat yang akan memantau Haura. Dahlia keluar dari kamar Haura bersama gadis itu.

"Assalamu'alaikum Nyonya Lia," sapa Pranoto.

"Wa'alaikumsalam Pak Pranoto, silahkan duduk," balas Dahlia.

Nata menghadapi Pranoto sementara Dahlia membantu Haura untuk makan perlahan-lahan.

"Jangan dipaksa ya sayang, pelan-pelan saja yang penting kamu makan. Jangan berpikir tidak enak pada yang lain kalau kamu terlalu lama makan, santai saja dan nikmati prosesnya," tuntun Dahlia.

"Iya Mi," jawab Haura, pelan.

Dahlia pun segera menyajikan susu berkalsium tinggi untuk Akmal. Akmal menatap ke arah Haura.

"Kamu belajar mengaji juga sama Ummimu kalau waktumu luang. Kakek juga masih belajar mengaji sama Nata," ujar Akmal bangga.

Haura tersenyum dari balik niqob-nya meskipun tidak lama sambil menganggukan kepalanya di hadapan Akmal.

"Panggil saja saya Kakek, sama seperti Nata memanggil saya. Jangan segan-segan, karena Ummimu sudah menganggap kamu seperti putrinya sendiri maka rumah ini adalah rumahmu juga sekarang. Jangan merasa asing, bukan Nia dan Niken yang ada di sini," Akmal menegaskan hal itu pada Haura.

Dahlia tersenyum mendengar apa yang Akmal katakan.

"Nah dengar kata Kakek ya, nasehatnya bagus itu untuk kamu sayang," ujar Dahlia.

"Iya Mi," jawab Haura lagi.

BRAKKK!!!

Suara dobrakan pada pintu depan membuat Dahlia terkejut luar biasa.

"Astaghfirullahal 'adzhim..., astaghfirullah...," ucapnya berulang-ulang.

"MANA ANAK SIALAN ITU??? DI MANA DIA???"

Suara teriakan Nia terdengar dengan jelas dari arah pintu depan. Tubuh Haura pun menjadi gemetar ketakutan saat mendengar teriakan itu. Dahlia pun meraihnya dengan cepat ke dalam pelukan. Akmal memasang wajah murkanya dengan sangat jelas.

"Tenang ya sayang, tenang. Ummi di sini untuk kamu. Kamu akan aman, Insya Allah kamu akan aman sayang," bujuk Dahlia dengan cepat.

Bi Inah meraih telepon dan bersiap menghubungi Polisi jika Nia atau Niken mencoba berbuat kurang ajar di rumah itu lagi.

"Apa-apaan ini???" bentak Pranoto.

Nia dan Niken pada awalnya ingin mendekat pada Haura yang tengah berada dalam pelukan Dahlia pun terdiam seketika saat melihat sosok Pranoto yang ternyata ada di rumah itu. Wajah mereka pun memucat seketika.

"Kalian mau apa??? Mau membawa Haura dari sini??? Silahkan..., tapi jangan salahkan saya kalau kalian akan berakhir di penjara setelah saya melaporkan pada Polisi tentang perbuatan kalian selama sepuluh tahun ini terhadap gadis itu!!!" tegas Pranoto.

Bi Inah berlari mendekat pada Pranoto.

"Ini teleponnya Den Pranoto, silahkan hubungi saja Polisi," ujar Bi Inah.

Pranoto menerima telepon wireless itu dari tangan Bi Inah.

"Inah!!! Apa-apaan kamu???" bentak Niken.

"Kenapa??? Kamu pikir Bi Inah akan diam saja sekarang??? Di rumah ini bukan lagi kalian yang berkuasa, melainkan Nyonya Lia!!! Bi Inah hanya akan mendengarkan apa yang Nyonya Lia katakan, bukan kalian!!!" bela Pranoto.

"Haura tidak ada hubungannya dengan rumah ini!!! Jadi kalian tidak punya hak untuk menahannya di sini!!!" Nia masih berupaya untuk mendapatkan Haura.

"Tidak!!! Haura adalah tanggungan saya mulai sekarang!!! Dia akan saya adopsi dan Mbak Nia tidak bisa mengganggu gugat keputusan itu!!!" tegas Dahlia.

Akmal menatap Pranoto.

"Pranoto, uruskan legalitas adopsi untuk Haura seperti yang Lia katakan. Selesaikan hari ini juga dan pastikan mereka berdua tidak pernah lagi menginjakan kakinya di rumah ini!" perintah Akmal, tegas.

"Baik Tuan Akmal," balas Pranoto dengan cepat.

Nia dan Niken menatap penuh kegeraman pada Dahlia yang masih memeluk Haura di lantai. Dahlia pun membalas tatapan mereka berdua dengan berani kali ini.

"Kalian berdua benar-benar biadab! Apa salah anak sekecil ini sehingga kalian tega menyiksanya sampai dia trauma seperti ini?" tanya Dahlia, geram.

"Itu bukan urusan kamu ya jalang! Tutup saja mulut kamu dan urus saja urusanmu sendiri!" bentak Nia.

"CUKUP NIA!!!" bentak Akmal.

Nia pun terdiam, ia tak menyangka kalau Akmal akan membentaknya dengan keras seperti itu.

"Papa ini kenapa sih? Papa harusnya sadar kalau dia itu bukan menantu pilihan Papa! Dia itu sampah yang tidak diketahui asal-usulnya!" Nia marah sekali.

"Saya memang harusnya sadar sejak awal, tapi bukan tentang Lia! Melainkan tentang kamu dan Niken! Kalian berdua itu pembawa sial! Perusak nama baik! Dan seperti yang Lia katakan, kalian itu biadab!" balas Akmal.

"Sudah Kek, sudah..., Kakek tenang ya, jangan emosi," bujuk Nata.

Pranoto menggiring Nia dan Niken untuk keluar dari rumah itu.

"Pergi kalian dari sini, atau kalian akan saya laporkan sekarang juga pada Polisi!!!" bentak Pranoto.

"Berengsek kamu Pranoto! Kamu telah merenggut segalanya dari kami berdua dan juga sekarang kamu berani menginjak-injak kami di depan umum!" caci Niken.

"Itulah yang saya tunggu dari dulu. Saya merasa sangat puas karena akhirnya bisa menginjak-injak kalian seperti kalian menginjak-injak Fahira, Adikku!" balas Pranoto, kejam.

Mereka pun terdiam di tempat setelah mendengar apa yang Pranoto katakan.

"Pergi dari sini dan jangan pernah kembali lagi! Atau saya akan menghancurkan kalian dalam sekejap sekarang juga!"

"Ayo Niken, kita pergi," ajak Nia, yang sudah dipenuhi oleh rasa takut.

Pranoto pun segera kembali ke dalam rumah dan tetap menyembunyikan kebenaran tentang Fahira dari Dahlia. Dahlia akan sangat histeris jika tahu kalau Fahira sebenarnya adalah Ibu kandung Haura yang sudah meninggal dunia. Sudah cukup hati Dahlia remuk selama dua puluh lima tahun karena tak diterima oleh Akmal, setidaknya hati Dahlia tak boleh lagi remuk dengan mengetahui kalau sahabat baiknya meninggal dunia secara tak wajar.

Haura tertidur dalam dekapan Dahlia, Bi Inah menawarkan untuk menggendongnya ke kamar namun ditolak oleh Dahlia sendiri.

"Jangan Bi, biarkan dia tidur dulu. Bibi tolong bereskan saja meja makannya, lalu istirahat. Nanti saya yang akan memasak untuk makan siang," ujar Dahlia.

"Baik Nyonya Lia," jawab Bi Inah yang tak mampu menahan airmatanya.

Perawat yang baru dibawa oleh Pranoto pun mendekat pada Dahlia.

"Nyonya Lia, kamar Ukhti Haura sudah saya rapikan dan obat-obatannya sudah saya siapkan," jelasnya.

"Afwan, Siapa nama Ukhti?" tanya Dahlia.

"Nama saya Vera, Nyonya Lia," jawabnya.

Dahlia pun tersenyum.

"Kalau begitu syukron Ukhti Vera atas bantuannya untuk putri saya," ucap Dahlia.

"Afwan Nyonya Lia," balas Vera.

* * *

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang