Yoga menunjukkan arah pada Nata. Nata pun mengikuti petunjuk arah tersebut tanpa terlewat satupun.
"Nah, sekarang lurus terus sampai ke ujung jalan sana. Nanti kalau kita sudah melewati pesantren tempat Ummimu tinggal dulu, baru deh ketemu rumahnya," ujar Yoga.
"Paman yakin nggak salah jalan?" tanya Nata.
"Yakin lah. Pamanmu ini belum pikun ya," sinis Yoga.
Nata tertawa ringan di tengah-tengah rasa kalut di hatinya.
"Nah..., ini pesantren tempat tinggal Ummimu dulu!"
Yoga menunjuk pada sebuah bangunan tua yang kini terlihat nyaris ambruk di beberapa bagian. Nata memperlambat laju mobilnya untuk melihat bangunan itu.
"Sepertinya sudah lama tidak ditinggali Paman. Pesantren itu kosong," ujar Nata.
"Ya namanya juga sudah dua puluh tahun berlalu. Wajarlah kalau sudah tidak ditempati lagi. Dan kalau dilihat-lihat, penghuni kampung ini juga sepertinya semakin berkurang. Dulu di sini ramai sekali, banyak anak-anak berlarian kesana-kemari. Sekarang rumah-rumahnya pun banyak yang ambruk," sahut Yoga.
Nata pun kembali melajukan mobilnya ke arah depan.
"Oke, stop. Ini rumahnya. Rumah Orangtua Almarhumah Ibunya Haura," Yoga yakin sekali.
"Kalau begitu ayo kita turun," ajak Nata.
Yoga pun setuju, ia dan Nata turun bersama dari mobil lalu berjalan menuju ke sebuah rumah sederhana dengan halaman samping yang luas. Ada sebuah mobil terparkir di sana, namun mobil itu tertutupi oleh sarung mobil sehingga tak terlalu jelas warna dan mereknya.
Nata membuka pagar rumah yang sudah berkarat itu untuk melangkah masuk menuju pintu. Yoga hanya mengekorinya dari belakang.
Tok..., tok..., tok...!!!
"Assalamu'alaikum," ujar Nata dan Yoga, serempak.
Hening. Lama sekali keheningan itu terjadi di antara mereka berdua, hingga akhirnya Nata memutuskan kembali mengetuk pintu rumah itu lagi.
Tok..., tok..., tok...!!!
"Assalamu'alaikum!"
Kali ini Nata bersuara lebih lantang. Dari dalam terdengar suara langkah kaki yang mendekat, Nata menatap Yoga beberapa saat dan meyakinkan diri bahwa Haura memang harus bertemu dengan anggota keluarganya jika memang masih ada.
"Wa'alaikumsalam," jawab seseorang yang suaranya terdengar tak asing di telinga Nata dan Yoga.
Kreeekkk!!!
Pintu pun terbuka. Nata dan Yoga langsung melihat dengan jelas siapa sosok yang membuka pintu rumah tersebut.
"Pak Pranoto???" Nata dan Yoga terlihat tak percaya sama sekali dengan apa yang mereka lihat saat ini.
Pranoto tetap berusaha tenang dan tak menunjukkan apapun di depan Nata ataupun Yoga.
"Pak Nata? Pak Yoga? Kenapa kalian bisa ada di sini?" tanya Pranoto.
"Kami ke sini karena ingin mencari keluarga dari Almarhumah Ibunya Haura. Saya ingat dengan jelas jalanan dan rumah ini. Bahkan saya ingat betul kalau pesantren di sana itu dulunya adalah tempat tinggal Dek Lia, sebelum menikah dengan Almarhum Danu," jawab Yoga sambil mengamati Pranoto lekat-lekat.
Pranoto pun memucat. Ia tak menduga kalau Yoga tahu segalanya mengenai alamat rumah Orangtuanya.
"Ah..., iya..., akhirnya aku ingat. Kamu Kakaknya Almarhumah Fahira. Kamu yang menjadi saksi pernikahannya Almarhum Danu waktu itu di masjid ujung sana!" seru Yoga, antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Qadarullah
Espiritual[COMPLETED] Menerima setiap takdir yang Allah berikan bukanlah perkara mudah bagi setiap manusia di dunia ini. Namun itulah yang dilakukan oleh Nata, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Ummi dan Almarhum Abinya sedari kecil. Namun ketika akhirnya...