Tok..., tok..., tok...!!!
Rima mengetuk sebuah rumah di salah satu daerah terpencil. Penghuni di dalamnya pun segera membuka pintu tak lama kemudian setelah mendengar suara ketukan itu.
"Eh, kamu ternyata. Aku pikir siapa yang mengetuk pintu malam-malam begini," ujar Nia.
Rima menatapnya.
"Ya, ini aku. Aku sudah memberi pelajaran pada perempuan bernama Haura di rumah keluarga Brawaijaya seperti yang kamu perintahkan. Berhasil, dan aku mau meminta bayaranku sekarang," tuntut Rima tanpa basa-basi.
"Oke, oke, sabar," balas Nia sambil masuk ke dalam rumah untuk mengambil uang yang sudah ia janjikan pada Rima.
Rima pun menunggu di luar rumah itu, Nia kembali menemuinya tak lama kemudian.
"Ini bayaran kamu. Pastikan besok kamu akan memberikan pelajaran yang lebih parah lagi pada perempuan sialan itu! Sekalian, awasi Dahlia dan laporkan padaku," perintah Nia.
"Tugas tambahan, bayaran tambahan!" Rima mengajukan syarat.
"Iya, aku tahu! Pokoknya kamu harus melaporkan semuanya padaku mengenai Haura dan Dahlia. Bayaranmu akan kutambah kalau berhasil," janji Nia.
"Oke. Deal! Besok aku ke sini lagi untuk melapor dan mengambil bayaran."
Rima pun segera pergi dari rumah itu meninggalkan Nia, Niken keluar dari dalam rumah untuk menghampirinya.
"Siapa?" tanya Niken.
"Orang yang kusuruh mengajar privat di rumah Brawijaya untuk Haura," jawab Nia.
"Terus gimana? Berhasil?" tanya Niken lagi.
"Berhasil. Haura akan kembali mendapatkan siksaan dariku dan itu tidak akan pernah berhenti," sinis Nia.
"Kalau Haura mengadu pada Dahlia bagaimana?" Niken was-was.
"Tidak mungkin lah! Aku tahu betul kalau Haura itu tidak akan mengatakan apapun kalau sudah diancam. Dahlia akan lengah, dan Haura akan kembali ke dalam kegilaan yang sudah melekat di dalam dirinya selama sepuluh tahun terakhir. Pokoknya, aku tidak akan membiarkan keturunan Fahira hidup dengan tenang!" tegas Nia, kejam.
Niken pun tersenyum, ia setuju dengan apa yang Nia katakan. Baginya, Haura memang harus kembali diberi pelajaran. Haura tak boleh hidup bahagia sama sekali. Bagas mendengarkan semua rencana itu dari balik pintu rumah. Ia benar-benar tak tahu lagi harus melakukan apa untuk mencegah Istri dan Adik Iparnya agar tak terus-menerus mengganggu hidup Haura.
"Maafkan Paman Haura, Paman begitu lemah sehingga tak bisa melindungimu dan juga Ibumu," batin Bagas.
* * *
Rima datang kembali ke rumah Brawijaya seperti kemarin, namun kali ini bukan Dahlia yang menyambutnya dengan ramah seperti kemarin, melainkan Nata yang menatapnya dengan marah. Haura dan Vera duduk di sofa seperti yang pria itu pinta sebelum Rima datang.
"Saya, mau mengajari Haura lagi hari ini," ujar Rima.
"Mengajari?" Nata sangat tak suka mendengar alasan itu, "Guru macam apa yang mengajari siswinya menggunakan kekerasan???"
Vera menunjukkan memar-memar di tangan Haura. Rima pun tentu sangat tak menduga hal tersebut, Nia selalu mengatakan padanya kalau Haura takkan pernah mengadu meskipun disiksa. Sekarang semuanya sangat berbeda dengan apa yang Nia katakan.
"I..., itu..., itu... ."
"Cukup! Sekarang silahkan menunggu, karena Polisi akan segera datang dan membawa anda ke penjara untuk mempertanggung jawabkan apa yang anda perbuat pada Ukhti Haura!" tegas Nata yang sudah tak ingin mendengar apapun penjelasan dari Rima.
Rima pun panik setengah mati, ia tak mau pergi ke penjara, ia tak mau hidup di penjara. Wanita itu pun berlutut dengan cepat di hadapan Nata. Vera dan Haura pun tiba-tiba kebingungan ketika melihat apa yang Rima lakukan.
"Apa-apaan ini? Bangun! Saya tidak akan berbelas kasih pada orang yang tega menyakiti orang lain tanpa alasan!" perintah Nata yang merasa risih dengan apa yang Rima lakukan.
"Tolong Pak, jangan laporkan saya ke Polisi, jangan seret saya ke penjara. Saya cuma di suruh untuk menyakiti Haura, saya di bayar Pak," Rima mengakui yang sebenarnya.
Vera semakin kebingungan.
"Di bayar? Siapa yang membayar anda untuk menyakiti Ukhti Haura?" tanya Vera.
Nata pun tengah memikirkan hal yang sama.
"Itu..., yang membayar saya..., itu... ."
"Katakan siapa yang membayar anda untuk menyakiti Ukhti Haura??? Atau saya tidak akan segan-segan menjebloskan anda ke penjara!!!" ancam Nata.
Rima pun semakin gemetaran.
"Ibu Nia Pak. Ibu Nia yang membayar saya untuk menyakiti Haura. Saya di suruh Pak, saya hanya di suruh."
Semua orang pun terperangah di tempat mereka masing-masing setelah mendengar jawaban itu dari mulut Rima. Sangat tak bisa di percaya kalau Nia masih saja mencoba untuk menganggu Haura.
"Astaghfirullah hal 'adzhim! Keterlaluan!" Vera menggeram, marah.
Nata menatap ke arah Rima yang masih berlutut di hadapannya.
"Berarti kamu tahu di mana tempat tinggal Ibu Nia saat ini?" tanya Nata.
"Iya Pak, saya tahu di mana tempat tinggal Ibu Nia, bahkan semalam saya baru saja dari sana untuk mengambil bayaran darinya. Dia juga menambah satu tugas lagi untuk saya selain daripada memberikan siksaan pada Haura," jawab Rima.
"Tugas apa itu?" tanya Vera.
"Tugas untuk mengawasi Ibu Dahlia di rumah ini. Katanya dia akan menambah bayaran saya jika saya berhasil mengawasi gerak-gerik Ibu Dahlia dan melaporkan kepadanya," jelas Rima.
"Ya Allah, kenapa dia begitu ingin sekali menghancurkan segalanya?" Vera benar-benar tak habis pikir.
Nata benar-benar memutar otak sekarang, ia tak boleh gegabah jika tak ingin kehilangan jejak Nia sekali lagi. Ia harus menggunakan kesempatan ini untuk menghentikan perbuatan Nia.
"Baiklah, jika Polisi datang maka anda harus menunjukkan pada mereka di mana lokasi rumah Ibu Nia. Saya tidak akan menuntut anda jika anda mau bekerja sama," tawar Nata.
"Baik Pak..., saya akan bekerja sama."
* * *
Polisi benar-benar meringkus Nia sekaligus Niken yang selama beberapa hari ini buron dari pengejaran mereka. Nata melihat sendiri bagaimana kedua wanita itu memberontak karena tak ingin di bawa ke penjara. Bagas dan Yoga tak mencegah sama sekali, Nata menduga kalau mereka berdua sudah terlalu lelah menghadapi kelakuan istri mereka masing-masing selama ini.
Bara tiba di rumah itu tak lama setelah Polisi pergi, pria itu memeluk Papanya dengan erat tanpa ragu-ragu. Bagas pun menangis di dalam pelukan putranya.
"Maafkan Papa Nak, Papa terlalu masa bodoh selama ini hingga tak memikirkan apa dampaknya padamu. Nata sudah menceritakan semuanya pada Papa," mohon Bagas.
"Sudah Pa, tidak usah dipikirkan lagi. Semuanya sudah berakhir sekarang, Mama memang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap Almarhumah Bibi Fahira dan juga Ukhti Haura," balas Bara, tanpa mendendam.
Yoga menatap ke arah Nata.
"Saya tidak menduga kalau ada pembunuhan yang dilakukan oleh istri saya. Saya benar-benar tak peduli apapun tentangnya selama ini karena saya tak pernah memiliki anak darinya. Saya selalu berpikir kalau saya sudah cukup memberinya uang dan dia tidak akan berbuat macam-macam," ungkap Yoga.
"Bukan salah Paman. Meskipun apa yang Paman lakukan itu salah, tapi sikapnya ya sikapnya, bukan sikap Paman," ujar Nata, berusaha menenangkan Yoga.
Yoga tersenyum singkat.
"Kamu benar-benar mirip dengan Almarhum Danu, tak pernah menyalahkan orang lain," nilainya.
Nata hanya bisa tersenyum tanpa mengatakan apapun.
'Bahkan sifat dan sikapmu itu tak ada bedanya dengan Adik bungsuku.'
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Qadarullah
Spiritual[COMPLETED] Menerima setiap takdir yang Allah berikan bukanlah perkara mudah bagi setiap manusia di dunia ini. Namun itulah yang dilakukan oleh Nata, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Ummi dan Almarhum Abinya sedari kecil. Namun ketika akhirnya...