30 | Haflat Zifaf*

266 24 8
                                    

Bagas menatap putranya yang tengah berdiri di hadapannya. Ia tersenyum bangga melihat Bara yang sudah berbalut pakaian pengantin dengan nuansa broken white. Ketampanan putranya tak bisa ditutupi dengan cara apapun, semua terlihat begitu luar biasa dengan pancaran aura dalam dirinya yang tegas.

Bara mencium tangan Ayahnya dengan penuh khidmat, ia tak ingin melepaskan tangan itu bahkan untuk sesaat.

"Papa merestuimu Nak. Insya Allah Papa tidak akan pernah menolak kehadiran menantu Papa, karena dia adalah wanita terbaik yang kamu pilih," ujar Bagas.

"Maafkan semua kesalahan Bara Pa, Bara belum bisa memberikan apa-apa pada Papa, tapi Bara sudah harus menjalani hidup Bara sendiri sebentar lagi. Papa harus tinggal bersama Bara dan istri Bara nanti. Papa tidak boleh menolak," pinta Bara, dengan sepenuh hati.

Bagas memeluk putranya dengan perasaan haru luar biasa.

"Papa yang seharusnya minta maaf padamu Nak. Papa selama ini tidak bisa memberikan apapun padamu termasuk tidak mendidikmu dengan baik. Tapi Allah begitu baik pada Papa dengan memberikanmu akal sehat dan hati yang bersih, sehingga kamu tahu kalau mengikuti jalan yang Papa lakukan maka kamu akan tersesat. Kamu tidak perlu memberikan apapun untuk Papa. Allah memberikanmu ke dalam hidup Papa rasanya itu sudah lebih dari cukup. Hidup Papa sudah lengkap dengan adanya dirimu Nak," balas Bagas.

Akmal menepuk-nepuk punggung anak dan cucunya agar mereka tidak terus-menerus bersedih. Nata berdiri di belakang kursi roda Kakeknya dan ikut terdiam menyaksikan bagaimana Bara yang tengah meminta restu dari Bagas.

"Ya Allah, aku rindu Abi," batin Nata.

"Ayo, acara ijab kabulnya sudah mau dimulai. Jangan buat Nak Vera menunggu terlalu lama," ajak Akmal.

Bara pun menyeka airmatanya setelah Bagas melepaskan pelukannya. Bagas mendampingi Bara berjalan menuju ke hadapan penghulu. Acara ijab kabul itu akan dilakukan di taman depan rumah keluarga Brawijaya, tepat di bawah payungan gazebo berhias gorden-gorden putih. Nata mendorong kursi roda milik Akmal agar bisa ikut duduk menjadi saksi dalam pernikahan Bara.

Dahlia sudah mempersiapkan Vera di kamar pengantin lantai dua rumah itu. Haura dan Vini tak henti-hentinya mengambil foto sosok Vera yang begitu terlihat cantik dalam balutan baju pengantin islami yang Dahlia pesan khusus untuk hari bahagia itu. Vera pun menatap Dahlia yang kini duduk di sampingnya.

"Berdo'alah Nak, sebentar lagi kamu akan menjalani hidupmu yang baru bersama Bara," ujar Dahlia.

Vera tersenyum di balik niqob-nya yang penuh dengan bordiran bunga nan indah.

"Baik Nyonya."

"Ssttt..., jangan panggil saya Nyonya lagi. Panggil saya Bibi, kalau perlu panggil saya Ummi seperti Haura memanggil saya selama ini," pinta Dahlia.

Kedua mata Vera pun kembali berkaca-kaca.

"Baik Mi. Insya Allah aku tidak akan pernah lupa semua pesan yang Ummi katakan," ulang Vera.

"Jangan menangis sayang, pengantin yang cantik tidak boleh menangis di hari bahagianya," cegah Dahlia seraya tersenyum.

Haura pun mengambilkan tissue untuk menghapus airmata Vera dengan hati-hati. Di bawah, Bara menghadapi penghulu yang duduk di depannya bersama Bagas, Akmal dan Nata yang ada di sampingnya. Bara menjabat tangan penghulu tersebut untuk melakukan ijab kabul.

"Bismillahirrahmannirrahim, saya nikahkan dan kawinkan ananda Bara Brawijaya bin Bagas Brawijaya dengan adinda Vera Azizah Rahma binti Almarhum Asmid Hamdan, dengan mahar satu set perhiasan emas seberat dua puluh dua gram beserta seperangkat alat Shalat dan Al-Qur'an, dibayar tunai karena Allah ta'ala," ujar penghulu.

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang