Haura sudah hampir menyelesaikan masakannya saat Nata muncul di dapur pagi itu. Bi Inah pun segera keluar untuk memberi mereka ruang. Nata begitu serba salah, ia kebingungan selama beberapa saat dan hanya memandangi punggung istrinya disertai rasa bersalah.
"Mi," sapa Nata, gugup.
Haura pun menoleh ke arah Nata lalu tersenyum dari balik niqob-nya. Ia meraih tangan suaminya lalu menciumnya dengan lembut.
"Iya Bi. Abi mau sarapan?" tanya Haura.
"Bukan Mi, Abi mau bicara sama Ummi," jawab Nata.
"Baiklah, Abi mau membicarakan apa?"
"Maafin Abi ya, semalam Abi ketiduran di kamar Kakek. Abi bahkan belum sempat mengatakan apapun pada Ummi, dan Abi malah membiarkan Ummi tidur sendiri... ."
"Bi," Haura memotong ucapan suaminya dengan cara meletakkan jari telunjuknya di bibir Nata, "Ummi nggak apa-apa. Abi tenang saja, Ummi mengerti kalau keadaannya memang sangat tidak tepat kemarin," ujar Haura yang tak ingin Nata merasa bersalah padanya.
Dahlia pun masuk ke dapur tak lama kemudian sambil memeriksa ke arah kulkas.
"Loh? Kok kalian berdua sudah bangun pagi-pagi sekali? Kenapa tidak beristirahat?" tanya Dahlia.
Nata pun menatap Dahlia serba salah, sementara Haura kembali mengaduk sop ayam yang sedang dimasaknya.
"Anu Mi..., semalam aku ketiduran di kamar Kakek, jadinya Haura tidur sendiri tadi malam," ujar Nata, jujur.
"Astaghfirullah hal 'adzhim..., sudah! Bawa istrimu ke kamar, jangan membantah!" perintah Dahlia.
Haura menatap Dahlia, kaget.
"Tidak apa-apa Mi, aku akan membantu Ummi memasak dulu sampai selesai," ujar Haura.
"Tidak boleh. Ayo..., ikut suamimu ke kamar kalian," paksa Dahlia.
Nata pun akhirnya membawa Haura naik ke atas. Ia menggenggam erat tangan istrinya untuk pertama kali, sehingga membuat wajah Haura memerah karena malu.
"Tangan Ummi kok dingin? Ummi mau sarapan dulu?" tawar Nata, khawatir kalau Haura akan kelaparan.
Haura pun menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Terus tangan Ummi dingin seperti ini karena apa?"
"Itu..., mungkin karena Abi. Ummi gugup, jadi... ."
Nata pun tersenyum mendengar jawaban yang berantakan dari Haura karena rasa gugupnya. Ketika mereka tiba di kamar, Nata melepaskan genggaman tangannya lalu menutup pintu sekaligus menguncinya dengan rapat.
Nata mendekat kembali untuk merangkul Haura dan membawanya menuju ke tepian tempat tidur mereka. Ia menatap kedua mata Haura lekat-lekat untuk pertama kalinya, dan baru menyadari kalau kedua mata itu berwarna abu-abu kecokelatan yang begitu jernih. Kedua tangan Nata membuka ikatan niqob di belakang kepala Haura, perlahan-lahan, niqob itu terbuka dan menampilkan wajah cantik nan bercahaya dari baliknya. Wajah itu menujukkan semburat merah muda di kedua pipinya, begitu menyejukkan hati ketika Nata memandangnya.
"Masya Allah, betapa Allah sangat mencintaimu wahai istriku, sehingga Dia memberikanmu wajah yang begitu cantik lagi menyejukkan hati ketika aku memandangmu," puji Nata.
Debaran di dada Haura semakin menjadi berkali-kali lipat setelah mendengar apa yang Nata sampaikan. Haura pun menundukkan wajahnya karena malu, namun Nata mencegahnya agar tak terus menunduk dengan menyentuh dagunya, lembut.
"Jangan sembunyikan kecantikan Ummi, hanya Abi yang melihat kecantikan Ummi saat ini. Jadi biarlah Abi menikmatinya agar rasa cinta di hati Abi untuk Ummi semakin besar," pinta Nata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Qadarullah
Spiritual[COMPLETED] Menerima setiap takdir yang Allah berikan bukanlah perkara mudah bagi setiap manusia di dunia ini. Namun itulah yang dilakukan oleh Nata, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Ummi dan Almarhum Abinya sedari kecil. Namun ketika akhirnya...