21 | Sebuah Permohonan

225 23 11
                                    

Bara membaca ulang alamat yang dituliskan oleh Dahlia semalam di atas sebuah kertas. Dahlia ingin sekali mengunjungi Vini seperti yang dikatakannya pada Vera saat meminta alamat itu, namun Allah berkehendak lain dengan membuatnya terkena demam dan sakit kepala. Akhirnya, Dahlia pun meminta Bara untuk menggantikannya menemui Vini agar gadis itu tidak kecewa setelah di telepon oleh Vera semalam.

Setelah membaca ulang isi kertas itu, sekarang Bara benar-benar yakin kalau tempat yang ia tuju sudah benar. Ia pun segera memasuki panti asuhan itu dan bertemu dengan Kepala Panti yang sudah dihubungi oleh Vera.

"Assalamu'alaikum, saya Bara Brawijaya yang akan menemui Vini Amira Rahma, Adik dari Ukhti Vera Azizah Rahma," ujar Bara sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Wa'alaikumsalam, silahkan masuk Pak Bara, Vini sudah menunggu di taman belakang," jawab Kepala Panti tersebut.

Bara pun segera berjalan menuju ke taman belakang sesuai dengan arahan dari Kepala Panti. Ia melihat sosok Vini yang duduk di sebuah bangku seorang diri. Gadis kecil itu memakai baju yang kemarin dulu di belikan oleh Vera, lengkap dengan niqob-nya. Bara tersenyum melihatnya, ia bahagia sekali saat tahu kalau Vini benar-benar mememuhi janjinya pada Bara.

"Assalamu'alaikum," sapa Bara.

Vini tahu kalau itu adalah suara Bara, namun ia memilih untuk tidak mengangkat wajahnya.

"Wa'alaikumsalam Kak Bara," jawab Vini, pelan.

Bara duduk di bangku yang ada di seberang meja. Ia menyodorkan dua plastik berisi baju gamis satu set dengan hijab dan niqob dari Dahlia.

"Itu hadiah untuk Vini dari Bibinya Kakak, isinya baju gamis, hijab dan niqob. Tadinya Bibi Lia mau datang sendiri ke sini untuk menemui kamu, tapi Bibi Lia terkena demam sejak semalam sehingga mengharuskan beliau untuk beristirahat," ujar Bara.

"Apakah keadaan Bibinya Kak Bara sudah baikan sekarang?" tanya Vini, khawatir.

Kali ini Bara tak perlu melihat wajahnya untuk tahu bagaimana ekspresi gadis kecil itu. Ia tahu betul kalau Vini sedang khawatir terhadap kondisi Dahlia.

"Alhamdulillah kondisi Bibi Lia sudah agak membaik, tapi tetap beliau harus beristirahat agar bisa kembali sehat seperti biasanya," jawab Bara.

Vini pun menganggukan kepalanya, pertanda bahwa ia mengerti dengan jawaban yang Bara berikan. Bara mengamati keadaan di sekitar taman itu, di mana semua jendela kamar panti asuhan itu mengarah ke tempat di mana ia dan Vini tengah duduk. Bara tahu persis kalau Vini sedang merasa sangat gelisah, dan Bara pun tahu kalau kegelisahan itu berasal dari tatapan para penghuni panti lainnya yang sedang mengintip melalui jendela-jendela kamar.

"Vini, di sini tidak akan ada yang mendengar apapun yang kita bicarakan. Sekarang katakan saja dengan jujur, apa yang kamu takutkan?" pinta Bara.

"Kak Bara tahu darimana kalau aku sedang merasa takut?" Vini semakin gelisah.

"Dari gerak-gerik kamu, dan juga dari ekspresimu yang tidak bersemangat seperti saat pertama kita bertemu di pasar tanah abang dua hari yang lalu. Katakan saja, Kakak pasti akan mendengarkanmu," jawab Bara sekaligus meminta Vini untuk kedua kalinya.

Vini ragu-ragu untuk beberapa saat, namun ia terlihat tak ingin lagi memendam sendiri apa yang ia rasakan.

"Kak Bara, bisakah Kak Bara mengeluarkan aku dari panti asuhan ini? Aku takut tinggal sendiri di sini. Kakak boleh membawaku ke panti asuhan yang lain, yang penting bukan di sini," pinta Vini dengan sorot mata ketakutan.

Sorot mata yang begitu Bara kenali, sorot mata yang pernah Bara lihat sepuluh tahun yang lalu. Sorot mata ketakutan milik Haura yang selalu membuatnya ingat akan hari pembunuhan itu terjadi. Bara pun langsung tersenyum agar tak ada yang curiga kalau Vini tengah bercerita padanya saat itu.

"Apakah ada yang menyakiti Vini di sini?" tanya Bara.

Vini mengangguk.

"Baju yang Kak Vera dan Kak Bara belikan dua hari yang lalu mereka rendam di dalam air bekas mengepel lantai. Aku hanya berhasil mengeringkan yang sedang kupakai saat ini. Mereka pasti sudah melihat kalau Kakak membawakan aku pakaian baru lagi dari jendela-jendela itu, dan baju-baju yang ada di dalam plastik itu akan segera mereka rebut lagi Kak. Sebaiknya Kakak bawa pulang saja lagi baju-baju itu jika Kakak tidak bisa mengeluarkanku dari sini," jawab Vini dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

Bara pun mengangkat ponsel yang sedari tadi ia genggam untuk ia tempelkan di telinganya.

"Apakah Ukhti Vera sudah dengar apa yang Vini katakan?" tanya Bara.

Vini menatap ponsel itu. Di seberang sana Vera sedang berusaha menahan airmatanya tepat di samping Haura yang juga mendengar pengakuan Vini.

"Iya Akh Bara, saya mendengarnya," jawab Vera, seraya terisak pelan.

"Bagaimana? Apakah saya boleh mengeluarkannya dari panti asuhan ini sekarang juga dan membawanya ke pesantren milik Nata?" Bara meminta keputusan.

"Iya Akh, silahkan bawa Vini ke sana. Tolong selamatkan dia Akh," pinta Vera.

"Baiklah Ukhti, akan saya hubungi lagi jika sudah selesai urusan di sini. Ukhti tolong hubungi Kepala Pantinya agar saya tidak dipersulit."

"Baik Akh Bara."

Sambungan telepon itu pun terputus. Bara kembali tersenyum ke arah Vini yang masih terpaku di tempatnya.

"Kak Vera setuju kalau kamu Kakak keluarkan dari panti asuhan ini. Kita akan ke pesantren milik Adiknya Kak Bara. Kamu akan tinggal di sana, belajar dan sekolah di sana. Insya Allah Kak Vera bisa menemuimu di sana kapanpun jika dia sempat," Bara meyakinkan.

Vini pun tersenyum setengah menangis dari balik niqob-nya. Ia bingung sendiri ingin mengatakan apa pada Bara atas apa yang dilakukan pria itu untuk meyakinkan Kakaknya. Tak lama kemudian Kepala Panti menemui mereka berdua sambil membawakan berkas milik Vini yang akan diserahkan pada Bara.

"Vini, ada barang-barang yang akan kamu ambil?" tanya Bara sebelum pergi.

"Ada Kak, tapi...," Vini kembali ragu-ragu.

Bara mengerti akan ketakutan itu.

"Ayo Kakak temani kamu berkemas. Kakak nggak akan meninggalkan kamu," ajak Bara, meyakinkan.

Vini pun mengangguk penuh semangat. Mereka berjalan melewati kamar-kamar yang ditempati para penghuni panti asuhan itu. Tatapan mereka sangat mengindikasikan kalau mereka semua merasa iri hati pada apa yang Vini dapatkan. Banyak hal yang membuat Vini jelas takkan betah tinggal di tempat itu, dan Bara juga takkan pernah setuju jika gadis kecil itu tinggal di sana terlalu lama.

Usai berkemas, Bara langsung membawa barang-barang Vini yang tak terlalu banyak menuju ke mobilnya.

"Ayo Vini, masuk," Bara sudah membukakan pintu.

Vini pun menuruti apa yang Bara katakan. Setelah Bara menutup pintu mobilnya, ia pun segera menyetir dan membawa gadis kecil itu menuju ke pesantren Al-Mukaromah. Ada kelegaan yang terpancar dari sorot mata Vini sekarang, Bara dapat merasakan hal itu.

"Vini, sekarang katakan pada Kakak, apa saja yang sering mereka lakukan pada kamu," pinta Bara.

Pandangan Vini menerawang.

"Awalnya... ."

* * *

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang