EXTRA 5 | Memeluk Masa Depan

589 25 42
                                    

Akmal menatap Yoga dengan keningnya yang mengerenyit penuh kejengkelan luar biasa. Yoga sendiri hanya bisa menundukkan kepalanya dan menatap lantai rumah sakit, yang baru saja ia sadari kalau lantai tersebut terlihat cantik.

"Kamu itu lahir dari batu atau bagaimana?" omel Akmal

Yoga pun meringis mendengar omelan itu dari mulut Akmal.

"Seenaknya saja mengkhitbah akhwat tapi tidak bilang-bilang dulu! Kamu pikir dengan kamu mengkhitbahnya semua bisa beres dalam sekejap, hah? Atau jangan-jangan kamu berniat kawin lari ya?" tanya Akmal, dengan segudang pemikiran terburuk yang ada di dalam kepalanya.

"Pa, Papa dengar dulu penjelasanku. Keadaannya tadi membuatku tak punya pilihan selain mengkhitbahnya secara langsung. Aku sudah berniat mau memberitahu Papa setelah dia menerima khitbahku, hanya saja Papa tiba-tiba muncul dan aku terpojok," jelas Yoga.

Plakkk!!! Plakkk!!! Plakkk!!!

Akmal memukuli bahu Yoga dengan penuh rasa kesal setengah mati. Yoga hanya bisa meringis kesakitan tanpa berani melawan.

"Kalau mau mengkhitbah akhwat harus bilang dulu sama Orangtua! Biar Orangtua yang sampaikan khitbahmu! Jadi anak kok hobi sekali bikin kesal!"

Bara terkikik geli melihat nasib Pamannya yang sedang sengsara tanpa berniat melerai sama sekali.

Vera tersenyum dari balik niqob-nya di dalam ruang perawatan bersama Ustadzah Dian. Mereka berdua sama-sama melihat bagaimana Yoga yang tengah diberi hukuman oleh Akmal di luar sana.

"Afwan ya Ukhti, Kakek memang selalu begitu terhadap anak-anaknya. Beliau menjadi sangat overprotectif, setelah apa yang pernah terjadi di dalam keluarga kami. Beliau tidak ingin lagi anak-anaknya salah memilih," jelas Vera.

Ustadzah Dian pun ikut tersenyum seraya mengangguk-anggukan kepalanya.

"Iya Ukhti, saya mengerti. Tapi, apakah pukulan-pukulan itu kira-kira akan berakhir?" Ustadzah Dian sudah tak bisa menyembunyikan rasa ngilu yang terbayang akibat melihat Yoga dipukuli.

Vera pun tertawa pelan.

"Tenang saja Ukhti, Paman Yoga sengaja memasang wajah meringis agar pukulan Kakek tak semakin keras. Sebenarnya dia tidak kesakitan sama sekali," jawab Vera.

"Ooh..., saya kira pukulannya serius," Ustadzah Dian ikut tertawa pelan.

"Di rumah, hanya Akh Nata saja yang tidak pernah dipukul oleh Kakek, karena dia sangat mandiri dan tahu menempatkan diri. Tapi kalau Papa mertua saya, Paman Yoga, dan juga suami saya sendiri biasanya sering mendapat pukulan seperti itu, karena mereka selalu melalukan sesuatu yang membuat Kakek kesal. Entah itu karena tidak sengaja, atau karena sengaja," ujar Vera.

Ustadzah Dian terlihat sangat tak menduga dengan apa yang Vera katakan. Mereka berdua pun kembali tertawa.

Bara mendorong kursi roda yang Akmal pakai untuk masuk ke dalam ruang perawatan. Pria paruh baya itu pun meminta Ustadzah Dian duduk bersama Vera tak jauh dari mereka.

"Aku boleh masuk Pa?" tanya Yoga memohon.

"Mau Papa coret nama kamu dari daftar nama keluarga, hah? Kamu belum menikahi dia dan sudah mau berada satu ruangan dengannya? Keluar! Jauh-jauh! Berdiri di parkiran sana sekalian!" usir Akmal, sebal.

Bara pun mendorong Yoga agar menjauh dari pintu. Ia menutup pintu dan mengajak Pamannya pergi, ke parkiran!

Kini Akmal menghadapi Ustadzah Dian tanpa gangguan.

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang