2 | Beradaptasi

514 59 11
                                    

Dahlia menuntun Haura menuju ke rumah utama bersama Bi Inah. Nata sudah membantu Kakeknya duduk di meja makan untuk makan malam bersama. Akmal menatap ke arah Haura ketika melihat Dahlia benar-benar membawanya keluar dari rumah tempatnya terkurung selama ini.

"Ayo sayang, duduk di sini ya. Kita makan sama-sama," ujar Dahlia seraya tersenyum dari balik niqob-nya.

Haura pun duduk dengan gemetar di kursi itu. Nata menuangkan air minum untuk gadis itu dan menyodorkan gelas tanpa menatapnya.

"Di minum Dek," ujar Nata, ramah.

Dahlia melihat kebingungan di wajah Haura ketika melihat sikap Nata.

"Dia anak Ummi, namanya Nata. Dia lebih tua dari kamu, dan jangan kaget dengan sikapnya. Dia bukan sombong, tapi menjaga jarak dari Akhwat yang bukan mahromnya. Sebagai seorang Akhwat, kamu tidak boleh menatap wajah Ikhwan dengan bebas atau sesuka hati. Pandangan itu harus di jaga, kamu juga tidak boleh bersentuhan tangan dengan Ikhwan yang bukan mahrom kamu, hukumnya haram," jelas Dahlia.

Haura pun menganggukan kepalanya, pertanda bahwa ia mengerti penjelasan dari Dahlia. Dahlia pun segera membantu Bi Inah untuk menyajikan makan malam. Akmal menatap ke arah Haura yang terus menunduk.

"Kamu tidak perlu takut lagi, Nia dan Niken sudah tidak ada di sini. Mereka tidak akan lagi menyiksa kamu seperti dulu," ujar Akmal.

Nata menatap Kakeknya.

"Kenapa Kakek tidak mencegah Bibi Nia dan Bibi Niken?" tanyanya.

"Sudah. Sudah sering Kakek meminta mereka berhenti. Tapi mereka tetap tidak mau mendengarkan apa yang Kakek katakan. Mereka berdua sangat berbeda dengan Ibumu yang penurut, Kakek tidak bisa berbuat apa-apa ketika mereka melakukan hal itu pada Haura," jawab Akmal.

Dahlia mendengar jawaban itu sambil menyajikan makanan untuk mertuanya.

"Sudah, jangan terus-menerus dibahas Nak. Kakekmu sudah berupaya, jadi jangan berusaha menyalahkan siapapun sekarang. Kasihan Haura, dia akan selalu teringat dengan apa yang sudah lewat jika terus dibahas," ujar Dahlia.

Dahlia mendekat pada Haura untuk menyajikan makanan ke hadapannya.

"Kamu mau makan apa sayang? Ayo bilang sama Ummi."

Haura kebingungan, ia tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan yang Dahlia katakan. Selama ini ia hanya memakan makanan bekas yang di bawa oleh Nia atau Niken jika mereka ingat, jadi tentu saja ia merasa sangat bingung saat disuruh memilih makanan oleh Dahlia.

"Kamu mau telur dadar sayang?" tawar Dahlia.

Haura pun mengangguk pelan. Dahlia tersenyum padanya sambil mengambilkan sepotong telur dadar ke atas piring milik gadis itu.

"Sayur juga ya, biar kamu sehat."

Lagi-lagi Haura hanya mengangguk saat mendengar tawaran Dahlia. Dahlia bahkan mulai menyuapinya seperti pada anaknya sendiri agar Haura terbiasa makan meskipun sambil memakai niqob-nya.

"Jadi Haura mau tinggal di mana?" tanya Akmal pada Dahlia.

"Mungkin tetap di rumah sebelah Pak, tapi setelah saya dan Bi Inah membersihkan rumah itu dan menambahkan sofa serta tempat tidur. Nanti Haura pegang kunci sendiri ya sayang," jawab Dahlia sambil membujuk Haura.

Haura diam dalam kebingungannya. Nata tahu kalau gadis itu mungkin kebingungan dengam semua yang terjadi dengan sangat berbeda dari sebelumnya. Mungkin semua perlakuan Ibunya masih sangat asing baginya.

"Nggak perlu takut Dek, Ummi hanya mau kamu tinggal dengan nyaman di rumah sebelah. Kamu sudah nggak punya siapa-siapa, jadi Ummi juga tidak mungkin membiarkan kamu pergi begitu saja tanpa ada yang menjaga kamu. Di luar sana lebih tidak aman daripada di sini. Lagipula kamu tidak perlu takut lagi karena Bibi Nia dan Bibi Niken sudah tidak ada lagi di sini," ujar Nata menjelaskan.

"Sa..., saya takut. Mereka sering menyiksa saya di rumah itu. Saya takut," ujar Haura.

Suara gadis itu terdengar sangat pelan, tapi semua orang tahu betapa mengerikannya hal yang sudah dia lalui di rumah itu karena perbuatan Nia dan Niken. Dia tak perlu menjelaskan secara detail, siksaan itu benar-benar sudah terlukis jelas di dalam gerak-geriknya.

"Tapi sayangnya kamu tidak akan bisa tinggal di sini bersama Ummi. Ada Nata di rumah ini dan kalian tidak bisa tinggal seatap karena kalian bukan mahrom," Dahlia terdengar sangat menyesal karena harus mengatakan hal itu pada Haura.

Nata dan Akmal menyadarinya, Dahlia terlihat sedang memikirkan bagaimana cara membuat Haura tidak merasakan penyiksaan itu lagi meskipun dia tetap tinggal di rumah sebelah.

"Begini saja Mi, biar Haura tinggal di sini dan aku yang akan tinggal di rumah sebelah," saran Nata.

Akmal menatap ke arah cucunya yang bersedia mengalah hanya untuk membuat Ibunya tidak kebingungan mengatasi segalanya.

"Aku tahu, banyak hal yang berubah setelah kita tinggal di sini. Tapi aku nggak mau Ummi terbebani dengan perubahan itu. Aku mau Ummi menjalani hidup ini dengan tenang, agar Ummi bisa fokus untuk beribadah kepada Allah. Seperti yang Ummi dan Almarhum Abi selalu katakan padaku, bahwa hidup ini ada akhirnya dan dunia ini hanya persinggahan. Kembali menghadap Allah dengan semua amal perbuatan yang kita lakukan adalah hal terbesar yang akan terjadi pada diri kita. Jadi..., aku mau Ummi tetap berada dalam ketenangan yang sama seperti sebelumnya dan Haura akan tinggal di sini bersama Ummi," jelas Nata.

Akmal pun menganggukan kepalanya, ia merasa penjelasan Nata sangat masuk akal dan bisa diterima.

"Bagaimana Lia? Kamu setuju dengan apa yang Nata sarankan?" tanya Akmal.

Dahlia pun tersenyum dari balik niqob-nya.

"Iya Pak, saya setuju," jawab Dahlia sambil mengusap punggung Haura dengan lembut.

Tubuh Haura berhenti gemetar, ia mulai merasa tenang dan tak merasa ketakutan lagi karena tak perlu kembali ke rumah sebelah. Ia benar-benar tak bisa melupakan penyiksaan yang diterimanya selama sepuluh tahun terakhir dari Nia dan Niken. Ia sangat ingin melupakan kejadian itu.

Bi Inah membawakan puding cokelat dari dapur untuk pencuci mulut. Dahlia membantunya menyajikan di meja makan sekaligus menyingkirkan piring-piring kotor.

"Makan pudingnya ya sayang, Ummi ke dapur dulu sebentar. Setelah makan kita siapkan kamar untuk kamu ya," ujar Dahlia.

Haura pun mengangguk pelan lalu mulai memakan pudingnya sedikit demi sedikit.

"Apa pudingnya tidak enak?" tanya Akmal, bingung melihat Haura yang makan begitu lama.

"Te..., tenggorokan saya sakit. Mereka..., selalu mencekik saya dan memasukkan makanan sisa dengan paksa. Saya, harus makan pelan..., pelan," jawab Haura.

Gadis itu menangis. Dahlia mendengar jawabannya dan segera meraihnya untuk dibawa ke kamar.

"Sini, biar Ummi lihat sayang," Dahlia membuka niqob yang ada di wajah Haura sekaligus membuka jilbab gadis itu.

Dahlia menahan nafasnya saat melihat memar besar pada leher gafis itu, Haura merintih kesakitan saat Dahlia coba menyentuh lehernya.

"Astaghfirullah, Ya Allah, ayo berbaring sayang, Ummi panggilkan Dokter dulu ya," Dahlia panik.

Wanita itu berlari keluar kamar dan meraih telepon di ruang tengah. Ia menghubungi Dokter Ema agar bisa datang secepatnya ke rumah itu.

"Kenapa Lia? Ada apa?" tanya Akmal.

Dahlia menatap mertuanya, kali ini ia tak menyembunyikan kemarahannya.

"Manusia macam apa yang tinggal di sini selama ini Pak? Kenapa bisa dia melakukan penyiksaan sekeji itu pada Haura?" tanya Dahlia, murka.

Akmal hanya bisa terdiam di tempatnya.

* * *

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang