"Aku menunggu telepon dari Mas Bara hampir satu jam loh," Nata terus mengingatkan Bara akan janjinya yang terlupa.
Bara meringis tak enak hati pada Nata akan kepikunannya yang terkadang kumat secara tiba-tiba.
"Maaf Dek, Mas nggak sengaja lupa," mohon Bara.
"Kalau lupa disengaja ya namanya bukan lupa Mas Bara," ujar Nata sambil melipat sajadah yang sudah dibeli Bara untuk dibagikan pada para santri dan santriwati baru.
Bara pun menarik nafasnya dalam-dalam.
"Tadi aku bertemu Ukhti Vera di pasar tanah abang, dia sedang mencarikan Adiknya hijab yang satu set dengan niqob," ujar Bara.
"Oh ya? Lalu Mas menyapanya, tidak?" tanya Nata.
"Ya, aku menyapanya. Dia kaget saat tahu kalau aku ada di tempat yang sama dengannya tadi. Dia langsung menjelaskan kalau dirinya telah meminta izin pada Bibi Lia. Sepertinya dia takut sekali kalau aku akan marah," jawab Bara sambil terkekeh.
Nata pun ikut tersenyum.
"Tunggu dulu Mas..., jangan-jangan Mas Bara lupa meneleponku karena bertemu Ukhti Vera, ya?" tebak Nata.
Bara pun menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Nata pun menggeleng-gelengkan kepala saat tahu yang sebenarnya terjadi.
"Mas Bara jadi tidak fokus karena bertemu Ukhti Vera rupanya...," sindir Nata.
"Eh..., bukan begitu Dek. Demi Allah Mas memang lupa meneleponmu. Tolonglah, jangan berpikiran yang tidak-tidak," Bara kalang kabut.
Nata kembali terkekeh pelan saat melihat wajah Bara yang panik.
"Jadi Ukhti Vera berbelanja untuk Adiknya?" tanya Nata.
"Ya, Ukhti Vera membelikannya satu pasang hijab dan niqob sementara Vini meminta tiga pasang. Aku melihat dengan jelas perubahan raut wajahnya saat Ukhti Vera mengatakan beli satu saja karena uang Kakak tidak cukup. Tapi dia tetap tersenyum seakan tahu kalau Kakaknya kesulitan mencari uang. Dia masih kecil Dek, dan dia sudah tahu apa itu beban hidup," Bara tak bisa menyembunyikan perasaannya yang begitu berat.
Nata tahu betul kalau Bara memang orang yang perasa, sejak dulu hingga sekarang pria itu masih saja tak berubah.
"Ada yang kupikirkan sejak tadi mengenai Vini," Bara mengungkapkan kegelisahannya.
"Apa itu?" Nata ingin tahu.
"Sebelum pergi, Vini mengatakan pada Ukhti Vera, 'Kak, ayo, nanti aku dimarahi oleh penjaga panti asuhan kalau terlambat pulang', begitu katanya."
"Panti asuhan?"
Nata terlihat kebingungan.
"Ya, Vini menyebut panti asuhan. Aku benar-benar bingung sejak tadi, bagaimana bisa Adiknya tinggal di panti asuhan? Apakah mereka anak yatim piatu? Apakah mereka tak punya rumah?"
"Bisa jadi. Apakah menurut Mas, Ukhti Vera bekerja untuk membiayai sekolah Adiknya?" Nata kembali ingin tahu.
"Aku pun tadi berpikir begitu Dek, dan rasanya aku mendadak khawatir pada Vini karena harus hidup berjauhan dari Kakaknya. Usianya masih terlalu muda."
"Aku akan meminta Ummi untuk menanyakannya, jika Mas Bara setuju," tawar Nata.
Bara terdiam.
"Apakah Ukhti Vera takkan marah atau merasa privasinya terganggu apabila kita mencari tahu?" tanya Bara, agak takut.
"Kita tidak akan pernah tahu kalau kita tidak mencoba," jawab Nata.
* * *
Dahlia sedang mencicipi hasil masakan yang Vera buat siang itu. Vera menatapnya seakan sedang menunggu penilaian dari juri di sebuah lomba memasak.
"Wah, Masya Allah. Enak sekali Nak, rasanya pas dan tidak ada yang berlebihan," puji Dahlia.
Vera pun tersenyum dari balik niqob-nya.
"Syukron Nyonya Lia," ungkap Vera.
"Afwan. Rajin-rajinlah belajar memasak. Insya Allah di masa depan kamu tidak akan kesulitan jika nanti kamu punya suami," balas Dahlia.
Vera pun mengangguk. Dahlia masih menatapnya.
"Nak, boleh saya tanya sesuatu?"
"Iya Nyonya, silahkan," jawab Vera.
"Tapi kamu jangan marah atau tersinggung. Saya hanya ingin tahu, karena siapa tahu saya bisa membantu," pinta Dahlia.
Vera kembali tersenyum.
"Mana mungkin saya marah pada Nyonya Lia. Nyonya Lia baik sekali pada saya selama ini sejak saya bekerja di sini. Jadi saya rasa, Nyonya tidak perlu khawatir saya akan marah. Saya tidak akan pernah marah pada Nyonya," ujar Vera, meyakinkan.
Dahlia pun tersenyum.
"Begini, saya dengar dari Nata, katanya kemarin kamu bertemu dengan Bara di pasar tanah abang. Apa benar?" tanya Dahlia.
Deg!
Vera agak terkejut saat tahu kalau hal itulah yang akan Dahlia tanyakan padanya. Ia tak menyangka kalau Bara akan menceritakannya pada Nata mengenai pertemuan mereka.
"I..., iya Nyonya. Tapi demi Allah Nyonya, pertemuan itu tidak sengaja sama sekali. Saya bahkan tidak tahu kalau Akh Bara akan ke tempat yang sama seperti yang saya tuju," jawab Vera yang begitu takut Dahlia akan salah paham padanya.
Dahlia pun tersenyum.
"Saya bukan mau menanyakan pertemuannya, kamu jangan salah paham. Bara juga cerita kok pada Nata kalau kalian tidak sengaja bertemu," Dahlia tahu betul kalau Vera sudah mulai panik.
Vera akhirnya hanya bisa mengulum senyum.
"Katanya kamu punya Adik ya? Namanya Vini, kan? Dia tinggal di mana, kalau boleh saya tahu?"
"Vini tinggal di panti asuhan Nyonya. Saya memintanya tinggal di sana untuk sementara waktu karena rumah peninggalan Almarhumah Ibu kami disita oleh bank setelah Bapak kami meninggal. Tanpa sepengetahuan kami, Almarhum Bapak dulu menggadaikannya untuk...," Vera ragu-ragu mengatakannya.
"Katakan saja, tidak perlu menyembunyikan apapun dari saya."
Vera yang awalnya ragu pun kembali yakin kalau Dahlia tidak akan berpikiran macam-macam tentang dirinya.
"Almarhum Bapak saya menggadaikan rumah itu untuk menutupi hutang judinya Nyonya. Dan saat ini saya masih berusaha untuk menebus kembali rumah peninggalan Almarhumah Ibu dari uang gaji yang saya terima," jelas Vera.
"Dan apakah Vini saat ini masih sekolah?"
"Iya Nyonya, Alhamdulillah Vini masih sekolah. Dia baru saja masuk SMP kelas tujuh, sekolahnya juga dekat karena terletak di samping panti asuhan tempatnya tinggal. Jadi saya tidak terlalu was-was saat meninggalkannya di sana."
Dahlia pun merangkul Vera dengan lembut.
"Beritahu saya di mana alamat panti asuhan itu. Saya mau bertemu Vini. Kata Bara, Vini adalah gadis kecil yang di wajahnya selalu penuh senyuman dan semangat. Karena itulah, saya penasaran ingin bertemu dengannya dan bertanya pada kamu secara langsung," jelas Dahlia, jujur.
Vera kembali tersenyum.
"Akh Bara sepertinya berlebihan menilai Vini, tapi Vini memang seperti itu sejak kecil. Dia adalah orang paling semangat dan murah senyum di rumah. Malah, dia adalah orang yang menguatkan saya di saat Ibu meninggal. Dia menghibur saya seakan tahu kalau saya memang membutuhkan sandaran pada saat itu," ujar Vera.
"Masya Allah, beruntung karena kamu memiliki Adik yang begitu tegar seperti Vini. Insya Allah, kalian akan segera bisa kembali tinggal di bawah satu atap," do'a Dahlia.
"Amiin yaa rabbal 'alamiin. Syukron Nyonya Lia atas do'anya," ucap Vera.
"Afwan Nak Vera. Kalau begitu, saya boleh menemuinya, kan?"
"Tentu Nyonya Lia, kapanpun Nyonya ingin bertemu Vini, Nyonya boleh menemuinya."
Dahlia pun tersenyum lega.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Qadarullah
Spiritual[COMPLETED] Menerima setiap takdir yang Allah berikan bukanlah perkara mudah bagi setiap manusia di dunia ini. Namun itulah yang dilakukan oleh Nata, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Ummi dan Almarhum Abinya sedari kecil. Namun ketika akhirnya...