BAB 2 (Part 3)

135 9 1
                                    

"Lihat genks! Kopi dari Sulawesi !" kataku dengan bangga memamerkan bag kopi 500 gram di tengah meja. Romi dan Ian menggapai bag kopi hampir bersamaan tapi tangan Ian lebih cepat.

"Wah...Dapat dari mana maneh? Kopi apa teh namanya?" tanyanya sambil membolak-balikkan bag itu dan menyipitkan mata ketika mencoba membaca label yang tertera di kemasan.

"Namanya kopi Kalosi. Dari Enrekang, Sulawesi Selatan." Ian manggut-manggut dan mendapati bag kopi itu raib dan beralih ke tangan Romi sedetik kemudian. Dia juga ikut-ikutan menyipitkan mata dan membaca tulisan di label bag.

"Luna yang kirimin, Fan?"tanya Tama. Bag itu sekarang sudah berada di tangannya dan tanpa ragu dia membuka segel bag. Seketika itu juga aroma biji kopi yang telah dirosting menyerbak ke seluruh ruangan. Hampir saja aku sakau dibuatnya.

"Iya, Tam. Dia minta seniornya kirim langsung dari Enrekang." Aku mendekatkan diri pada Tama, berusaha meraup sebanyak mungkin aroma sakauku dari bag kopi yang terbuka. Aromanya saja sudah enak. Rasanya aku tak sabar mencicipinya. Tama jelas menyadari itu. Dia membawa bag kopi ke mesin giling kopi di meja kerjanya. Kuserahkan masalah meracik kopi pada si barista handal itu.

"Luna siapa, Fan?"tanya Romi bingung ekspresi yang tidak jauh berbeda dengan ekspresi Ian. Bingung. Tapi Ian tidak menyuarakan pertanyaan yang sama karena mungkin merasa nama itu terasa tak asing baginya.

"Ah....Luna teman main PUBG maneh dan Rion?"akhirnya Ian mengingatnya. Aku mengangguk.

"Maneh kenal, Yan?" tanya Romi.

"Iya pernah main bareng dia beberapa kali sama Irfan dan Rion."

"Wah....masa sih. Maneh pernah liat orangnya, Yan?" Romi semakin penasaran.

"Ga sih. Dengar suaranya doang di game. Kedengarannya anaknya asik dan ramah. Noh, tanya Si Irfan. Dia pasti udah liat anaknya yang mana." Tak butuh waktu lama Romi telah melompat duduk di sampingku, meminta klarifikasi. Kubuka chat WA Luna dan membuka foto profilnya. Ponselku raib diambil Romi sedetik kemudian.

"Wah...Yang mana Fan?" tanyanya bingung karena di foto itu ada dua orang gadis yang memandang ke arah kamera.

"Yang jilbab biru. Yang sebelah adeknya."jawabku walau tanpa melihat layar ponselku.

"Ih....manis. Adeknya juga. Adiknya main PUBG juga, Fan?"tanya Ian setelah ponselku sudah berpindah tangan padanya.

"Iya. Pernah main bareng juga." Jawabku mengingat kembali momen ketika aku, Rion dan Luna bermain bersama adiknya. Aku sungguh sulit membedakan kedua suara mereka yang sangat mirip.

"Ya udah. Adiknya buat Aing aja. Maneh punya no. WA nya gak?" Ian menyerahkan ponselku ke Tama yang menukarnya dengan secangkir kopi. Tama menatap ponselku beberapa saat, kemudian mengembalikannya padaku bersama secangkir kopi lain. Dia tidak berkomentar.

"Ga ada." Kataku pendek dan tegas. Dasar serigala-serigala ini.

"Mintain di Luna dong!" timpal Romi.

"Minta aja sendiri!" kataku tersenyum jahil dan mereka berdua bersorak kecewa.

"Enak."suara Tama tiba-tiba mengalihkan kami. Dia sudah lebih dulu menyeruput kopi hitamnya. Kami bertiga buru-buru menyesap kopi kami. Jika Tama berkata enak berarti kopi ini betul-betul enak. Kuhirup aroma kopi terlebih dahulu dari uap yang mengepul lembut di atas cangkir. Aromanya jauh lebih harum dibanding aroma biji kopinya tadi. Samar-samar aku bisa menghirup aroma buah, bunga dan tanah. Setelah terpuaskan dengan aromanya, kuseruput kopi itu pelan-pelan dan rasa getir khas kopi memenuhi lidahku. Rasa perpaduan nutty, earthy dan cardamom yang indah dan belum pernah kurasakan pada kopi-kopi lokal lainnya yang pernah kucicipi. Aku menyeruputnya sekali lagi mencoba mengingat setiap detail rasa yang diberikannya dan memanjakan lidahku. Ada kesan halus dan lembut yang menyentuh langit-langit mulutku setelah kutenggak cairan kopi. Wah... Tidak ada kata lain yang bisa kugunakan mendeskripsikan sensasi ini selain kata "enak". Kulirik ketiga sahabatku yang lain. Mereka terdiam. Mereka lebih tertarik menikmati kopi masing-masing dibanding harus membagikan komentar. Aku pun merasakan hal yang sama, kuseruput kopiku sekali lagi.

SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang