BAB X-1 (Part 2)

64 4 0
                                    

Kukurangi laju lariku ketika aku memasuki gerbang Stasiun Cibatu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kukurangi laju lariku ketika aku memasuki gerbang Stasiun Cibatu. Kepalaku berbalik ke kanan dan ke kiri, mencari sosok Luna di antara kerumunan. Kuselidik setiap sudut kursi, ruangan yang kutemui dengan hati-hati takut sosoknya terlewat dari pandanganku. Aku mulai frustasi setelah lima menit mencari dan aku masih tak bisa menemukannya. Nafasku memburu, keringat bercucuran membasahi dahi dan kaosku. Pikiran buruk bahwa Luna mungkin saja telah pergi karena tak mau bertemu denganku membuatku keringat dingin. Buru-buru kutarik ponsel dari saku celana tapi mataku teralihkan pada sosok mungil berjilbab abu-abu di salah satu deretan kursi tunggu. Wajahnya tak terlihat jelas karena dia sedang menunduk, memandang sepatunya. Kedua tangannya menggenggam tas selempang hitam yang besar di pangkuannya. Firasatku berkata gadis itu adalah Luna, kuberlari mendekatinya secepat yang aku bisa.

"Luna?"panggilku perlahan. Gadis berjilbab abu-abu itu mengangkat kepala dan kakiku melemas lega menyadari bahwa gadis itu benar-benar dia. Tapi hatiku seketika itu juga tersayat mendapati wajah sembabnya yang tengah menatapku sendu. Air matanya telah mengering, tapi kedua matanya masih merah dan bengkak. Gadis itu mencoba tersenyum padaku dan inilah kali pertama bukan perasaan hangat yang memenuhi dadaku saat melihat senyumannya tapi perasaan sakit teramat dalam.

Aku melangkah perlahan ke arahnya dan Luna kembali menunduk memandangi sepatunya. Ku berlutut di depannya mencoba menangkap matanya yang tersembunyi di balik jilbab dengan lebih jelas. Gadis itu tak berani menatap mataku, tapi bisa kulihat dengan jelas matanya kembali berair dan air mata kembali membanjiri pipinya. Luna menangis tanpa suara. Dadaku tercekat, dadaku sesak. Oh Tuhan... Kumohon kembalikan senyum gadis ini lagi. Aku tak sanggup melihatnya tenggelam dalam kesedihan dan terpuruk seperti ini.

Orang-orang yang melintas mulai memandangi kami penasaran. Kami harus pergi dari sini. Kuambil dan kukenakan tas selempang Luna yang ada di pangkuannya, kuraih tangan kecilnya, memintanya berdiri dan menuntunnya keluar dari stasiun. Gadis itu menurut tanpa protes, tanpa tanya. Kini rasanya aku seperti menuntun sebuah boneka yang bisa bergerak tapi tak berbicara. Kugenggam tangannya erat, seakan mencoba membuatnya tetap utuh atau sekedar membuatnya sadar bahwa aku ada di sini, bersamanya dan tak ada satu hal apapun yang akan menyakitinya lagi.

"Pesawat Luna berangkat jam berapa?"tanyaku perlahan setelah memastikan dia telah duduk aman di kursi penumpang tepat di sampingku.

"Jam 6."bisiknya lemah. Tangan kanannya menyodorkan potongan kertas yang sedari tadi digenggamnya. Tiket pesawat penerbangan Garut-Makassar jam 6 malam. Kulirik jam di dashboard mobil. Jam 4.30. Luna tak akan tiba tepat waktu.

"Kakak reschedule tiket Luna saja yah. Bisa pinjam ponselnya?"gadis itu mengangguk perlahan.

"Adanya paling cepat penerbangan pagi jam 6 besok. Kakak sudah reschedule tiket Luna. Kita balik ke Garut kota dulu yah. Besok subuh kakak antar ke Bandara."Luna terdiam, dia meremas rok abu-abunya. Gadis itu tak membahasakannya tapi aku yakin dia tidak setuju dengan ideku itu. Dia tak ingin kembali ke kota Garut.

SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang