BAB 14

119 3 0
                                    

Senyumannya itu memang tak akan pernah bosan kupandangi. Luna mendorong troli barangnya keluar dari gerbang Departure. Gamis biru navinya berayun-ayun mengikuti setiap langkah lebarnya. Aku berlari kecil menghampirinya, berusaha memperpendek jarak secepat yang kubisa. Kudekap tubuh mungilnya erat saat dia berdiri tepat di hadapanku. Kuhirup aroma bunga dari jilbabnya dalam-dalam. Merasakan setiap sisi tubuhku kembali utuh dengan keberadaannya di sisiku sekarang.

"Aw!" jeritku kesakitan saat sebuah sengatan mendarat di pinggangku. Aku secara refleks menjauhkan diri dari sumber sengatan itu. Dari cubitan jari tangan kanan Luna.

"Ini bukan rumah, A! Malu diliatin orang!"bisiknya panik. Aku memicingkan mata kesal tapi tak membantah. Kutarik koper kelabunya turun dari troli tanpa suara. Tiba-tiba aku benci semua orang lain di bandara ini.

Kulirik sumber sentuhan yang mengalihkan perhatianku. Tangan kecil Luna menggandeng tangan kiriku yang bebas. Jari-jari kecilnya melilit sela-sela jariku dan menggenggamnya erat. Dia mendongakkan wajahnya padaku, memastikan senyum manisnya terlihat jelas olehku. Lagi-lagi senyuman Luna adalah sebuah sihir yang selalu mampu melenyapkan rasa jengkelku hilang seketika. Menguapkannya tanpa tersisa. Kubalas senyumannya dan kusandarkan pipi kiriku sesaat di puncak kepalanya.

Setelah memasukan koper Luna di bagasi, buru-buru kumenyusulnya di deretan kursi depan mobil.

"Mamah gimana, A? Sehat?"tanyanya setelah aku membanting pintu mobil di belakangku. Aku kembali menyipitkan mata padanya.

"Adek ga nanyain kabar, Aa dulu?"Luna tertawa.

"Aa kan di sini dan kelihatannya baik-baik saja."jawabnya setelah sesaat mengobservasiku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Ih...siapa bilang? Aa lagi sakit tau!"celetukku sedikit kesal. Luna mengangkat sebelah alisnya.

"Sakit apa?"

"Sakit hati! Cemburu sama Mamah!"Luna tertawa dan tak lama kemudian aku menyusulnya. Kunyalakan mesin mobil dan mobil kami meninggalkan parkiran bandara. Luna lagi-lagi mengangkat sebelah alisnya bingung ketika kubelokkan mobil ke jalan protokol menuju Kota Bandung. Bukannya tetap lurus menuju Kota Garut.

"Kita mau kemana, A?"tanyanya masih menatapku bingung.

"Ke Bandung. Jalan-jalan ke mana gitu terus kita nginap semalam dulu di hotel. Kalau Aa langsung bawa adek pulang ke Garut yang ada Adek pasti bakal dimonopoli Mama lagi."jelasku menginjak rem mobil dan melepas pedal gas. Lampu merah diperlimaan Bandara Husein Sastranegara terkenal sebagai lampu merah yang dibenci oleh pengendara. Durasi lampu merah menyala jauh lebih lama dibanding durasi lampu hijaunya.

Aku berbalik menatap wanita di sampingku ketika merasakan usapan lembut di rambutku. Kebiasaan baru Luna setelah kami menikah. Ditarik-tariknya perlahan ujung rambutku dan kembali membelai sejumput rambut yang agak berdiri karena ulah kedua jarinya tadi. Berusaha merapikanya kembali. Mata lebarnya menatap mataku lembut.

"Adek juga rindu, Aa."bisiknya perlahan. Seperti biasa, Luna bisa menerjemahkan perasaanku yang berusaha tak kubahasakan dengan baik. Membacanya layaknya sebuah buku yang terbuka lebar tepat di tengah-tengah. Senyum lembutnya masih di sana dan dengan sempurna mengahangatkan dadaku. Kuraih tangan kanannya yang berada di atas kepalaku dan memindahkannya ke pipi kiriku, membuatnya membelai lembut wajahku perlahan. Lembut tangan mungilnya membuatku terbuai saat kutangkupkan telapak tangannya di permukaan pipi. Setelah itu, kuciumi jari-jari mungilnya satu per satu. Luna menunduk malu dengan wajah memerah, tapi dia tetap membiarkanku meneruskannya. Kuciumi setiap sudut telapak tangan kanannya perlahan. Buku-buku jarinya, punggung tangannya, gelang hitamku , pergelangan tangannya dan telapak tangannya lambat-lambat. Jari tangan kirinya yang bebas meremas tali tas tangannya erat.

SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang