"Luna?"suara yang sangat akrab dan sangat kurindukan terdengar dominan oleh telinga kananku. Aku terkekeh. Sepertinya aku mulai gila dan mulai berhalusinasi. Aku bergeming dan tetap menundukkan kepala mengabaikannya.
"Luna!" panggil suara itu lagi, jauh lebih jelas. Rasa takut mulai menggerayangiku. Rambut halus di tengkukku tiba-tiba berdiri. Sekarang Magrib semakin dekat, hujan deras tak kunjung reda dan kabut masih menebal. Ya Allah, Aku berlindung dengan kalimat sempura Allah dari kejahatan makhluk-Nya. Kutundukkan kepalaku semakin dalam.
"Riani!"jerit suara tepat di depanku. Kedua bahuku diguncang-guncangnya beberapa kali, panik. Cengkramannya di lengan atasku terasa nyata untuk sebuah halusinasi dan terlalu hangat untuk dimiliki makhluk lain penghuni gunung. Suara bariton ini sangat kukenali dengan jelas siapa pemiliknya.Tapi beranikah diriku berharap bahwa si pemilih suara ini adalah benar milik pria yang sangat kurindukan di seberang pulau sana? Beranikah diriku merasakan kepedihan ketika kumengangkat kepala dan ternyata bukan sosoknyalah yang tengah berdiri di hedapanku?
Air mataku bercampur dengan air hujan ketika kumendongakkan kepala menatap sosok jakung di hadapanku. Kakiku melemas, botol tumblerku terjatuh, terlepas dari genggamanku menyadari bahwa sosok yang tengah menatapku khawatir benar pria yang sangat kurindukan itu. A Irfan menangkup wajahku terlihat sangat khawatir karena aku hanya menangis tapi tidak berkata sepatah katapun. Samar-samar kudengar dia bertanya "Apa kamu terluka?" atau "Dimana yang lain?" tapi tak satupun pertanyaan itu penting untuk kujawab selain perasaan lega dan aman bercampur aduk di dadaku. Sedu sedanku tak kunjung mereda, aku menangis seperti anak kecil. Tak yakin lagi apakah ini tangisan lega karena aku akhirnya ditemukan atau tangisan lega karena akhirnya rinduku tersalurkan atau mungkin saja keduanya. Suara isakan demi isakan bersaing dengan deru suara hujan yang menerpa jas hujan kami. A Irfan memeluk kepalaku.
"Sudah...sudah... Aa di sini. Luna akan baik-baik saja."bisiknya lembut mengusap-usap kepalaku yang tertutup jilbab dan jas hujan. Kucengkram kedua sisi carriernya, menyembunyikan wajahku di balik jas hujannya dan menangis sejadi-jadinya. Tangannya yang lebar tak henti membelai kepalaku, berusaha mengalirkan ketenangan dan kehangatannya. Dia tak bersuara lagi tapi hanya dengan keberadaanya saja sudah cukup membuatku merasa aman, merasa utuh, merasa disayangi.
"Hari udah gelap, kita ngecamp di sini aja yah. Besok baru kita cari jalan lagi."bisiknya setelah memastikan isakku tak terdengar lagi dan aku sudah jauh lebih tenang. Aku mengangguk perlahan. A Irfan mendudukan carriernya dan mengeluarkan set tenda dari sana. Tanganya dengan cepat menyambung frame-frame tenda kemudian mendorongnya masuk ke lubang frame. Aku berdiri dan memegang titik persimpangan frame di puncak tenda saat A Irfan mulai menarik ujung-ujung kaki tenda dan menancapkannya ke tanah.
Hujan telah berhenti namun dingin dan lembabnya masih bersembunyi dibalik gelapnya malam. Aku duduk meringkup di balik sleeping bag jauh di dalam tenda sedangkan A Irfan duduk di sisi lain tenda, tepat di depan pintu tenda. Dia tengah memasak mie instan untuk kami berdua. Sekotak nesting berisi nasi dengan uap mengepul diletakannya di tengah tenda. Tak ada dari kami yang mulai membuka suara setelah terakhir kali A Irfan menawarkan padaku untuk sholat magrib dan isya duluan di dalam tenda. Setelah itu hanya suara sendok yang menabrak dinding nestinglah yang mengisi kesunyian di antara kami, Mata kami pun tak pernah sekalipun bertemu. Aku tak berani menatapnya, begitupula A Irfan dan kurasa ini adalah pilihan yang bijaksana. Sebagai gantinya, mataku menatap kobaran api kecil dari kompor lapangan di mana mie instan sedang dimasak di atasnya. Satu-satunya penerangan alami selain cahaya redup dari headlamp A Irfan yang digantungkan di langit-langi tenda.
Prosesi makan juga tak jauh berbeda. Tak ada yang memulai percakapan. Aku tentu punya berbagai pertanyaan yang muncul di benakku yang ingin sekali kulontarkan tapi akhirnya tak berhasil. Kami berdua tentu sadar bahwa ada banyak hal yang harus kami ceritakan dan bahas satu sama lain atas semua masalah yang kami hadapi. Tapi entah mengapa aku sama sekali tak keberatan dengan kesunyian ini. Bahwa semua pertanyaan-pertanyaan itu bisa menunggu dan kata-kata tak terlalu penting. Bahwa hanya dengan keberadaannya saja di sini bersamaku telah membuatku lengkap dan aman. Kami berdua mengunyah lambat-lambat.
"Luna tidur aja. Aa masih mau ngerokok dan ngopi dulu."katanya saat menjulurkan tangan meminta piring kotorku. Aku mengangguk dan kupandangi sosoknya menghilang di balik pintu tenda.
***
Kuterbangun dari tidur. Mungkin karena aku tidur di awal malam tadi dan tubuhku ternyata tak selelah itu untuk tetap tidur lebih dari 6 jam. Kulirik ponsel tak jauh dari tanganku. Jam 2.10. Masih subuh. Kucoba memejamkan mataku kembali. Aroma parfum yang familiar tertangkap oleh hidungku, mataku terbuka dan mencoba mencari asal aroma wangi hutan cedar yang terasa begitu dekat. Akhirnya kusadari bahwa bau itu berasal dari jaket parasut hitam tebal yang menutupi tubuhku tepat di atas sleeping bag. Ini jaket A Irfan?
Aku dan A Irfan tidur dibatasi oleh dua carrier yang sengaja dibaringkan melintang di tengah-tengah lantai tenda. Kupandangi wajah A Irfan yang tengah tertidur pulas, menghadap ke arahku di sisi lain tenda. Sebelah alis tebalnya tertutupi sejumput rambut yang menggantung menutupi sebagian dahinya. Bayangan hidungnya yang jatuh di pipi akibat diterpa cahaya redup headlamp di langit-langit tenda semakin memperjelas garis hidungnya yang tinggi. Pergerakan kecil di kedua kelopak matanya yang terpejam membuatku berasumsi dia kini tengah bermimpi. Senyumanku terkembang tanpa bisa kutahan. Kudekap erat kedua ujung jaket A Irfan yang membungkus diriku rapat kemudian kupejamkan mata mencoba untuk tidur kembali. Berharap aku bisa berjumpa lagi dengannya di dalam mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario
RomanceRiani tak pernah menyangka akan dipertemukan dengan Irfan, pria yang dikaguminya lewat salah satu platform game online. Berawal dari saling bertukar no.ponsel dan saling mengirim pesan via Whatsapp, Riani akhirnya menyadari Irfan memenuhi hampir seb...