Aku dan A Irfan otomatis mempercepat langkah ketika melihat Kak Tama dan Kak Sam tengah menunggu di parkiran motor. Tak lama, kami pun bergerak meninggalkan Tanjung Bunga menuju Pantai Losari. Sekali lagi kujalankan tugasku sebagai pemandu wisata yang baik dan menjelaskan pada A Irfan beberapa spot keramaian yang kami lewati. Mulai dari Transtudio Mall, Gedung Triple C dan Central Point of Indonesia. A Irfan berhenti sejenak dan memarkirkan motor untuk mengambil beberapa gambar di central point. Kumenawarkan jasa pengambilan foto padanya dan dia mengiyakan dengan semangat. Kuambil beberapa foto dengan caraku sendiri dan sesuai instruksinya. Aku menggeleng malu-malu ketika A Irfan menawarkan jasa pengambilan foto juga untukku. Dia tertawa.
Kami berempat bertemu kembali di salah satu gathering point di Pantai Losari, Tugu bertuliskan City of Makassar dengan huruf kapital merah terbuat dari papan plastik. A Irfan kembali mengeluarkan kameranya dan siap mengambil gambar. Dia meminta kami berfoto bersama di tugu itu. Aku duduk di lantai tegel tepat di depan tengah tulisan. Kak Sam dan Kak Tama sempat bertukar pandang sebentar kemudian mulai duduk dan mengambil tempat di sebelah kiri dan kananku. Setelah mengambil beberapa gambar dengan berbagai pose, kini giliran Kak Sam menawarkan diri mengambil gambar. A Irfan berlari menuju tempat Kak Sam duduk tadi. Dia tak duduk tapi berdiri sambil membungkuk dengan ibu jari dan telunjuk kanan menyangga dagunya. Aku tertawa kecil menyadari posenya yang lucu.
Kak Sam terlihat mengajak bicara 2 orang gadis yang lewat tak jauh darinya. Dia tersenyum bahagia ketika salah satu gadis itu mengangguk dan mengambil kamera dari tangannya. Kak Sam berlari ke arah kami dan berbaring di depan kami bertiga. Kedua gadis itu tertawa dan mulai mengambil gambar. Kak Sam berlari kembali ke arah kedua gadis-gadis tadi, melihat hasil jepretan mereka dan tersenyum lebar. Dia menunduk berterima kasih beberapa kali yang disambut senyuman manis oleh mereka berdua dan izin permisi untuk pergi. Kak Sam menatap layar kamera sambil mengarahkan langkanya ke arah kami.
"Kak."panggilku membuat ketiga pria yang sedang asyik melihat hasil jepretan kamera beralih menatapku bersamaan. Aku menggenggam ponselku lebih erat.
"Boleh gak saya mengambil foto selfie kita berempat?"tanyaku malu-malu tapi penuh harap. Kak Sam dan A Irfan tertawa, sedangkan Kak Tama ternyum dan mengambil ponselku perlahan. Dia membuka aplikasi kamera dan mengarahkan kamera depan ke arah kami berempat. Benar juga, akan sangat menyusahkan jika aku yang mengambil gambar bersama ketiga pria yang jauh lebih tinggi dariku. Aku bisa melihat sosokku yang kecil di tengah-tengah mereka beretiga. A Irfan mendekatkan wajahnya ke arahku pada pose kedua, membuatku tersipu malu. Semoga wajahku yang memerah tak tertangkap kamera. Di pose ketiga mereka kompak meletakkan V sign mereka di atas kepalaku. Aku tertawa. Kak Tama mengembalikan ponselku dan meminta hasil jepretan tadi dikirim di WA nya. A Irfan dan Kak Sam menyuarakan hal yang sama.
Aku mengekor di belakang mereka yang sedang berjalan menyisir pinggiran anjungan yang berbatasan dengan laut. Aku sibuk memandangi hasil foto selfie tadi tanpa sadar A Irfan tengah berjalan di sebelahku dan mengintip ponselku.
"Dikirim ke Rion?"tanyanya mengagetkanku. Aku berbalik dan mendapati sosok A Irfan yang menjulang menghalang sinar matahari. Aku tersenyum.
"Iya, mau saya pamer." Jawabku dan tak lama balasan Kak Rion masuk. Di pesannya pertama "Itu Irfan & Tama??" Serius Lun?!" Di pesan kedua "Mereka di Makassar?" muncul sedetik kemudian. Aku memiringkan kepala bingung.
" Kak Rion ga tau Aa dan Kak Tama kesini?"tanyaku bingung. A Irfan tertawa dan mengangguk.
"Cuma Ian dan Romi yang tau, Lun. Rion itu junior Aa jadi ga sering bareng."A Irfan pernah menceritakan ini padaku. Tapi setidaknya A Irfan bisa memberi tau Kak Rion juga, apalagi aku lebih dulu mengenal Kak Rion dibanding dia. Mungkin karena terlalu lama menunggu balasanku, Kak Rion akhirnya menelpon. Aku melirik A Irfan sebentar kemudian mengangkat telponnya.
"Halo, Kak Yon." Sapaku.
"Luna lagi barang Irfan itu?"tanya Kak Rion straight to the point. Aku mengangguk.
"Iya, Kak."jawabku. Tiba-tiba permintaan video call Kak Rion muncul di ponselku. A Irfan yang melihat itu meraih ponselku dan memilih menerima panggilan video call tadi. Aku harus mendongak tinggi agar bisa melihat layar ponselku dengan jelas.
"Lah, Fan?! Ngapain maneh di sana?" tanya Kak Rion kaget. A Irfan hanya tersenyum miring, terlihat sekali mencoba memasang wajah keren yang akan menyulut Kak Rion.
"Jalan-jalan dong. Pengen ketemu, Luna."jawab A Irfan enteng. Aku tertawa.
"Wah....maneh ga bilang-bilang, anjir." Celetuk Kak Rion tapi dia juga tertawa.
"Ih...Aing udah bilang mau keluar kota kan."
"Maneh Cuma bilang keluar kota. Nah itu keluar pulau! Nyebrang Pulau!"A Irfan tertawa tak mampu mengelak lagi.
"Luna juga kenapa ga ngomong semalam?"sekarang Kak Rion menyalahkanku. Aku berjinjit di samping A Irfan agar wajahku bisa tertangkap kamera. A Irfan memiringkan ponselku agar wajah ku terlihat lebih jelas.
"Saya aja baru dikasi tau tengah malam, Kak. Pas log out."jawabku. Kak Rion masih kaget, beberapa kali dia membenarkan letak kacamatanya.
"Wah, Fan. Benar-benar maneh."
"Sorry, Yon. Ini juga dadakan kita." Aku A Irfan akhirnya. Dia menceritakan alasan dan awal mula mengapa mereka bisa sampai ada di sini. Kak Rion sedikit lebih tenang.
"Terus Tama mana?"tanya Kak Rion lagi. A Irfan memilih pilihan mengubah tampilan kamera video call dari kamera depan menjadi kamera belakang. Layar kecil di sudut kanan bawah memperlihatkan sosok Kak Tama dan Kak Sam yang sedang berjalan dan berbincang-bincang di sana. Beberapa orang berlalu lalang di sekitar mereka. A Irfan memanggil Kak Tama dan dia berbalik, membahasakan 'apa' dengan mulut dan wajahnya tanpa bersuara. A Irfan menjawab Rion lagi video call. Menyadari kamera yang diarahkan padanya, Kak Tama tersenyum, melambai-lambai ke kamera sebentar dan kembali berjalan menghadap ke depan.
"Wah...benar-benar kalian ini. Ya, udah pokoknya Aing harus dapat jatah ole-ole." A Irfan tertawa.
"Iya,iya. Nanti dibawain ole-ole." Jawab A Irfan kembali menggunakan kamera depan.
"Lun, hati-hati Irfan...,"
"Wah...wah... Suara maneh ga kedengaran, Yon. Angin kencang disini. Halo? Halo? Ya udah ditutup yah. Bye!" potong A Irfan dan memutus panggilan Video call. Aku tertawa tapi ada sedikit rasa penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Kak Rion tadi tapi dipotong dengan sengaja oleh A Irfan. Tapi aku tak berkomentar.
"Lun."aku mendongak ketika A Irfan memanggilku. Kupikir dia akan mengembalikan ponsel, namun dia malah mengangkat ponselku lebih tinggi dengan layar kamera depannya yang sedang aktif memantulkan wajah A Irfan dan sebagian wajahku yang menatap bingung. Tak butuh waktu yang lama bagiku untuk menyadari A Irfan ingin mengambil foto selifie kami berdua. Aku tersenyum kikuk dan malu-malu pada pengambilan foto pertama namun pada pengambilan foto kedua aku berusaha merilekskan wajahku dan kuangkat V sign ku yang sudah menjadi kebiasaan ketika aku sedang berfoto. A Irfan menurunkan ponselku melihat hasil jepretannya tadi dan tersenyum.
"Kirim ke WA Aa juga."katanya akhirnya mengembalikan ponselku. Aku mengangguk dengan kepala sedikit tertunduk, tak berani bertemu pandang dengannya. Takut dia menyadari perubahan rona wajahku. Aku yakin wajahku semakin memerah setelah menyadari hasil jepretan tadi sangat manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario
DragosteRiani tak pernah menyangka akan dipertemukan dengan Irfan, pria yang dikaguminya lewat salah satu platform game online. Berawal dari saling bertukar no.ponsel dan saling mengirim pesan via Whatsapp, Riani akhirnya menyadari Irfan memenuhi hampir seb...