BAB 8 (Part 1)

103 8 0
                                    

"Jadi kita langsung nanjak atau nginap dulu semalam di sini?"tanya Faiz setelah memarkirkan mobil Terios hitamnya di salah satu pekarangan rumah milik warga setempat. Melihat dia begitu akrab mengobrol dengan sang pemilik rumah tadi, dia sepertinya telah mengenal baik Tata Nurdin dalam waktu lama. Sam melirik jam tangannya.

"Sekarang jam 1. Normalnya waktu tempuh untuk mencapai pos 10 itu 10 jam. Kalau kita berangkat sekarang kita bisa ngecamp di puncak jam 11-12 malam."jelas Sam menyandarkan carriernya di kaki.

"Gue sih terserah Faiz aja. Siapa tau dia masih capek habis bawa mobil." Tama melirik Faiz dengan senyuman miring.

"Iya, kan beda tenaga pria yang udah beristri dan yang masih bujang."tambahku bercanda. Tama dan Sam tertawa sedangkan si objek candaanku tersenyum lebar.

"Ya beda lah. Pria beristri itu tenaganya pasti lebih prima. Bayangin tiap malam muncak di kasur. Yang jomblo mah kalah."balas Faiz dengan bangga. Savage. Kami bertiga tim jomblo, kalah telak dengan sekali serangan. Kami kompak bersorak ramai dan tertawa.

"Ya udah. Kita gas kan aja."kata Sam mantap.

"kata Sam mantap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah berdoa bersama yang dipimpin Faiz dan berpamitan dengan Tata Nurdin sekeluarga, kami pun berangkat dari Desa Lembana, desa terdekat dengan kaki Gunung Bawakaraeng

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah berdoa bersama yang dipimpin Faiz dan berpamitan dengan Tata Nurdin sekeluarga, kami pun berangkat dari Desa Lembana, desa terdekat dengan kaki Gunung Bawakaraeng. Hamparan ladang kol dan wortel yang tersusun rapi memanjakan mata kami. Ditambah cuaca yang cerah namun matahari tak bersinar terlalu terik. Bulan Agustus memang waktu yang tepat untuk mendaki. Berjalan sekitar 10 menit, kami akhirnya memasuki wilayah hutan pinus. Jalan setapak terlihat jelas membelah pepohonan pinus yang menjulang tinggi ini. Tanah berwarna coklat kehitaman bercampur daun-daun jarum tipis pinus yang gugur dari pohonnya. Aroma lembab tanah ini selalu bisa menenangkanku. Setelah berjalan sekitar 30 menit, kami tiba di pos pertama. Sebuah tugu bercat kuning dan putih berdiri kokoh di tengah jalur. Di sisi atas tugu dengan cat putih terukir identitas pos pertama, titik koordinat wilayah dan data ketinggiannya. Di sisi depan tugu terpahat sebuah pesan kami orang yang beradat, adatlah dijunjung tinggi keramah tamahan jedikan kain selimut.

"Lihat jalur di sebelah kanan ini?"Sam menunjuk sebuah jalur yang terletak agak ke bawah dibandingkan jalur yang di sebelah kiri. Aku memandangnya, menunggu dia melanjutkan penjelasannya.

SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang