BAB 9 (Part 4)

68 9 0
                                    

Kutarik barisan matras yang telah dipakai sholat subuh berjamaah tadi, sebagian kembali ke dalam tenda dan sebagian kubariskan rapi di depan tenda. Angin subuh yang bertemu dengan sisa-sisa air wudhu di wajahku membuatku tergidik kedinginan. Mukena tebal yang kukenakan tak mempan menandingi dinginnya suhu di Puncak Laloi ini. Aku buru-buru kembali ke dalam tenda, mengenakkan jaket parasutku dan menyelesaikan dzikir subuhku di sana.

Aku heran saat kulangkahkan kakiku keluar dari tenda, tak ada seorangpun yang kutemui di sana. Di dalam tenda sebelahpun kosong. Langit sedikit demi sedikit mulai terang, kelamnya malam mulai pergi dan cahaya mentari mulai merayapi langit malu-malu. Kusipitkan mataku dan kudapati sosok mereka yang tengah berdiri dekat dengan sisi tebing. Mereka sibuk berpose dan mengambil foto. Betapa takjubnya diriku setelah kumelangkah mendekati mereka dan mendapati pemandangan menakjubkan di sepanjang garis langit. Inilah alasan mengapa Lolai dijuliki sebuah negeri di atas awan. Bukan sebuah kiasan tapi tempat ini benar-benar terlihat mengapung di antara awan-awan. Kabut tipis menutupi lembah yang menciptakan ilusi seakan kami sedang berdiri di atasnya. Selimut tipis ini terbentang sepanjang horizon yang berbatasan dengan langit yang masih dilingkupi sisa berkas gelapnya malam. Tak lepas mataku menatapi setiap sudut lembah yang tertutupi kabut. Masya Allah. Cepat-cepat kukeluarkan ponsel dari saku jaketku. Aku ingin mengabadikan keindahan ini.

 Aku ingin mengabadikan keindahan ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Oma!! Sini foto bareng!" jerit Ica melam­bai-lambai ke arahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Oma!! Sini foto bareng!" jerit Ica melam­bai-lambai ke arahku. Aku tersenyum dan mempercepat langkah menuju mereka. Ica merangkul pinggulku, bersama Nana dan Ara kami tersenyum ke arah kamera A Irfan dan kamera ponsel Kak Tama. Setelah memotret dengan 3 pose berbeda, A Irfan meminta kami semua merapat dan masuk dalam frame kameranya. Dia memposisikan kamera di atas meja, menyetel timer dan segera berlari kecil menuju ruang kosong di sebelah kiriku. Untuk sesaat tubuhku menegang ketika dia berdiri menjulang tepat di sampingku. Sekelebat momen di depan api unggun tadi malam tiba-tiba muncul tak diundang di benakku, membuat wajahku memanas. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri dan tersenyum ke arah kamera. Sesi foto grup itu berlalu denganku yang masih kikuk dan tak mampu menatap A Irfan apalagi mengajaknya berbicara. Ya...aku sepengecut itu.

Setelah puas berfoto-foto, menghabiskan sarapan yang disiapkan Kak Tama dan Ara serta berbenah, kami meninggalkan Si Negeri di atas Awan tepat jam 8 pagi. Kak Sam berceloteh di balik kemudi mengenai enaknya itik palleko yang disiapkan Ara tadi pagi. Dia sengaja membawa daging itik setengah matang dari Pinrang dan memasaknya lagi tadi pagi dengan bumbu palekko lengkap. Kak Tama memasak sayur bening dan nasi yang dengan indah melengkapi rasa tajam Palekko buatan Ara tadi.

SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang