BAB 10 (Part 7)

77 9 1
                                    

Luna membaringkan tas selempangnya di kursi kosong di sisi kiri meja kami. Padahal sudah kuminta dia untuk meninggalkannya saja di dalam mobil dan karena dengan adanya laptop disana akan membuatnya sulit untuk dibawa ke sana kemari. Tapi dengan alasan dia butuh wadah untuk menyimpan dompet dan ponselnya, dia akhirnya tetap mengikutsertakan tas itu saat kami memutuskan untuk makan siang di salah satu resto di pusat Kota Garut sebelum kami berangkat ke Bandung. Luna hanya tersenyum manis dan menggeleng perlahan saat kutawarkan diri untuk membawa tas itu untuknya.

Kami bergantian Sholat Duhur di musholla resto saat menunggu pesanan kami datang. Luna lebih dulu sholat dan aku menunggui barang bawaan kami di meja. Kuseruput es kopiku dengan jari sibuk mengusap halaman instagram di ponselku. Sepuluh menit kemudian, gadis itu muncul sambil menjinjing tas mukenanya.

"Aa sholat dulu. Kalau makanannya udah datang, Luna makan duluan aja. Aa mah makan ga dikunyah kok. Dihisap."Luna tertawa kemudian mengangguk.

Aku memandang heran pada kerumunan orang yang tadi tidak ada di sana sebelum aku beranjak ke musholla. Apa yang terjadi? Suasana resto yang awalnya tenang menjadi riuh. Beberapa orang yang tak melibatkan diri dalam kerumunan mulai berbisik-bisik dan menunjuk-nunjuk ke arah kerumunan dan ke arahku? Perasaanku tak enak. Cepat-cepat kumemacu langkahku menuju pusat keramaian yang ternyata adalah mejaku dan Luna tadi. Jantungku berdetak keras saat kudapati sosok Luna tengah terduduk di lantai tak jauh dari meja kami. Tangan kanannya menangkup pipinya sendiri. Matanya memandang lantai dengan tatapan takut, bingung dan sakit. Rasa khawatir memenuhi dadaku dan memaksaku berlari secepat yang kubisa. Salah seorang bartender yang berjongkok di samping Luna, berusaha membantunya berdiri, menjauhkan diri ketika menyadari sosokku mendekati mereka dengan wajah sangat cemas.

"Luna?Luna ga papa?"tanyaku diserbu rasa panik. Kurangkul pundaknya, membantunya untuk berdiri tapi gadis itu masi bergeming. Tangan kanannya masih menutupi pipi yang kusadari telah berwarna kemerahan. Rasa dingin menggerayangi kedua tangan dan tengkukku.

"Jadi gara-gara kamu udah ada perempuan lain makanya kamu mengabaikan aku?"suara melengking dan setengah menjerit menusuk telingaku. Jantungku berdetak semakin tak terkendali karena kumengenali dengan baik siapa si pemilik suara itu. Itu Dewi. Dia berdiri bertolak pinggang, menjulang di depan kami. Rasa sakit menyerang dadaku ketika menatapi gadis yang masih meringkup di lantai, tak bersuara dan juga tak berkomentar. Aku tak bisa membayangkan bertapa kaget dan bingungnya dia sekarang, dikelilingi orang-orang asing dengan bahasa yang tak dimengertinya. Kutatap Dewi nanar, amarah mulai mengalir menuju ubun-ubunku.

"Kamu kenapa si, Wi?! Ngapain kamu seenaknya mukul orang kayak gini!"bentakku balik setelah berhasil membantu Luna untuk berdiri. Kepalaku terasa panas karena amarah.

"Jawab dulu, Fan! Dia pacar baru kamu kan?"

"Itu bukan urusan Kamu! Kita udah ga ada hubungan apa-apa lagi!"kutatap matanya tajam, tak peduli dengan bibirnya yang mulai bergetar dan matanya yang mulai dibanjiri oleh air mata.

Luna tiba-tiba menepis tanganku dari lengannya, menarik tas selempangnya dan berjalan menjauhi kerumunan dengan langkah lebar. Menjauhiku. Wajahnya menunduk tapi aku yakin dengan pasti matanya mulai menitikkan air mata di balik jilbab abu-abunya. Jantungku rasanya tiba-tiba berhenti beredatak sesaat mendapati ekspresi luka yang tak pernah kudapati sebelumnya. Dan tak ingin pernah kudapati. Hatiku terasa perih bak teriris tipis-tipis menatapnya pergi semakin jauh dari jangkauanku.

"Luna!"jeritku berharap gadis itu akan berhenti melangkah dan memalingkan wajahnya padaku. Tapi sebaliknya, dia mulai berlari dan hilang dibalik pintu.

"Kalau kamu berani kejar perempuan itu, kamu bakal lihat mayat aku di tengah jalan , Fan!"jerit Dewi membuatku berhenti berlari, membantu di tengah-tengah resto, di tengah kerumunan orang yang tengah menonton drama murahan yang telah menghancurkanku. Tangan kananku mengepal erat di kedua sisi tubuhku. Kukutuk diriku yang bodoh ini dalam hati.

SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang