Riani tak pernah menyangka akan dipertemukan dengan Irfan, pria yang dikaguminya lewat salah satu platform game online. Berawal dari saling bertukar no.ponsel dan saling mengirim pesan via Whatsapp, Riani akhirnya menyadari Irfan memenuhi hampir seb...
Aku menarik nafas dalam-dalam saat kulangkahkan kakiku menuju bagian keberangkatan di Bandara Sultan Hasanuddin. Mencoba mengumpulkan kekuatan dan keberanian menghadapi perpisahan yang lebih nyata ini. Kak Faiz menjemput mereka pagi-pagi di rumah Kak Sam. Aku sendiri memilih mengendarai motorku sehingga aku bisa bersama-sama Kak Sam kembali ke Maros saat Kak Faiz harus pergi ke kantor. Aku menurunkan ponsel dari telingaku saaat mendapati rombongan mereka di dekat pintu masuk bandara. Aku menarik nafas sekali lagi, berlari-lari kecil dan membagikan senyuman pada mereka.
"Ini, Kak. Cemilan saat di pesawat.'kusodorkan sebuah tas jinjing kecil berisi roti dan es kopi yang kubeli di kedai roti tak jauh dari rumah pada Kak Tama. Dia melirik isinya kemudian tersenyum lebar.
"Luna emang yang paling mengerti."sahutnya.
Sepuluh menit kami berbincang-bincang di sana hingga pukul 07.00 pagi. Kak Tama dan A Irfan menyalami Kak Sam dan Kak Faiz kemudian memeluk mereka erat.
"Kalau Luna ada kesempatan jalan-jalan ke Jawa. Jangan lupa main ke Garut yah. Kakak masih hutang milkshake sama Luna."kata Kak Tama saat kusambut jabatan tangannya. Aku mengangguk.
"Siap Kak!"jawabku. Dia menepuk kepalaku perlahan sekali kemudian berbalik. Dia memberi kode pada A Irfan 'kutunggu di dalam' dan melanjutkan langkahnya memasuki gerbang keberangkatan bandara. Kak Tama tak berbalik lagi.
"Aku tunggu di parkiran ya, Lun."kata Kak Sam menepuk pundakku dan berjalan menjauh bersama Kak Faiz. Aku membatu, seakan kondisi ini telah mereka atur dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti alur. Kuatur nafasku, mencoba menenangkan diri. Aku harus bisa menghadapinya. A Irfan bisa saja mempertegas semuanya dengan menolak perasaanku sekarang. Ya..itu jauh lebih baik dibanding aku harus melewati hari-hariku dengan harapan semu. Aku harus menghadapi ini. Aku bisa melewatinya. Kuangkat wajahku dan kutatap wajah A Irfan yang tengah tersenyum lembut padaku. Seakan dia memberiku waktu untuk mengumpulkan keberanian dan menghadiahkanku senyuman karena ku telah berhasil. A Irfan mengulurkan tangan kanannya padaku, matanya masih menatapku lembut. Inilah saatnya. Aku menyambut uluran tangannya, menjabatnya dan mencoba tersenyum.
"Pasti ada alasan mengapa Allah mempertemukan kita..."tangan kanan A Irfan masih enggan melepaskan tangan kananku saat tangan kirinya merogoh saku jaket kulit coklatnya. Sebuah gelang manik hitam muncul dari sana.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"...dan ada pula alasan mengapa Dia memisahkan kita dengan perasaan berat dan menyesakkan ini..."aku tercekat, mataku berkaca-kaca menyadari bahwa bukan aku saja yang tersiksa dengan perasaan ini. Bahwa bukan hanya aku saja yang tengah bertarung dengan gejolak tak tertahankan di dadaku ini. Bibirku mulai bergetar saat tangan besar A Irfan yang masih menggenggam tanganku mulai memasangkan gelang manik-manik hitam tadi di pergelangan tangan kananku. Aku bisa merasakan air mata menetes di pipiku, tak bisa kubendung lagi. Tekatku 30 menit yang lalu untuk tak menunjukkan air mata sedikitpun kulanggar dengan sempurna.
"...Aa percaya ada skenario indah yang Allah siapkan untuk kita berdua. Yang harus kita lakukan adalah bersiap dan menunggu momen itu tiba."Ibu jari kirinya yang bebas menyeka air mata yang membasahi pipiku. Dia tersenyum getir tapi masih bisa kurasakan dengan jelas kelembutan jarinya dan tatapan matanya. Aku mengangguk perlahan, tak bersuara.
"Gelang ini Aa buat sendiri. Ga pernah Aa lepas saking sukanya." diangkatnya perlahan tangan kananku yang masih digenggam olehnya. A Irfan menatap gelang manik-manik hitamnya yang kini melingkar di pergelangan tanganku dengan senyum tipis di bibirnya. Perlahan, dibelainya manik gelang itu dengan ibu jari.
"Sekarang gelang ini jadi milik Luna sebagai pengingat bahwa Aa pernah menjadi salah satu bagian kecil dari hidup Luna."lanjutnya menurunkan tanganku, tapi jari-jarinya masih bertautan dengan jari-jariku di bawah sana.
Tiba-tiba teringat sesuatu, buru-buru kurogoh tas tanganku dan ikat kepala dari kain tentun berwarna hitam dan kuning berhasil kutarik keluar dari sana.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ada doa yang kutitipkan di dalamnya ketika aku membeli ini..."kuikat erat ikat kepala itu di tali tas outdoor kecil yang dikenakkan A Irfan. Tanganku bergetar. A Irfan masih menatap jemariku dan kembali menggenggamnya perlahan setelah selesai kuikatkan ikat kepala itu di sana.
"...Aku berdoa agar aku bisa melihat A Irfan masih mengenakannya untuk kedua kalinya..."kusentuh ujung ikat kepala itu dengan ujung jemari tangan kiriku. Memandangi simpul kecil yang mencuat di tali tas outdornnya dengan senyuman tipis. Tapi tiba-tiba kugenggam erat ujung tali itu ketika luapan emosi membuncah keluar dari dadaku.
"...Tapi kini keserakahan membuatku berdoa agar ikat kepala ini bisa menjadi alasan agar kita bisa bertemu kembali." Deru air mataku mengalir deras membanjiri pipiku. Aku menunduk dan beberapa air mata menetes di atas sepatuku. Kuseka wajahku dengan punggung tangan kiri yang bebas. Seakan mengizinkan jemari tangan kananku merasakan kehangatan jari-jari A Irfan sedikit lebih lama lagi. Kutatapi jemari kanan kecilku yang ditawan jemari kirinya yang panjang dan terisak perlahan.
A Irfan berjongkok di depanku karena aku masih menolak menatapnya. Jari- jari tangan kanannya yang lembut menyeka air mata di wajahku sekali lagi. Digenggamnya kedua tanganku dengan erat, seakan meminta perhatianku tertuju padanya walau sesaat. Setelah memastikan mataku telah menatap balik matanya, dia bergumam 'Amin' dan tersenyum.