BAB X-1 (Part 1)

77 3 1
                                    

Kupandangi wajah gadis yang tengah berdiri tepat di sampingku dengan senyuman manis di wajahnya. Kuusap layar ponselku agar wajahnya terlihat lebih jelas dan memenuhi layar ponselku. Aku tersenyum kecil, teringat kembali momen ketika foto ini diambil. Gadis itu tersenyum gembira saat meminta aku dan Irfan bersedia difoto olehnya. Tapi terimakasih pada permintaan Luna saat itu, aku bisa memiliki foto ini.

"Tunggu sebentar."cegat gadis itu ketika kami akan meninggalkan Gathering Room yang lagi-lagi pintunya macet dan harus kubantu dia untuk menguncinya. Luna merogoh sesuatu di tas kecilnya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Aku dan Irfan saling berbagi pandang, bingung.

"Saya selalu ngefans dengan penampilan klasik pendaki seperti ini. Boleh saya ambil foto Aa dan Kak Tama? Kalian keren sekali!"kata Luna dengan nada exitement khas gadis remaja ketika meminta berfoto dengan artis idolanya. Tapi lucunya gadis ini justru menunjukkan exitement itu pada pria-pria tak rapi dan kucel seperti kami ini. Aku dan Irfan bertatapan sekali lagi dan tertawa. Kami berdua otomatis berpose sekeren dan secuek mungkin di depan kamera Luna. Gadis itu bahagia bukan kepalang melihat hasil jepretannya. Saat kutawari foto selfie bersama, Luna menolak, katanya sepatu lapangan kami tak terlihat di foto. Aku dan Irfan tertawa, ternyata gadis ini ngefans dengan sepatu lapangan kami bukannya pada kami.

Irfan mengambil ponsel Luna dan menawarkan diri mengambil fotonya bersamaku. Dia tak menolak bahkan tersenyum lebar, dia berdiri tepat di sampingku dan memamerkan senyuman dan pose V-sign nya. Aku sendiri melipat lengan di depan dada. Pada pose kedua Luna meniru gaya dan ekspresiku, berusaha terlihat cool yang malah membuatku dan Irfan tertawa.

Kupandangi seluruh kedai sebentar dan kembali mengusap layar ponselku ketika kusadari tak ada pengunjung baru yang datang. Kedai memang biasanya hanya ramai di sore atau malam hari saja. Di siang hari seperti sekarang, pengunjung kedai bisa dihitung jari. Seharusnya aku juga ikut mengantar Luna ke bandara tapi kesepakatanku pada Irfan membuatku mengurungkannnya. Kumenghela nafas panjang.

"Gimana Lu dengan Luna, Fan?"tanyaku di malam itu saat hanya Irfan yang datang ke kedai selepas mengantar kiriman ikannya di jasa pengiriman barang yang tak jauh dari kedai. Dia memandangku sesaat, cangkir kopinya terhenti di depan dagu.

"Baik-baik aja. Sama seperti dulu."jawabnya singkat. Bibirnya melekat pada bibir cangkir, menyeruput kopi hitam yang kubuat untuknya tiga menit yang lalu. Kugertakkan gigiku tapi perlahan kuraih cangkir kopiku dan menyeruput getirnya kopi, berharap kafein bisa membuatku lebih tenang.

"Gue mau serius sama Luna kalau emang Lu beneran ga tertarik sama dia."lanjutku tegas setelah hening beberapa saat. Irfan berbalik dan menatapku cepat. Beberapa tetes kopi hitamnya membasahi permukaan meja. Matanya jelas menunjukkan rasa kaget dan ragu tapi dia tak berkomentar. Hening kembali menyelimuti kami berdua.

"Aku juga sayang Luna, Tam."tuturnya perlahan, memandang busa putih di tengah pekatnya hitam kopi di cangkirnya. Jawaban itu membuat telingaku terasa panas.

"Kalau Lu emang sayang, terus kenapa Lu masih seperti ini? Ga tunjukin apa-apa ke dia? Gue udah berkali-kali menahan diri karena gue gak mau ada konflik yang merusak persahabatan kita apalagi konflik itu dikarenakan oleh seorang gadis!"suaraku meninggi. Mataku menatap matanya tajam, menuntut jawaban yang masuk akal yang bisa dia berikan. Tapi lagi-lagi Irfan terdiam. Dia kembali menunduk dan memandangi cangkir kopinya. Kutarik nafas dalam-dalam mengatur gejolak amarah yang semakin meninggi karena tingkahnya itu.

"Lu masih gak bisa lupain Dewi kan?"Irfan tercekat.

"Aku udah putus sama Dewi."

"Itu ga bisa menjawab pernyataan gue."bantahku. Irfan terdiam. Jari-jarinya menegang di sekeliling cangkir kopi tapi tetap tidak ada bantahan atau alibi darinya.

Aku tau Dewi dan jaraklah yang membuat Irfan ragu mengambil keputusan mengenai status hubungannya dengan Luna. Dewi memang telah memutuskan Irfan 10 bulan yang lalu dan memilih pria lain tapi lima tahun pacaran bukanlah waktu yang singkat untuk diakhiri semudah itu. Sedangkan jarak adalah masalah real yang baik aku ataupun Irfan harus hadapi ketika kami memutuskan ingin menjalin hubungan serius dengan Luna. Gadis itu jelas punya kehidupan lain di Makassar yang tak semudah itu kami renggut hanya karena keegoisan kami untuk memilikinya secara utuh. Dia punya mimpi dan cita-cita yang ketika dia ceritakan pada kami membuatnya bersinar bahagia. Aku dan Irfan tak mungkin mampu merenggut kebahagiaan itu darinya. Tapi aku memilih menghadapi tantangan itu.

"Beri aku waktu sampai Desember, Tam. Berpikir, memperbaiki perilaku dan menunjukkan sikap pada Luna. Kalau pada akhirnya Luna menolak atau tak ada kejelasan hubungan antara aku dan Luna. Aku mundur."untuk pertama kali Irfan menatapku sungguh-sunggih dan penuh harap. Aku terdiam, menimbang penawarannya. Bagaimanapun juga aku sadar Luna ada hati pada Irfan. Lain cerita seandainya Irfan tak membalas perasaan Luna, aku bisa memperjuangkan perasaanku tanpa keraguan. Tapi sayangnya aku tau Irfan juga menyayangi gadis itu, sama seperti aku menyayanginya, walaupun sikap linglung dan keraguannya selalu membuatku geram. Tapi Luna berhak mendapatkan cinta yang terbalaskan dari pria yang disukainya. Aku tau, aku bodoh, aku pasti akan merasa sakit menyadari perasaanku tak sampai padanya. Tapi aku cuma ingin gadis itu bahagia.

"Gue ngerti."

Dering ponsel mengagetkanku dari lamunan. Kumengerinyitkan dahi ketika menyadari Irfan lah yang melakukan panggilan telepon.

"Tam, Luna ... Luna pergi. Dewi datang dan tiba-tiba segalanya kacau." Suara Irfan panik dan terbata-bata. Jantungku berdetak lebih keras menerima kabar mendadak ini tanpa diming-imingi salam atau pembukaan terlehih dahulu. Kepalaku memanas. Dengan cepat aliran emosi menumpuk di sana.

"GUE UDAH INGETIN LU SOAL DEWI!" suaraku menggelegar. Beberapa pengunjung di kedai terkaget dan menatapku bingung. Adi tak kalah kagetnya, dia memandangku was-was di balik meja saji.

"Aku paham, Tam. Aku tau. Aku bego, Aku salah. Lu bisa pukul aku sampai puas, dan aku bakal menerima semuanya tanpa perlawanan tapi Please...Tam. Please, cari Luna dulu. Nomorku diblock dan ga bisa hubungi dia sama sekali. Aku ga bisa jelasin sekarang. Dewi udah gila. Please...Tam. Pastiin Luna baik-baik saja."

Kuputus panggilan telepon Irfan dengan amarah dan panik bercampur aduk di dadaku. Segalanya begitu cepat, terlalu tiba-tiba, membuatku bingung harus berbuat apa. Emosiku yang menumpuk di ubun-ubun membuatku sulit berpikir jernih. Luna bisa ada dimana saja di kota yang tak dikenalnya sama sekali dengan perasaan hancur dan terluka. Dadaku sesak. Aku harus mencarinya dimana? Buru-buru kubukan kontak Luna di ponselku namun sesaat sebelum kutekan pilihan melakukan panggilan telepon, tiba-tiba wajah Luna dan diriku yang berdiri bersebelahan memenuhi layar. Luna menelpon.

"Halo, Luna? Luna dimana?"tanyaku tak bisa menyembunyikan rasa panik. Tanpa sadar kuabaikan salam gadis itu.

"Di stasiun kereta, Kak."suara serak Luna mengiris hatiku.

"Di stasiun mana?"

"Stasiun Cibatu. Tadi saya berniat ke Bandung dengan kereta dari stasiun Cipandeuy, tapi dasar katro, saya sepertinya salah naik kereta."jelasnya mencoba tertawa. Kumohon jangan mencobanya.

"Kalau ke Bandung harus ambil kereta apa ya, Kak?"tanyanya terpenggal-penggal, terdengar jelas menahan dirinya untuk tak mengisak. Perih menusuk hatiku lagi. Buru-buru kulepas apronku di pinggang.

"Tunggu Kakak di sana, Lun. Jangan kemana-mana."perintahku meraih kunci mobil di atas kulkas.

"Kak Tama tidak usah ke sini, jelasin aja, saya...,"

"Tunggu Kakak!"potongku tegas, setengah membentak. Kuputus sambungan telepon, berlari melewati pintu kedai dan mengabaikan teriakan Adi di belakangku.


SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang