Riani tak pernah menyangka akan dipertemukan dengan Irfan, pria yang dikaguminya lewat salah satu platform game online. Berawal dari saling bertukar no.ponsel dan saling mengirim pesan via Whatsapp, Riani akhirnya menyadari Irfan memenuhi hampir seb...
Ara membangunkanku. Aku membuka mata dan menyadari mobil kami tak lagi bergerak. Angin gunung terasa menusuk kulit wajahku ketika pintu mobil di baris tengah terbuka. Kurapatkan jaket parasut hitamku yang tebal.
"Luna ga papa?"tanya suara khawatir di belakangku sesaat setelah kakiku menyentuh tanah. Kak Tama memandangku khawatir. Aku tersenyum dan mengangguk.
"Ga papa, kak. Cuma sedikit mengantuk."jawabku.
Aku menunggu di belakang mobil saat Kak Sam dan Kak Ari menurukan semua muatan di bagasi belakang mobil. Dua set tenda kapasitas empat orang, satu kantong plastik besar berisi bahan makanan untuk sarapan besok, satu karton air gelas dan lambada elektrik turun satu per satu dari sana. Menyusul tas kami masing-masing. Para pria membawa peralatan camp dan para wanita membawa tas pribadi masing-masing. Saat aku menunduk untuk meraih daypack ku yang terduduk di tanah, sebuah lengan panjang meraih daypack ku lebih dulu. Aku mengangkat kepala dan menyadari A Irfan menggandeng daypack ku di depan dadanya dan berjalan tanpa berkata sepatah katapun. Kutatap carriernya yang bergerak menutupui punggungnya, tidak setebal dan setinggi saat mendaki ke Bawakaraeng. Tangan kanannya menjinjing plastik bahan makanan tadi. Dia melesat berusaha mensejajarkan langkah dengan Kak Sam yang bergerak lebih dulu. Aku tak berkomentar, tepatnya tak tau harus berkata apa.
Apakah dia mengkhawatirkanku? Apa perubahan sikapku ini terlalu mencolok dan mengganggu? Aku mengutuk diri di setiap langkahku mengikuti mereka. Bagaimana bisa aku terlihat bodoh hanya karena perasaan dan perubahan mood ini. Aku seperti remaja ABG tanggung dengan emosi yang tak stabil. Diperbudak perasaan sesaat tanpa melibatkan logika. Sadar Ri! Aku tak boleh seperti ini!
Para pria membangun tenda di daerah lapang bebas rumput yang tak jauh dari dua rumah tongkonan merah yang menjadi sumber cahaya pertama saat kami tiba. Lokasi ini sepertinya memang diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin menginap di dalam tenda. Dingin malam mulai merayapi wajah dan kakiku yang tak terlindungi apapun. Aku harus terus bergerak agar tetap hangat. Aku membantu Kak Ari memasukkan matras ke dalam tenda pertama yang telah berdiri. Kurapikannya di dalam tenda, memastikan setiap dasar plastik tenda tertutupi oleh matras-matras yang kusejajarkan rapi. Setelah selesai, aku keluar dari tenda dan mengisyaratkan Nana, Ara dan Ica untuk mengatur barang mereka di dalam tenda. Kutarik flysheet tenda kami ketika Kak Ari menyerahkannya padaku, dia harus mencari batu atau benda tumpul lain untuk membantu menancapkan pancang lebih dalam ke tanah yang keras.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tenda kedua didirikan di sisi kiri tenda pertama tapi tak sejajar, kedua tenda membentuk sisi siku-siku. A Irfan sibuk memasukkan frame tenda ke dalam lubang frame, Kak Tama menarik ujung-ujung pancang tenda dan menancapkannya di tanah. Dipukulinya pancang dengan batu agar tertancap lebih dalam. Tak butuh waktu lama, tenda kedua berdiri. A Irfan memasang flyer dibantu Kak Tama. Aku menarik empat gulung matras ke dalam tenda mereka. Mensejajarkannya dengan rapi. Setelah memastikan matras telah rapi, kumasukkan carrier A Irfan yang ternyata cukup berat ke dalam tenda, memastikan carrier itu berdiri di sisi tenda kemudian menarik carrier Kak Tama, Kak Sam dan Kak Ari satu per satu.