BAB 9 (Part 1)

75 9 1
                                    

"Jadi Oma yang mana?"tanya Nana yang tengah duduk di kursi di sebelah jendela besar kamar kami. Dia mengusap wajahnya dengan tisu selepas mencuci muka. Aku mengangkat kepala yang tengah berbaring di kasur agar bisa melihat wajah gadis itu lebih jelas.

"Maksudnya?"tanyaku memandangnya bingung.

"Kak Irfan atau Kak Tama?"Ara memperjelas. Dia duduk di ujung kasur dan menatapku penasaran. Aku tertawa memahami arah pembicaraan mereka.

"Mereka hanya teman."jawabku perlahan. Entah mengapa ujung bantal guling yang kudekap begitu menarik perhatianku. Aku memainkannya tanpa maksud yang jelas.

"Jelas mereka berharap lebih dari itu."Nana membuang dirinya di sampingku. Dia menarik bantal utuk menyangga kepalanya dan memeluk perutku. Aku menghela nafas. Jujur aku juga mengharapkan hal yang sama tapi aku tau aku harus berpikir realistis. Mereka orang-orang hebat dan aku adalah gadis biasa. Lagi pula jarak antara Makassar dan Garut adalah tantangan nyata yang tak dapat disepelekan. Membuat harapanku harus mengalah dengan realita dan logika karena ekspektasi sungguh berbahaya.

"Itu hanya kedekatan dan romantisme dalam perjalanan, Na. Setelah mereka kembali, aku akan dilupakan."jawabku tersenyum lemah.

"Tidak ada yang tidak mungkin, Oma. LDR memang sulit tapi bukan berarti tidak mungkin."Ara menyandarkan kepalanya di bahu kiriku yang sekarang tengah menyandar di kepala ranjang. Aku paham itu. Ada alasan mengapa Ara mengatakan hal seperti itu karena dia pun mengalaminya. Kak Ed juga menikahi istrinya yang berasal dari Jakarta padahal mereka hanya bertemu sekali saat mereka kebetulan mendaki di Mahameru di waktu yang sama. Ada beberapa kisah lain yang serupa tapi tetap saja aku terlalu takut mengizinkan diri ini berekspektasi lebih dari sekedar teman. Aku takut terluka. Aku terdiam tidak tau harus menjawab apa. Tiba-tiba rasa sedih ini muncul dan menggerayangi dadaku. Ara memelukku.

"Biarkan waktu yang menjawabnya, Oma. Jika salah satu dari mereka adalah jodoh Oma, Allah akan mempertemukan kalian dengan cara yang indah dan tak terduga-duga."kata Nana menepuk-nepuk kepalaku. Aku tersenyum dan mengangguk

***

"Apa??? Ara udah nikah???"kata Kak Sam kaget dan setengah menjerit. Sesaat stir mobil yang dikendalikannya oleng. Aku yang duduk di sebelahnya mulai panik. Kak Tama bahkan menawarkan diri menggantikan Kak Sam mengendarai mobil . Tapi Kak Sam meyakinkan kami bahwa dia baik-baik saja. Aku ragu menjelaskan lebih lanjut tapi tatapan Kak Sam memaksaku melakukannya. Ara sudah menikah tahun lalu, tapi karena profesi suaminya yang seorang pelaut, mereka berdua terpaksa LDR.

"Baru aja mau aku dekati. Aku udah patah hati duluan." Kak Sam menghela nafas. A Irfan dan Kak Tama menepuk-nepuk bahunya dari belakang.

Kami meninggalkan hotel pukul 10.00. Setelah sarapan, Nana dan Ara meninggalkan kami karena ada janji bertemu dengan petani mereka. Itu juga lah alasan mengapa mereka tidak bisa ikut dalam perjalanan ini. Aku sungguh berharap Nana dan Ara bisa mendapatkan izin dari bos mereka hari ini. Jadi mereka bisa menyusul kami di Enrekang.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang ketika memasuki wilayah perbatasan Kab. Enrekang dan Pinrang. Badan mobil tidak pernah lurus dalam waktu yang lama. Kondisi jalan yang berkelok-kelok, menanjak mengikuti sisi gunung yang mengharuskan Kak Sam terus membolak-balikkan stir mobil berkali-kali. Syukurlah dia sudah cukup tenang dan tema mengenai Ara telah terabaikan. Kak Sam kini tengah bercerita mengenai temannya yang akan kita temui di Enrekang kota. Dia akan menemani dan mengarahkan kami ke lokasi UMKM kopi di daerah Kalosi, Kab. Enrekang. Jika kami beruntung dan segalanya sesuai rencana, kami akan tiba di kota Toraja paling lambat setelah sholat Isya.

Kami tiba jam 11.00 lewat di Kota Enrekang dan di sana pula teman Kak Sam, sesama anggota KORPALA UNHAS, menunggu kami. Kak Ari duduk di kursi tengah mobil bersama A Irfan dan Kak Tama. Tak butuh waktu lama bagi mereka bertiga untuk menjadi akrab. Berbagi cerita mengenai kecintaan mereka dengan gunung yang mengakrabkan mereka dengan cepat. Kak Ari bahkan menawari mereka berdua untuk mendaki Gunung Latimojong di Enrekang. Menjadi salah satu dari Seven Summit of Indonesia, Gunung Latimojong tentu mempunyai cerita dan tantangannya sendiri jika dibandingkan dengan Gunung Bawakaraeng. Lama A Irfan dan Kak Tama menimbang-nimbang ide itu, tapi waktu yang terbatas menjadi alasan mereka tak memasukkan rencana itu ke dalam list perjalanan mereka di Sulsel kali ini. Kak Ari memaklumi dan memastikan pada mereka bahwa tawaran itu berlaku kapan saja.

Perbincangan selama perjalanan didominasi oleh tema pengalaman pendakian keempat pria itu yang entah mengapa aku tak bisa mencari celah untuk mengikutsertakan diri di dalamnya. Aku lebih banyak menyimak dan diam selama perjalanan. Angin dari kaca mobil yang sengaja di buka karena para pria ini mulai menyulut rokok membuat mataku menjadi berat. Aku tidur jam 2 tadi malam karena keasyikan mengobrol dengan Nana dan Ara. Kenyataan itu yang mungkin menjadi penyebab utama mengapa mataku memaksa untuk terpejam. Aku menjadi sangat mengantuk dan tertidur.

"Luna...bangun."samar-samar kudengar suara bariton Kak Tama sedang memanggilku. Kubuka mataku perlahan, mengerjapkannya beberapa kali, mencoba mengumpulkan kesadaran. Kutegakkan dudukku dan mendapati Kak Tama mencondongan tubuhnya di antara kursi depan ke arahku. Setelah memastikan aku sudah benar-benar terjaga, dia menarik tubuhnya dan membuka pintu mobil di sisi kursiku. Aku mengerjap-ngerjap bingung ketika Kak Tama meletakkan jaket jins hitamnya di pangkuanku.

"Di luar gerimis. Pakai jaket kakak dulu."jelasnya. Aku tersenyum dan menggumamkan terima kasih. Kak Tama baru memberiku ruang untuk turun dari mobil setelah dia telah memastikan jaketnya telah kupakai. Aku membawa jaket parasut di Daypack ku, tapi membukanya sekarang membuatku harus membongkar garasi mobil yang jelas-jelas akan membutuhkan waktu lama. Lagi pula aku tak ingin menyia-nyiakan kebaikan Kak Tama. Aku bersyukur dengan kebaikannya dan caraku berterima kasih dengan menggunakan kebaikannya sepenuh hati.

"Ini dimana Kak?"tanyaku berjalan sedikit hati-hati di atas tanah yang tergenang oleh air hujan. Kak Tama berjalan tepat di sampingku, memastikan aku tak terpeleset atau semacamnya.

"Sudah sampai di Kalosi, Lun. Kita makan siang dan sholat duhur dulu baru jalan ke toko UMKM kopi di sini."

"Ah... saya telepon senior yang kirimin kopi buat A Irfan dulu kalau begitu. Minta alamatnya di mana."kurogoh tas tanganku mencari ponsel di sana. Aku berhenti di ambang pintu masuk rumah makan ketika Kak Alam mengangkat telpon. Kak Tama menungguiku.

"Assakamualaikum Kak Alam. Saya lagi di Enrekang . Kakak bisa ga kirimin alamat UMKM produsen kopi yang dikirim ke Garut dulu?"

"Kamu lagi ngapain di , Enrekang?"

"Jalan-jalan. Nanti saya ceritakan detailnya, kak. Ada?"

"Iya Ada. Udah aku kirim ke WA mu."

"Oke makasih Kak. Nanti kalau udah di rumah, Saya cerita."

"Oke" Aku memutus panggilan telpon setelah Kak Alam membalas salamku.

Kami berdua memasuki rumah makan, mataku menjelajah ke segala arah mencari sosok A Irfan dan Kak Sam. Kutemukan sosok A Irfan di sebuah meja paling dekat dengan jendela yang langsung berhadapan dengan barisan gunung yang tertutupi kabut tipis. Mataku bertemu pandang dengan A Irfan tapi dia diam saja. Tak ada senyuman seperti biasa, tapi matanya tetap menatapku dalam diam. Entah mengapa tiba-tiba rasa takut bahwa aku telah melakukan kesalahan melanda batinku. Tapi apa salahku? Apa aku terlalu lama tertidur di mobil? Kupercepat langkahku menuju meja mereka. Mencoba tetap terlihat tenang walaupun aku masih sibuk memikirkan kesalahan apa yang telah kuperbuat sehingga A Irfan menunjukkan perubahan sikap yang ganjil. Tapi sepertinya dia tidak semarah itu ketika kusadari dia menarik kursi kosong di sebelahnya untuk mempermudahkanku duduk. Aku meggumamkan "terima kasih" dan senyuman tipis yang dijadikannya sebagai balasan membuatku sedikit lega.

Kak Tama menarik kursi lain dan duduk di sampingku. Suasana menjadi hening sesaat yang membuatku tak nyaman. Tapi aku juga ragu memulai percakapan. Lidahku seketika kelu mengingat ekspresi A Irfan yang baru pertama kali kudapatkan. Marah? Sedih? Kecewa? Aku tak yakin tapi satu yang pasti itu membuatku sedih. Akhirnya Kak Sam berinisiatif memulai percakapan dengan menanyakan pesanan kami satu per satu. Kepekatan hening di antara kami perlahan-lahan memudar setelah Kak Ari menyarankan A Irfan dan Kak Tama memesan kapurung.

SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang