BAB 10 (Part 2)

78 5 0
                                    

Suara dering ponselku membangunkanku dari tidur. Suara ketukan pintu dan wajah Luna yang tampak di ponselku membuatku buru-buru meloncat dari tempat tidur dan membuka pintu. Luna menatapku dengan sebalah alis terangkat. Di lehernya telah tergantung ID card dengan tali berwarna merah.

"Aa tidur?"tanyanya melangkah masuk ke dalam kamar. Aku mengangguk dan menguap seakan mempertegasnya. Luna tertawa kecil.

"Semalam mabar bareng Rion sampe jam 2, Lun."kuikuti langkahnya masuk ke dalam kamar setelah menutup pintu. Dia melepas sepatu kulit hitamnya tak jauh dari pintu.

"Sholat Duhur dulu gih. Baru kita makan siang di bawah."katanya berlalu menuju toilet. Aku duduk di pinggir ranjang menunggu Luna selesai mengambill wudhu sekaligus mengumpulkan kesadaranku. Tak lama gadis itu keluar dari toilet dengan wajah, dan ujung jilbab yang basah. Aku pun masuk ke toilet dan saat kembali, Luna tengah sholat di sudut kamar. Kuambil sejadah lain di lemari dan menunaikan sholat Duhur di sisi jendela kamar yang besar.

Suasana resto lantai dua tengah ramai dengan wanita dan pria yang sebagian besar paruh baya. Mereka sepertinya peserta seminar sama seperti Luna dengan ID card menggantung di leher mereka. Aku dan Luna mengambil makanan dari paintry yang berebeda. Dia mengantri di paintry khusus peserta seminar dan aku di paintry khusus pengunjung hotel. Kuserahkan kupon makan pada pelayan penjaga paintry sebelum menyendoki nasi ke piring.

"Ada peserta yang Luna kenal?"tanyaku sambil memasukkan potongan udang dengan garpu ke dalam mulut. Luna yang tengah duduk di hadapanku menggeleng.

"Cuma ada peserta dari Universitas Negeri Makassar. Saya baru kenal tadi dan kami berbincang-bincang di dalam."jelasnya menguyah pelan-pelan.

"Beruntung dong Luna, Aa ada di sini jadi ada yang temani makan."kataku tersenyum miring dan mengangkat alis. Dia tersenyum kecil.

"Udah biasa makan sendiri, kok."

"Wah...Dasar jomblo!"candaku dan sedetik kemudian cubitan kecil nan pedas di lengan kiriku membuatku memekik. Beberapa pasang mata yang kaget di sekitar kami memandang ke arahku. Aku buru-buru menunduk-nunduk meminta maaf. Luna ngakak tanpa suara di balik tangannya.

"Riani?"suara tenor dari kananku membuatku dan Luna berbalik. Seorang pria muda dengan batik krem dan kuning tengah berdiri di sana sambil membawa piring yang masih terisi. Mata besarya menatapku dan Luna bergantian. Tetapi di akhir dia menatap Luna sambil tersenyum lebar. Kukatupkan rahangku saat Luna tersenyum padanya.

"Saya cari dari tadi karena tiba-tiba menghilang pas Isoma."pria itu melangkah mendekati meja kami. Aku tak berkomentar namun jari tangan kiriku menggenggam pinggir meja.

"Iya, Sul. Tadi saya sholat di kamar baru ke sini."jelas Luna masih tersenyum ramah sangat kontras denganku. Aku menatapnya tajam tanpa suara ketika tangannya menyentuh kepala kursi di sebelah kananku. Dia menatapku sesaat, dan aku bergeming, merasa tak nyaman, dia menarik tanganya kembali.

"Ya sudah kita ketemu di ruang seminar yah."katanya mundur tapi berusaha tersenyum pada Luna dan membuang muka padaku. Aku mendengus kesal.

"Apa?"tanyaku mendapati Luna tengah menatapku dengan senyuman penuh arti.

"Tidak apa-apa."jawabnya santai dan menyeruput air dari cangkirnya dua tangan, tapi aku masih bisa melihat seberkas senyuman tadi di sana.

***

Aku tertawa kecil menatap layar datar besar di dinding kamar yang memperlihatkan wajah Tom berubah mengukuti bentuk wajan ketika dipukul oleh Si Tikus Jerry. Kumasukkan selembar keripik kentang ke dalam mulut. Aku kini setengah berbaring di ranjang dengan punggung menyandar di kepala ranjang. Selepas makan siang. Luna kembali ke ruang seminar dan aku kembali ke kamarnya, menyalakan TV dan melayani beberapa pesanan ikan yang masuk di Whatsapp dan Instagramku. Setelah memastikan semua pesanan telah kufeedback, kutelepon Amal, asistenku, untuk menyiapkan pengiriman. Sekarang aku tengah santai menguyah keripik kentang dan menonton TV. Kulirik jam tanganku, Jam 6.15 sore, seharunya tak lama lagi Luna akan kembali.

Samar-samar terdengar suara orang yang tengah berbincang di depan kamar. Kukenali suara pertama adalah suara Luna dan suara kedua entah siapa pemiliknya tapi aku punya firasat buruk mengenainya. Kumengendap-endap mendekati pintu dan kini dapat kudengar suara berat seorang pria dari seberang pintu.

"Makan malam bareng yuk setelah Magrib."kata suara itu membuatku menggertakkan gigi. Luna tertawa pelan tapi tak menjawab. Kubuka pintu kamar dan mendapati gadis itu tersenyum lega melihatku berdiri di ambang pintu. Aku membalas senyumannya.

"Sudah selesai?"tanyaku membuka pintu lebih lebar. Luna mengangguk. Kulemparkan pandanganku pada pria berbatik krem tadi , mencoba tersneyum tapi aku tak yakin bibirku membentuk sebuah senyuman atau malah sebuah seringaian. Ekspresi kaget dan malu bercampur aduk di wajahnya. Aku masih tersenyum dan mengangkat sebelah alis menatapnya. Dia mulai berdiri tak tenang.

"Aku balik ke kamar ya, Ri."katanya buru-buru berbalik, mengabaikan senyuman Luna dan menghilang di balik koridor. Kuberdecak lidah. Sebegitu berusahanyakah dia mengakrabkan diri pada gadis ini sampai-sampai mengantarnya/ menguntitnya sampai ke depan kamar? Jika itu aku, aku sudah membentaknya di tengah jalan. Tapi ini Luna, dia tak akan pernah berbuat seperti itu. Kugertakkan gigiku sekali lagi dan menutup pintu. Wajahku terasa panas memendam rasa jengkel. Rahangku mengeras.

Tiba-tiba insting memintaku berbalik, karena dia berkata ada sepasang mata yang tengah menungguku untuk balik menatapnya sekarang dan benar saja Luna tengah menatapku dalam diam. Tatapannya lembut dan tak jauh berbeda dengan senyuman kecil yang dibagikannya untukku. Aku menghela nafas dan seperti sihir, senyuman manisnya itu membuat semua ketegangan di otot wajahku sirna. Menghilang tanpa bekas. Setelah tenang, barulah gadis itu berbalik, tertawa singkat sebelum sosoknya menghilang di balik toilet.

SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang