Aku mulai berpikir ide yang ditawarkan Kak Ed ini adalah ide gila nan bodoh. Walaupun aku telah menyiapkan fisik selama satu minggu sebelum keberangkatan, tapi tetap saja mendaki memang tak pernah mudah. Nafasku mulai tersengal-sengal dan aku beberapa kali harus mendudukkan diri di batang pohon mati atau bahkan di atas tanah untuk membuatnya stabil kembali. Langit pun tampak tak bersahabat, awan kelabu menggumpal-gumpal yang memberi tanda bahwa dia akan segera memuntahkan air ke bumi membuatku semakin cemas. Dan benar saja, 10 menit kemudian hujan mulai turun. Kak Sam telah mewanti-wanti kami akan kemungkinan akan turunnya hujan sehingga lebih baik kami mengenakan jas hujan sejak awal. Bukan air hujan yang membuat kami khawatir tapi rasa dingin yang menusuk tulang ketika angin gunung berhembus dan menerpa pakaian kami yang basah.
Entah berapa lama aku telah berjalan, intinya kami berangkat dari Lembanna jam 9 pagi dan sekarang langit yang gelap, tertutupi awan kelabu membuatku tak bisa memprediksi waktu. Aku juga lupa mengenakan jam tangan, jadi lengkaplah sudah , aku tak tau berapa lama lagi aku harus berjalan. Tapi mengingat kabut tebal yang mulai muncul disekeliling kami membuktikan kami berada di ketinggian yang tak biasa.
Sepanjang jalan aku hanya terdiam tapi di dalam hati mulai mengumpati kebodohanku. Aku seharusnya sedang tidur siang di rumah, dalam keadaan hangat dan aman tapi aku justru membuang kenyamanan itu dan memilih berada di tengah-tengah gunung, dalam keadaan dingin dan basah, nafas memburu serta kaki yang mulai mengalami tremor. Apa yang kuharap dari pendakian ini? Aku bukanlah gadis yang dianugerahi fisik yang kuat oleh Tuhan. Pendakian-pendakian sebelumnya kulakukan dengan susah payah, penuh perjuangan. Apalagi umur memang tak bisa berbohong. Saat itu aku masih muda dengan tubuh ringan dan lincah. Tapi sekarang aku hanyalah seorang gadis dengan seonggok lemak di kedua kakinya.
Pencerahan hanya didapatkan bagi mereka yang mampu berkontemplasi di setiap langkahnya sedangkan aku? Tetap berjalan 10 langkah saja sudah susah payah kulakukan. Walau Kak Sam berkata jalan saja sesuai kemampuanku tapi jika aku terus berjalan seperti ini kapan kami akan sampai? Sampai kapan rasa letih di kedua pundakku harus kurasakan? Aku merasa bersalah pada Kak Sam, Kak Faiz dan Kak Dini harus menungguiku yang berjalan seperti siput. Kak Dini juga keadannya tak jauh berbeda denganku tapi dia setahun lebih tua dariku dan dia telah menikah, jadi membandingkan diriku dan dirinya sangatlah tak sepadan.
Pohon-pohon yang ditutupi lumut tebal yang menjalar dari satu pohon ke pohon lainnya menyapaku. Kontur tanah lebih datar tapi jarak pandang memendek karena kabut tebal yang diperparah hujan. Seingatku setelah hutan lumut ada penurunan menuju Sungai Tallung, dan setelah melewati puncak Tallung, kami cukup menuruni lereng gunung dan tak lama lagi tiba di Lembah Ramma. Rasa senang memenuhi dadaku.
"Kak sebentar lagi sampai....,"kalimatku terpotong karena kakak-kakak yang ingin kuajak berbicara tak ada di belakangku. Kak Sam, Kak Faiz dan Kak Dini. Aku membolak-balikkan badan mencari sosok mereka tapi tak kutemukan. Hanya pohon-pohon lumut yang mengintip di balik berkas-berkas kabut putih menebal yang dapat kutangkap sejauh mata memandang. Keringat dingin mulai merayapi kedua tangan dan tengkukku.
"Kak Sam!!! Kak Faiz!!! Kak Dini!!!"jeritku sekuat tenaga tapi tak ada sahutan sama sekali. Hanya suara hujan yang jatuh membasahi bumi yang terdengar. Kemana mereka? Kududukan carrierku yang tertutupi cover di batang kayu terdekat kemudian berjalan kembali ke belakang, berharap mendapati sosok mereka di sana. Tapi hasilnya nihil. Memanggil-manggil nama merekapun tak membuahkan hasil. Jantungku berdetak cepat dan membuatku semakin panik. Kabut tebal membatasi jarak pandangku. Aku menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, mencoba untuk tenang. Kuputuskan kembali ke spot dimana carrierku kutinggalkan tadi.
Sudah berapa lama aku berpisah dari mereka? Aku tak yakin dengan jawabannya. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri dan tak memperhatikan sekitar. Apa aku tersesat? Kuenyahkan pikiran itu dari otakku sebelum membuatku semakin panik. Jika aku tersesat jauh, aku tak akan tiba di hutan lumut ini yang jelas-jelas jalur yang memang akan dilewati ketika menuju ke Lembah Ramma.. Jadi jika aku terpisah dari rombongan setidaknya aku tak terlalu jauh melenceng dari jalur. Aku hanya mengikuti track line yang memang sudah ada. Jadi aku tak terpisah sejauh itu. Iya... Itu benar. Jadi tetaplah tenang.
Kutarik salah botol air minum kosong dari kantung kiri Carrierku kemudian kupukul-pukulkan ke batang pohon sekuat tenaga. Suaranya tak cukup nyaring. Aku menarik botol tumbler besiku dari saku kanan carrier, kupindahkan airnya ke botol minum kosong tadi. Aku meraih sebongkah batu tak jauh dari sepatu lapanganku dan kuletakkan di atas batang pohon. Suara nyaring besi yang menghantam benda keras terdengar memekakan telingaku saat kupukulkan tumbler itu ke batu. Seharusnya suara ini cukup nyaring untuk didengar hingga radius belasan meter.
Langit semakin gelap, lenganku telah lelah memukul-mukul batu dengan tumbler dalam jangka waktu yang tentu saja tak singkat. Ritme pukulanku mulai melambat. Aku bahkan terlalu lelah untuk mulai menangis. Suara hujan yang menerpa jas hujankulah satu-satunya suara yang membuatku tersadar bahwa semua ini bukan mimpi, bahwa ku benar-benar sendiri di tengah hutan lumut di antah berantah.
Bodoh. Kumaki diriku. Aku memilih kabur ke gunung berharap mendapatkan jawaban atas semua kegelisahanku selama ini. Aku hanyalah seorang pengecut yang lari dari masalah bukannya berdiri di depan menyelesaikan masalah. Apa yang kuharapkan dari diriku yang pengecut ini? Seharusnya sejak awal aku membuka diri pada A Irfan dan mendiskusikan ini baik-baik. Berani menghadapi konsekuensi apapun dari pilihan yang akhirnya kami pilih. Menjalin hubungan serius tapi harus terpisahkan oleh jarak atau memutuskan berpisah tapi harus terluka. Hanya ada dua pilihan itu, tak lebih. Semuanya betul akan lebih mudah jika kami bekerjasama dan berkomitmen dengan pilihan kami apapun itu. Tapi aku malah memilih kabur, tak berani menghadapinya. Semua orang membanggakanku sebagai seorang gadis cerdas dengan kemampuan komunikasi yang baik namun kenyataannya aku bukan. Aku hanyalah seorang gadis pengecut bodoh yang dikuasai oleh emosi bukannya logika. Aku tertawa getir. Memalukan. Yah... mungkin inilah konsekuensi yang harus kuperoleh dari kebodohanku ini, hilang di tengah gunung tanpa tau akan terselamatkan atau tidak. Kumenundukkan kepala di antara kedua lututku. Tangan kiri masih memukul-mukul batu, semakin lama semakin melemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario
Roman d'amourRiani tak pernah menyangka akan dipertemukan dengan Irfan, pria yang dikaguminya lewat salah satu platform game online. Berawal dari saling bertukar no.ponsel dan saling mengirim pesan via Whatsapp, Riani akhirnya menyadari Irfan memenuhi hampir seb...