BAB 10 (Part 1)

84 8 3
                                    

Mataku dengan teliti melihat wajah-wajah yang keluar dari gerbang Departure Bandara Husein Sastranegara. Mencari sosok mungil Luna di antara puluhan orang yang keluar dari sana. Matahari telah meninggi, rasa gerah di leherku yang tersembunyi di balik jaket mulai membuatku tak nyaman. Aku bangun terlambat karena meladeni Rion mabar sampai jam 2 pagi. Alhasil aku terlambat bangun, sholat subuh saat langit mulai terang dan tak mandi. Kubaui diriku sendiri dan arom kayu cedar parfumku yang tercium. Aman.

Kulirik jam tanganku. Jam 08.15. Seharusnya Luna telah sampai. Saat kuangkat kepala untuk kembali mencari sosoknya. Mataku secara insting atau mungkin terkoneksi, mendapati sosoknya yang tengah mendorong troli barang melewati gerbang Departure. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Kuaangkat sebelah alisku dan tersenyum dengan penampilannya yang sedikit berbeda ini. Dia mengenakan kemeja batik panjang sebatas paha berwarna kombinasi biru, kuning dan hitam. Kemudian rok biru navi polos yang berwarna senada dengan jilbabnya menjulur panjang menutupi dada. Riasan make up tipis di wajahnya membuat immage "adik manis" Luna berubah menjadi immage "wanita dewasa" sekarang. Tapi senyum polosnya tak berubah sedikitpun ketika dia tersenyum menyadari keberadaanku. Dia buru-buru mendorong trolinya dan memperlebar langkah.

"Selamat pagi, Ibu dosen."sapaku. Dia tertawa kecil tapi jari-jarinya sudah mendaratkan cubitan ke tangan kiriku. Aku meringis.

"Tumben Luna rapi begini."kataku masih enggan meninggalkan tema penampilan Luna yang baru kudapati ini. Aku selalu menyukai gaya berpakian modis, sporty dan kadang terkesan boyish tapi masih cukup rapi dan satun yang selama ini ditunjukannya. Tapi sosoknya kali ini benar-benar berbeda. Dia menjelma menjadi wanita dewasa yang cerdas dan percaya diri. Ya...Luna memang cerdas dan percaya diri sejak dulu, tapi sekrang immage itu lebih kental dan aku menyukainya.

"Takut ga keburu waktu kalau saya ganti pakaian lagi di hotel, A. Seminarnya mulai jam 10."responnya mengangkat Daypack abu-abu besar di troli. Aku mengambilnya sesaat sebelum dia sempat mengenakannya. Kukenakan daypacknya tanpa berkomentar. Kuambil juga tas jinjing besar sesaat sebelum dia meraihnya. Dia tersenyum tipis tapi tak melontarkan protes. Akhirnya dia hanya membawa tas samping yang kuyakin berisi laptop dan barang penting lainnya.

Aku meliriknya sedikit bingung karena gadis ini tiba-tiba terdiam di tempat. Sudut-suduh bibirku tertarik perlahan ketika menyadari jemari tangan kanannya tengah menyentuh kain hitam-kuning yang terikat erat di tali tas outdoorku. Dibelainya perlahan ikat kepala itu dengan ibu jari dengan tatapan sendu dan senyuman lembut di wajahnya. Mataku juga secara otomatis menatap gelang manik hitam yang masih melingkar manis di pergelangan tangan kanannya. Kutatap gadis itu sekali lagi, dan senyuman manis itu masih di sana. Bukan untukku tapi untuk ikat kepala yang terikat di tas outdoorku. Namun sedetik kemudian senyumannya itu ditujukannya padaku. Menatapku lembut lama seakan ingin mengingatkan dirinya kembali seperti ini wajahku dan tak ada yang berubah. Ingin rasanya kudekap wajahnya di dadaku sekarang, memeluknya erat dan berbisik padanya. "Doa Luna terkabul dan kita dipertemukan lagi." Tapi akhirnya aku hanya tersenyum, mengusap puncak kepalanya sekali, dan bergumam "Ayo. Nanti terlambat."

Kududukan daypack dan tas jinjingnya di kursi tengah saat Luna memanjat kursi penumpang di depan. Mobilku meninggalkan bandara jam 8.30. Sesekali kulirik gadis itu yang tengah menikmati pemandangan melalui jendela dan senyuman masih terpaut di wajahnya. Ini kali pertamanya menginjakkan kaki di Pulau Jawa jadi kuberikan dia waktu menikmati pemandangan sepanjang jalan menuju hotel.

"Jadi gimana rencananya?"tanyaku menarik rem tangan saat mobil telah terparkir rapi di parkiran basement hotel. Luna terdiam sesaat.

"Seminarnya paling cepat selesai sore dan paling lambat magrib. Tergantung Aa aja sih."jawabnya ambigu. Sepertinya dia juga bingung atau tak mau memaksakan saran yang mungkin merugikanku. Aku tersenyum.

"Ya udah. Aa tungguin Luna sampai seminarnya selesai. Ribet kalau Aa bolak-baliik Bandung-Garut lagi."

"Tapi kerjaannya, Aa? Saya bisa pesan gojek online kok ke Garut." Aku menyipitkan mata, dia merapatkan bibir.

"Kerjaan Aa bisa diremote, Lun. Tenang aja."dia tak berkomentar.

"Terus Aa bisa tungguin Luna di kamar hotel bookingan buat Luna kan. Ga sering-sering Aa nikmatin fasilitas hotel. Ada kolam renang ga yah? Aa belum mandi soalnya." Gadis itu tertawa.

Setelah meletakkan beberapa barang di kamar hotel, Luna pamit dan meninggalkanku sendiri di sana. Aku mengunci kamar dan berlari ke WC dengan sepaket pakaian baru yang kugulung di dalam tas outdoor kecilku. Setelah mandi bahkan berkeramas dengan air hangat, aku menyeduh kopi instan yang bahan dan peralatannya tersedia di atas meja. Menyomot beberapa potong roti yang tersedia di dalam kulkas. Setelah perut telah terisi, kubuang diriku ke tengah ranjang empuk berukuran Queen size yang nyaman. Tak menunggu waktu lama aku terlelap di sana.

SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang