Riani tak pernah menyangka akan dipertemukan dengan Irfan, pria yang dikaguminya lewat salah satu platform game online. Berawal dari saling bertukar no.ponsel dan saling mengirim pesan via Whatsapp, Riani akhirnya menyadari Irfan memenuhi hampir seb...
"Luna lagi dimana, dek?"tanya Sam melalui ponsel yang melekat di telinga kirinya. Aku menghela asap rokok keluar dari mulut dan hidungku. Kuamati motor dan mobil yang berlalu lalang di jalan pas di hadapanku.
"Oh...kami ada di PTB sekarang. Luna bisa kesini? Sekalian kita makan malam bareng."ajak Sam setelah jeda beberapa saat.
"Ga usah repot-repot, Lun. Luna ke sini aja di Warung Syivana. Kami tunggu yah."dia tersenyum setelah menjawab salam Luna dan memutus panggilan. Sam merenggangkan tubuhnya di kursi dan menguap. Tanpa dijelaskan aku sudah bisa menebak, Luna pasti menawarkan makan malam di rumahnya. Aku setuju dengan penolakan Sam dan alasannya.
Sam bercerita sebentar mengenai pusat jajanan kuliner di mana kami singgah ini. Setelah berkendara selama 5 jam, kami akhirnya tiba di kota Maros, sebuah kabupaten setelah kota Makassar, kota asal Luna dan Sam. Mungkin karena letaknya yang tak jauh dari kota madya, suasana dan keramiannya juga tak jauh berbeda. Setelah sholat magrib di Al-Markaz, mobil Terios Faiz menyeberang jalan dan memasuki kawasan pusat kuliner dengan gerbang yang dihiasi kupu-kupu raksasa di sana, ikon khas kota Maros. Pertama kali melewati gerbang, pemandangan danau berbentuk persegi panjang raksasa menyambut kami. Di kedua sisi panjang kolam, deretan meja dan kursi di bawah payung pantai berbaris rapi. Kemudian di sisi kanan, tepat di seberang jalan, deretan gerobak-gerobak bertenda yang menjajakan berbagai menu makanan dan minuman menarik perhatian. Lampu-lampu hias di sisi jalan, taman dan danau mempercantik suasana malam di sana. Sayangnya mobil Faiz diparkir di depan resto dimana kami duduk sekarang. Gedung deretan mini cafe di depan resto menghalangi pemandangan danau dari sini. Tapi seperti membaca kegelisahanku tadi Faiz menyarankan kami pindah ke warung pinggir danau setelah menghabiskan makan malam di sini. Aku setuju.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Motor scoopy hitam merah yang terasa familiar berhenti tepat di samping Terios abu-abu Faiz. Gadis berjilbab biru dengan motif kotak-kotak putih turun dari motor setelah melepas helm merahnya. Senyum manis Luna langsung menyapa kami saat tatapan kami saling bertemu. Dia sepertinya mendengarkan nasehatku dan mengenakan jaket jins biru yang senada dengan warna roknya. Kaos putihnya nyaris tak terlihat di balik jaket dan jilbab yang panjang. Tas kecil biru menggantung manis di pundak kanannya dan berayun-ayun saat dia berjalan/berlari ke arah kami. Senyumannya masih semanis saat pertama kali dia menunjukkannya padaku. Aku tak akan pernah bosan memandanginya.
"Bagaimana nanjaknya? Gak hujan kan?"tanyanya menarik kursi di antara Faiz dan Sam. Dia duduk dan menantikan jawaban.
"Asyik banget, dek. Mestinya Luna ikut."jawab Faiz. Luna tertawa kecil.
"Biar ada yang masakin kan? Dasar!"responnya disambut oleh tawa kami.
"Gak lah, dek. Kami ga bakal biarin Luna nyentuh air buat masak dan cuci piring. Serasa jadi putri gunung dah!" lanjut Sam membuat gadis itu tertawa.
"Wih...Ya udah. Ayo kita nanjak besok!"
"Eeh....istirahat dulu dek. Kaki kakak udah tikus-tikus ini . Toami ramang."jawaban Faiz membuat Luna terbahak-bahak. Dia memukul perlahan bahu Faiz, kebiasannya ketika tertawa karena lelucon konyol yang dibuat orang itu.