BAB 13 (Part 3)

57 3 0
                                    


"Aa udah ketemu Kak Sam?"tanyaku kaget, tak sadar nada suaraku meninggi. A Irfan menyendoki nasi goreng yang kubuat tadi dan mengangguk.

"Semalam pas Luna tidur dan Aa permisi ngerokok, sebenarnya Aa lagi nyari signal hp di tempat yang lebih tinggi karena pada dasarnya Aa juga tidak tau jalan. Aa ketemu Sam di Sungai Tallung. Dia lagi nyariin Luna."jelasnya di antara kunyahan. Aku menghela nafas lega.

"Terus mereka di mana sekarang?"

"Mereka udah sampai di lembah. Kemarin karena Dini juga sudah lelah, Faiz dan Dini meneruskan perjalanan ke Lembah dan Sam kembali mencari Luna."aku mengangguk mengerti.

"Karena Luna udah tidur dan malam juga udah larut, Aa nyaranin kita akan nyusul mereka pagi ini. Sam juga udah tunjukin jalur yang tepat menuju lembah."lanjut A Irfan lagi.

Kumulai berlari di tengah-tengah padang rumput hijau setibanya di Lembah Ramma. Aku bisa menemukan sosok Kak Dini melambai-lambaikan tangan dari area camp. Berat carrier di punggungku seakan tidak ada artinya saat kupacu diriku untuk tiba di sana secepat yang aku bisa. Kutinggal A Irfan yang berjalan di belakang. Kak Dini ikut berlari ke arahku dan kuhamburkan diriku dalam pelukannya. Rasa lega sekonyong-konyong meliputi diriku hingga membuat tubuhku terasa ringan. Tangan Kak Dini mengusap-usap belakang kepalaku. Aku tadi tak menangis tapi air mata di wajah Kak Dini menular dan membuatku ikut terisak bersamanya.

 Aku tadi tak menangis tapi air mata di wajah Kak Dini menular dan membuatku ikut terisak bersamanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Next time kita liburan di dataran rendah aja ya, Lun. Kita ngecamp dan bakar-bakar ikan di halaman rumah kakak aja."aku tertawa dengan suara serak kemudian mengangguk perlahan. Kak Dini menuntunku ke lokasi camp di mana Kak Sam dan Kak Faiz menyambut kami di sana dengan senyuman lega.

"Maaf membuat kalian khawatir."bisikku tertunduk malu. Kak Sam mengetuk kepalaku perlahan, memintaku menatapnya dan saat kuindahkan dia membagikan senyuman hangat.

"Yang penting sekarang Luna baik-baik aja."

***

"Lain kali Luna jangan mendaki di gunung manapun dengan pikiran kosong."kata Kak Sam. Kami sedang berkumpul bersama di tenda A Irfan untuk makan siang.

"Saya tidak melamun, Kak. Saya justru sedang memikirkan banyak hal."bantahku, kulirik A Irfan dengan ekor mata dan dia tak berkomentar.

"Luna tidak sadar kalau Luna jalan jauh di depan kami kemarin?"tanya Kak Faiz memandangku heran. Sendoknya yang sibuk menyendoki nasi ke piring besi tiba-tiba berhenti sesaat di atas nesting. Aku menggeleng.

"Bukannya kalian yang jalan lebih dulu karena saya jalan terlalu lambat?"tanyaku bingung. Kak Faiz, Kak Dini dan Kak Sam kompak menggelengkan kepala. Aku tercekat.

"Luna jalan jauh di depan kami jadi aku pikir Luna tau jalan makanya aku juga santai aja." Jelas Kak Sam masih memandangku heran. Aku terdiam.

"Terus kalau kalian di belakang, kenapa tidak ketemu saya di hutan lumut? Padahal saya udah mukul-mukul batu pakai tumbler besi biar suaranya nyaring."aku menatap mereka bertiga menuntut jawaban.

"Kami ga dengar suara apa-apa di hutan lumut, Lun."jawab Kak Faiz lagi lambat-lambat. Bulu kudukku tiba-tiba merinding. Aku menatap mereka yang tiba-tiba tak bersuara.

"Irfan dengar suara tumbler Luna?"tanya Kak Dini memecah keheningan. A Irfan mengangguk.

"Aku kan ikutin string line yang ditinggalkan Sam sepanjang jalur tapi saat tiba di hutan lumut, ada suara ketukan nyaring jauh dari jalur string line. Aku ikuti suara ketukan itu dan mendapati Luna di sana."jelas A Irfan menatapku hati-hati. Apa ini? Kenapa cuma A Irfan yang mendengar suara ketukan tumblerku dan mereka bertiga tidak. Pasti ada penjelasan logis yang bisa menjawab keanehan ini. Pasti. Aku berpikir keras. Jika benar A Irfan bisa mendengarku saat mengikuti string line, seharusnya mereka juga bisa mendengarnya bukan?Rambut halus lenganku di balik jaket mulai berdiri.

"Pokoknya Luna kalau mendaki lagi jangan menghayal. Apalagi pikirannya kosong. Masih syukur Irfan sempat dengar suara tumbler Luna. Kalau tidak?"tegas Kak Sam. Aku kembali tergidik membayangkan diriku yang duduk sendiri di tengah hutan lumut dengan kabut tebal dan hujan yang tak kunjung reda.

"Ada banyak kasus pendaki hilang di gunung. Salah satunya karena itu."timpal Kak Faiz.

"Atau penghuni gunung...,"

"Aaaaaa!!! Aaaaaa!!!! Ga dengar!!! Aaaaaa...!"potongku bernyanyi tidak jelas. Kututup kedua lubang telingaku dengan jari-jari, tak mau mendengar lanjutan perkataan Kak Sam. Aku benci kisah-kisah horor seperti itu. Mereka tertawa.

"Atau bisa juga itu adalah cara Tuhan mempertemukan Luna dan Irfan"lanjut Kak Dini ternyum ke arahku dan A Irfan bergantian. Tatapan mata A Irfan mendarat padaku, sesaat aku tercekat dan balas menatap matanya tapi kemudian segera memalingkan wajah karena malu.

SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang