Vega baru saja keluar dari ruangan senat. Tepat di depan pintu, ia melihat anak angkatnya yang sedang ‘pacaran’ di sofa ruang tengah. Kalem-kalem begini Vega tetaplah seorang yang jahil metakil.
Dengan gerakan dagu Vega bertanya pada Adia yang menatapnya, ‘Kenapa dia?’ arti dari gerakan mata dan dagunya.
Adia hanya memberikan gerakan tangan ‘it’s okay.’
Vega meminta izin duduk pada Adia dengan menunjuk dirinya dan area kosong di belakang Xavier.
Adia mengangguk kecil sebagai jawaban.
Perlahan Vega duduk di samping Xavier yang sedang berceloteh pada kekasihnya. Dengan memberikan kode diam pada Adia tentunya. Kepala Xavier bersandar pada punggung sofa dengan wajah yang tertutup hoodie milik Adia, membuatnya tidak menyadari kedatangan orang lain di sebelahnya.
Setelah bokong seksi Vega sudah mendarat di sofa yang lumayan empuk itu, samar-samar Vega mulai menguping. Ia sempat tersentak kaget mendengar suara Xavier yang diiringi isakan kecil.
“Gimana, Adia? Gue bingung. Udah dibantu kak Vega tapi masih banyak yang belum bisa cair. Gue bingung jelasin gimana ke mereka,” ucapan Xavier yang Vega dengar dari sampingnya.
“Gapapa. Lo udah melakukan yang terbaik, Xav,” ucap Adia dengan lembut.
“Terus gimana mereka berangkat ke NTT buat ikut Pimnasnya?” tanya Xavier di tengah isakannya. “Waktunya udah deket banget Di. Masa gagal berangkat,” sambungnya lebih frustasi.
Pimnas, Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional, suatu kegiatan puncak pertemuan nasional, sebagai perwujudan kreativitas dan penalaran ilmiah mahasiswa yang terjadwal secara akademik oleh perguruan tinggi dalam meningkatkan budaya kompetisi akademik dan unjuk prestasi di kalangan mahasiswa.
Vega menghela napas pelan. Ternyata masalah-masalah mulai bermunculan. Dari dulu Vega memang sudah kenal dengan masalah seperti ini, tapi sekarang lain kondisi. Jika dulu ia yang selalu menuntut, sekarang dirinya yang malah dituntut. Apakah karma sedang mendatanginya?
“Coba besok kita temuin Bu Vega lagi. Barangkali beliau punya solusi,” ujar Adia santai seolah tidak ada Vega di sana.
Suara isakan Xavier semakin jelas terdengar, “Gue ngga berani, udah sering banget gue minta bantuin dia, Di.”
“Ya udah besok gue yang bilang,” ujar Adia berusaha menenangkan.
Xavier menggeleng, masih di posisinya, “Enggak mau. Ini tanggung jawab gue, gue yang harus menyelesaikan,” ujar Xavier.
Adia menghela napas dalam. Memang susah ya menghadapi cewek. Disuruh maju ngga berani, dibantu ngga mau. Maunya apa sih elah.
“Kurang apa aja yang belum beres dananya?” tanya Adia kemudian.
“Pimnas di NTT, Lomba desain jembatan di Thailand, terus English Debate di Riau. Belum lagi pelatihan Pekan Kreativitas Mahasiswa. Gimana Di, gue ngerasa ngga becus jadi menteri pemikat,” ucap Xavier lalu menangis lagi. Malah kali ini lebih deras dari sebelumnya.
Vega kembali menghela napas pelan. Baru aja dia merasa sangat bersyukur dan senang menjadi bagian dari kemahasiswaan kemarin (karena bisa terus koordinasi sama Suha dan Nuha), eh dia malah lupa kalau real life-nya ngga seenak itu. Sekarang ia sadar, tanggung jawabnya bukan sekadar senang bersatu kembali bersama sahabat juangnya, tapi lebih dari itu.
“Ssstt.. nggak, Xav. Jangan ngomong gitu, kita juga baru mulai kepengurusan kok,” ujar Adia sambil menggenggam tangan kanan Xavier, membuat Vega yang melihatnya langsung memalingkan wajah ke sembaranga arah.
Ini anak kuranga ajyar, ngga liat ada orang tua apa gimana. Bikin meri aja, batin Vega.
Sorry, Vega lupa kalau dirinya yang duluan nyari gara-gara dengan nguping dari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ACTWY
Teen FictionMasa lalu tidak mengubah kita di masa depan. Tapi masa kini yang belajar dari masa lalu, mampu mempersiapkan dirimu di masa depan. Sederhana, Ini hanya teori, sampai kamu tau cara praktiknya, ini semua adalah realita. So, I will act, count, and thin...