20. Noname

1.1K 139 13
                                    

Ravin dan Adia baru saja keluar dari ruangan dosen. Keduanya masih bersungut-sengut sejak tadi.

Adia belum terima Ravin mengusulkan kos mereka menjadi asrama mahasiswa yang menjadi projek Vega. Sedangkan Ravin tenang-tenang saja, toh bukan hal yang negatif menjadikan kosnya lebih baik.

"Vin, Vin, lo sadar kan? Kos kita isinya aktivis kampus semua, sibuk semua, mana mau mereka ditambah tugas-tugas asrama kaya gitu. Bisa pulang ke kos aja udah syukur."

Ravin tersenyum miring, menatap Adia yang tampak masih belum terima.

"Justru itu," ujar Ravin sambil melenggang pergi.

"Gue masih ngga ngerti sama jalan pikiran lo, Vin," ujar Adia berusaha menahan kesal sambil menyesuaikan langkah Ravin di sebelahnya.

"Justru karena kita semua aktivis, gue mau kita tetap terbina. Minimal kita lulus ngga blangsak," ucap Ravin dengan santainya.

Adia berdecak keras lalu menoleh dengan alis yang menukik, "Blangsak gimana ukuran lo? Kita semua ngga ada yang ngerokok Vin, ngga minum-minuman, ngga juga pencuri atau perusuh di kampus. Apanya yang menurut lo blangsak?"

Ravin mendadak berhenti, membuat Adia juga ikut berhenti di sebelahnya.
"Blangsak ukuran gue, ketika kita mentingin duniawi sampai lupa bekal buat dibawa mati."

Adia terdiam, menatap tubuh Ravin yang melenggang pergi meninggalkannya. Ia tersenyum miring, "Jangan sok polos buat menutup kedok lo, Vin."

*****

Setelah Adia dan Ravin keluar dari ruangan Vega, kini giliran Xavier. Cewek itu baru selesai kelas, lalu terburu-buru menuju ruangan Vega di kampus vokasi. Jaraknya yang cukup jauh dan setelah ini masih ada kuliah, membuat Xavier harus segera menyelesaikan urusannya lalu kembali lagi ke kampus FEB.

Setelah mengetuk pintu, Xavier melihat Vega masih sibuk dengan dokumen di mejanya yang entah isinya apa.

"Masuk, Xav," ucap Vega setelah menoleh sekilas.

Xavier berjalan mendekat ke meja Vega. Dari tempatnya berdiri ia melihat dokumen di hadapan Vega berisi penuh tulisan. Tapi bukan itu masalahnya. Tulisan di atas kertas itu, bukan rangkaian huruf latin, tapi huruf Hangeul, huruf yang digunakan untuk menuliskan bahasa Korea.

"Duduk." Vega dengan segera menutup dokumennya, lalu menatap Xavier yang sudah duduk di hadapannya.

Xavier duduk dengan tatapan yang masih belum beralih dari dokumen yang tertindih tangan Vega.

"Kamu masih ada kelas?"

Xavier mengangguk pelan, "Masih Bu."

"Kakak," ujar Vega meralat.

Xavier tersenyum kaku, "Iya kak. Masih ada kuliah abis ini."

Vega mengangguk, "Oke. Kita bicara di sini aja kalau gitu."

Xavier hanya mengangguk lagi. Tidak seperti biasanya setiap bertemu dengan Vega, ia merasa deg-degan sekali sekarang.

"Jadi gini Xav. Kakak diajak teman kakak, Nuha.... Kamu kenal kan?"

Xavier mengangguk lagi.

"Kami mau buka asrama binaan untuk mahasiswi," Vega tersenyum sambil memandang wajah Xavier yang tampak tegang, "Kamu mau gabung ngga sama kakak?" tanya Vega hati-hati.

"Gabung gimana kak?"

Vega tersenyum sampai matanya menyipit, "Jadi santri di asrama itu. Asramanya gratis, dan kamu dapet pembinaan juga."

Xavier menghela napas dalam lalu memberanikan diri menatap manik mata Vega, "Gratis? Pasti ada syaratnya kan kak?"

Vega mengangguk pelan, ada ragu-ragu untuk mengatakan, tapi ia harus menyampaikan, "Syaratnya..."

ACTWYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang