Rainie| 17

2.4K 294 14
                                    

Revisi📌

17. Teror

____________


Perihal perkataan Milly tadi siang, yang mengatakan bahwa dirinya mengetahui sesuatu yang selama ini tersembunyi.

Sungguh membuat perasaan Qinan tak menentu. Membuat rasa waswas datang melingkupi perasaannya. Pasalnya, ia tahu siapa itu Nadine. Hana pernah menceritakannya.

Tentang Rain, yang ternyata bukanlah saudara kandungnya. Bukan anak, yang dilahirkan dari rahim Sang Mama.

Rain adalah anak yang terlahir dari kesalahan Papanya dulu, bersama seorang perempuan bernama Nadine yang ia ketahui adalah sahabat dari Mamanya.

Tapi, meskipun begitu, ia sangat menyayangi adiknya itu. Dan ia takkan membiarkan orang lain membawanya pergi, sekalipun itu adalah ibu kandungnya sendiri.

Meskipun ia belum sepenuhnya yakin, apakah Nadine yang dimaksud Milly adalah Nadine yang itu, ataukah Nadine yang lain. Belum pasti juga, dari mana Milly mengetahuinya, bisa saja kan, gadis itu hanya mengada-ngada.

"Qi, lo ngelamun, ya?" Jentikan jari itu kembali menyadarkan isi pikirannya.

Qinan nampak sedikit terkejut. "Hah? Eng-gak kok. Kenapa?"

"Tadi, gue nanya, lo udah tahu belum, kalo Rafa itu sebenernya temen kita dulu. Itu loh, anak kecil yang rambutnya ada poninya," ucap Rain, kembali mengulang perkataan yang ia ucapkan beberapa saat yang lalu.

"Ah iya, udah tahu kok," jawab Qinan singkat, "Lala sama Fani, udah tahu juga?"

Qinan mengarahkan atensinya ke arah Lala dan Fani yang juga ikut berjalan bersebelahan dengannya.

"Tahu. Tadi, Rain udah cerita kok, katanya Kak Rafa itu temen kecilnya. Awalnya kita gak percaya, sih."

"Loh, kenapa emangnya?" tanya Qinan heran.

"Gini loh Qi, gimana kita mau percaya, Kak Rafa itukan Ketos terus sempurna gitu. Lah, sedangkan nih bocah--"

"Heh, lo ngerendahin gue!" sergah Rain, memotong ucapan Lala, "lo pikir, si Rafa itu lebih sempurna, perfecto, mamamia lezatos, huh? Sedangkan gue cuma remahan sisa kue khong guan?"

Qinan, Lala dan Fani terkekeh geli, melihat ekspresi kesal Rain yang terus menerus bergerutu.

"Udah ah becandanya, mending kita cepetan. Ini udah sore, gak baik pulang sore-sore. Lala - Fani, kalian pulangnya?--"

"Oh iya Fan, gue lupa. Gue hari ini gak bawa mobil, terus sopir gue gak bisa jemput, soalnya lagi nganterin Mami ke Bandara. Gue nebeng lo ya, Fan."

Fani terdiam sesaat. Memikirkan apa jawaban yang pas untuk menjawab ucapan Lala. Bukannya ia tak mau mengantarkan Lala. Hanya saja hari ini ia ada janji dengan seseorang.

"Eng ... itu, La. Aduh, gimana ya, ngomongnya. Gue ..." Fani menggantung ucapannya, membuat ketiga gadis itu, menatap ke arahnya. "Gue udah ada janji sama seseorang."

"Siapa?" tanya Lala bingung.

"Fani!"

Seluruh tatapan mata langsung mengarah ke arah sumber suara. Menatap dengan tatapan tak percaya, kepada seseorang yang baru saja memanggil nama Fani sambil tersenyum manis di tempatnya.

Secara bergantian, mereka menatap orang itu, lalu menatap Fani yang sepertinya tengah merasa gugup.

Cowok berambut hitam dengan baju seragam yang sudah sedikit keluar itu, berjalan mendekat ke arah mereka.

Rainie ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang