Rainie | 26

2.1K 303 124
                                    

Revisi📌

26. Jangan pergi

_________

Gadis itu hanya mampu terdiam, berdiri mematung tanpa pergerakan sedikit pun. Tenggorokannya seakan terasa tercekat. Tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.

Dunianya kini benar-benar berhenti berputar. Bahkan, langit seakan-akan runtuh menimpa tubuhnya yang kian semakin terasa rapuh.

Hanya tetes air mata yang mampu menjadi pembuktian betapa hancurnya ia saat ini.

Setiap orang hanya bisa menatapnya kasihan dengan linang air mata yang seakan mengatakan bahwa mereka juga ikut merasakan apa yang dirinya rasakan.

Rain menggeleng lirih. Seakan ia menolak untuk percaya dengan apa yang dirinya lihat.

Ditatapnya Qinan yang sedang menangis tersedu di dalam pelukan Lala. Seolah meminta pembenaran, bahwa apa yang ia lihat saat ini hanyalah sebuah ilusi yang tidak nyata. Tapi, yang ia dapat hanyalah sebuah anggukan kecil yang menyiratkan makna, bahwa apa yang ia lihat bukanlah ilusi.

"Rain.." Qinan berlari ke arahnya dan merengkuh tubuh rapuhnya itu ke dalam pelukan.

Gadis itu masih terdiam membisu. Tanpa membalas pelukan Qinan. Deraian air mata kembali meluncur dari pelupuk matanya. Tatapannya lurus.

Ke arah seonggok tubuh yang terbujur kaku, ditutupi sehelai kain tipis berwarna putih polos.

Tuhan, benar-benar mengutuk hidupnya. Tuhan, tidak mengizinkannya bahagia lebih lama lagi.

"Rain ... Mama," ucap Qinan dengan suara parau akibat terlalu lama menangis. "Mama, udah pergi."

"Mama, udah gak ada. Tuhan, udah ngambil Mama lebih dulu."

Rain menggeleng pelan, meronta dalam pelukan Qinan. Meminta paksa agar Qinan melepaskan pelukannya dan berjalan ke arah sosok yang sudah terbujur kaku itu.

Tatapan-tatapan penuh rasa iba mengiringi setiap langkah kakinya.

Diusapnya perlahan kedua tangan yang dilipat di perut itu, dari balik kain putih tipis yang menjadi penutupnya. Tangan yang selalu ia harapkan dapat memberikan sebuah pelukan untuknya.

"Mama." Suara Rain terdengar lirih, bergetar menahan tangis.

Dengan sedikit ragu, disingkapnya kain putih itu -- menampakan sosok wajah dari orang yang selalu menjadi hal terpenting baginya. Wajah yang bahkan belum sempat mengukir senyum untuknya.

Ingin rasanya ia tak percaya. Ingin rasanya ia menganggap semuanya hanyalah sebuah ilusi.

Ditatapnya dengan tatapan sendu, wajah yang nampak putih pucat dan terasa dingin menyengat itu.

Membuat Qinan tak mampu lagi menatap ke arahnya. Ia hanya bisa menangis pilu -- jatuh ke dalam pelukan seorang Rafa. Menumpahkan semua air mata yang menyiratkan kehancuran.

"Ma," ucap Rain lirih, bibirnya bergetar menahan tangis. "Bangun ... bangun, Ma. Aku gak mau Mama pergi. Aku masih punya harapan Mama akan meluk aku. Mama bakalan sayang sama aku. Tapi, kenapa Mama pergi, di saat anganku saja belum sepenuhnya mati."

Rain menghela napas panjang. Dadanya seakan terasa terhimpit hingga merasakan sesak yang teramat sangat.

Rain terkekeh pelan dalam tangisnya. Membuat semua orang kian merasa iba. "Sebesar itu ya, benci Mama sama Rain? Sampai Mama pergi saja, Mama gak pamit sama."

Rainie ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang