27|| Putus

563 83 9
                                    

"Kita putus," ucap Pitaloka.

"Apa?! Putus?" ucap Piter tidak mampu menerimanya. Lelaki memejamkan matanya sejenak. Sementara Pitaloka masih dengan posisi yang sama, gadis itu hanya menunduk.

"Pit, ini bisa di bicarakan. Gue gak salah apa-apa 'kan Pit? Kenapa harus putus? Kalau pun, gue ada salah. Tolong kasih tau gue, biar gue perbaiki. Bukan dengan kata 'putus'. Semua ini gak menyelesaikan masalah. Putus bukan solusi," ucap Piter menggenggam kedua tangan Pitaloka.

"Apa yang harus di selesaikan? Kalau nyatanya, gue gak pernah cinta sama lo Piter! Gue gak pernah cinta sama lo!" seru Pitaloka, kini gadis itu menatap kedua mata Piter.

Piter menggelengkan kepalanya beberapa kali.  "Katakan sama gue, lo cuma bercanda. Dan katakan sama gue, kalau semua ini hanya prank," ucap Piter.

"Gue gak lagi nge-prank lo. Selama ini, gue cuma mau kasih pelajaran sama lo. Karena lo selalu gangguin gue. Gue cuma main-main!" ucap Pitaloka menatap Piter.

Piter terdiam, menatap kedua mata Pitaloka. Mencari kebohongan di dalam matanya. Seulas senyum terbit di kedua sudut bibir Piter.

"Oke. Terimakasih untuk 'main-mainnya' lo udah berhasil kok, kasih pelajaran buat gue. Berhasil juga buat hati gue hancur." Piter mengucapkan kalimat itu tanpa ekspresi. "Mulai sekarang, gue gak nganggu lo lagi. Tenang aja," sambung Piter lalu berbalik arah dan meninggalkan Pitaloka.

Perlahan, kedua mata Pitaloka mengeluarkan air mata yang sedari tadi di tahannya.

"Hiks.... Maafin gue Piter. Gue gak pernah main-main soal perasaan ini. Tapi gue lebih sayang sama Mama gue," gumam Pitaloka.

Tangis Pitaloka pecah, di iringi dengan masuknya Lala kedalam kelas. "Pita!" seru Lala. Ketika melihat Pitaloka yang hampir saja jatuh.

"Gue gak pa-pa," gumam Pitaloka. Namun, tidak dapat di pungkiri, air matanya masih saja menetes membasahi kedua pipinya.

"Gue selalu ada buat lo, Pit. Gue janji," sahut Lala tersenyum sendu menatap sahabatnya.

***

Piter membuka pintu rooftop di sekolahnya. Lalu berjalan ke ujung gedung. Dan berteriak sekencang mungkin. "Arghhhhh..." teriak Piter.

Lelaki itu termenung, menatap langit biru di depannya. "Kenapa lo lakuin ini Pit, gue sayang sama lo. Tapi.... Kenapa!"

Piter memejamkan matanya, menikmati hembusan angin yang mampu menerpa wajahnya.

"Nangis aja, kalau mau menangis. Terkadang, air mata itu gak kenal dia cewek atau cowok. Karena sifat dari air mata itu mengekspresikan apa yang kita rasakan," cetus seseorang.

Piter mendongak menatap seseorang itu. Seseorang gadis dengan wajah pucat, dan juga rambut panjang tergerai itu berjalan mendekati Piter.

"Nangis Pit, kalau emang semuanya bisa bikin perasaan lo tenang," ucapnya lagi. Tangan seseorang itu mengusap wajah Piter.

Piter terdiam, menatap sayat-sayatan kecil di pergelangan tangan seseorang itu. "Lun... Lo... "

"Lo tau gak? Kenapa rumah sakit jiwa kebanyakan penghuninya itu lelaki?" potong Luna cepat.

Piter terdiam, lalu menggelengkan kepalanya. Luna tersenyum, melihat respon Piter. "Karena, lelaki itu lebih sulit mengekspresikan perasaannya. Mereka terlalu gengsi untuk menangis. Lo mau jadi salah satu penghuni rumah sakit jiwa?" ucap Luna dengan tawa renyah di akhir kalimat.

Piter tersenyum menatap Luna yang tengah tertawa di sampingnya. Luna, adalah teman masa kecilnya. Bahkan Piter sudah menganggap Luna sebagai adiknya sendiri.

Jupi Story ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang