15 Oktober 2020
•••
"Mas Nasrul!" panggil wanita berambut panjang dengan wajah cantik itu ke arah pria berkumis janggut tebal yang baru saja meletakkan gerobak bertuliskan gado-gadonya ke samping bangunan yang jadi tempat wanita tersebut keluar.
Senyuman pria tersebut merekah, spontan menyeka keringatnya dengan kain di bahu kemudian mencuci tangannya di keran yang tersedia di sana.
"Mbak Vivi, tumben keluarnya lebih awal, pas saya baru dateng lagi." Tawa sosok yang dipanggilnya Mas Nasrul tersebut.
Dan yang dipanggil Mbak Vivi tertawa juga. "Yah, hari ini dibolehin lebih awal aja, soalnya ada yang gantiin. Pesen sepiring, ya, Mas!"
"Kek biasa, ya, Mbak?" Vivi mengangguk, Nasrul menurunkan kursi yang ada di atas gerobaknya beserta meja lipat kemudian menyediakannya untuk Vivi, mempersilakan si wanita duduk di sana dan dirinya mulai menyiapkan gado-gado yang dipesan.
"Pedesnya tambahin dikit, ya, Mas."
"Wah, mau naik level, nih, Mbaknya. Siap, siap!" Keduanya tertawa.
Walau, kala tawa keduanya terhenti, wajah keduanya memurung. Vivi terdiam dengan pikirannya sementara Nasrul mengulek kacang bersama bahan lainnya dengan cepat. Dirinya sesekali menatap plastik yang membalut kotak di bagian wadah atas gerobaknya dan melirik wanita di belakangnya.
"Mas," panggil Vivi tak lama kemudian.
"Iya, Mbak?" sahut Nasrul sekilas menoleh, kemudian mulai memotong lontong dan menyampur tambahan lainnya.
"Sebenernya usia wanita wajib nikah itu kapan, sih?"
Nasrul terdiam, berpikir selama beberapa saat. "Setahu saya, sih, Mbak, enggak ada usia wajib nikah. Tapi usia boleh nikah alias minimalnya. Soal nikah enggaknya, sebenernya itu hak seseorang dan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing jadi bisa dikatakan wajib. Maaf kalau salah, nih, cuman itu yang ... saya tahu, Mbak. Karena selain finansial, mental ataupun fisik harus juga diperhatikan biar rumah tangga mampu dibina, jasmani, rohani."
"Aku sebenernya juga mikir begitu, Mas." Meletakkan kerupuk besar di atas piring yang sudah siap, menyiapkan sendok garpu, Nasrul pun mengantarkan pesanan ke hadapan Vivi. Wajahnya kelihatan sangat murung dan itu membuat Nasrul tertegun.
"Mbak, ada masalah, ya?"
Vivi menghela napas. "Temen sekantorku tadi ngelamar aku, Mas."
Terlihat, wajah Nasrul seketika kaget.
"Dan aku belum jawab apa-apa, karena ... aku belum siap menikah."
Nasrul bergeming, matanya melirik ke plastik yang membalut kotak itu lagi, wajahnya semakin grogi dan kini ia hanya bisa menatap simpati wanita di hadapannya.
"Mas tahu, kan, aku sering curhat soal ... masa lalu aku yang buruk. Aku masih belum bisa membuka hati sama siapa pun, bener-bener belum bisa. Aku harus bagaimana, Mas?"
Nasrul terdiam, sampai mata sayu kecokelatan itu menatapnya.
"Jika ... Mbak merasa masih belum siap, Mbak mungkin bisa ... mungkin bisa ...." Nasrul terdengar terbata-bata.
"Bisa apa, Mas?"
"Memikirkan matang-matang terlebih dahulu, minta waktu luang gitu, Mbak. Yakinkan diri Mbak sendiri Mbak sanggup atau enggak menerimanya. Karena siapa pun enggak bisa bilang Mbak siap atau enggak, karena itu semua dari Mbak sendiri. Saran saya ... berpikir jernih. Jika itu menurut Mbak terbaik, atau Mbak belum bisa menerima, Mbak perlu berpikir matang-matang. Dengarkan hati dan logika Mbak."
Vivi mengangguk. "Yah, saya masih kesulitan aja gitu, Mas."
"Mbak bisa memperhatikan sekitaran Mbak, sekali ini lebih jeli aja Mbak biar masa lalu enggak keulang." Lagi, si wanita mengangguk.
"Vienna!" Keduanya menoleh mendapati seorang pria yang keluar dari gedung yang sama seperti Vivi, ia berlari kecil menghampiri ke arah mereka dan Nasrul langsung menuju ke gerobaknya.
Pria itu kini duduk di hadapan Vivi, menoleh ke arah Nasrul sejenak. "Mas, satu piring, samain aja sama Vivi, ya!"
"Siap, Pak!"
Dengan sendu, Nasrul menyiapkan pesanan, dan sesekali ia menoleh ke arah mereka. Vivi terlihat tersenyum paksa dan pria itu tersenyum lebar ke arahnya.
"Aku matang memikirkan ini, Vivi. Aku bersungguh-sungguh dengan ungakapanku."
Vivi mengangguk. "Iya, aku tau kamu sungguh-sungguh. Tapi ... aku cuman minta waktu aja menjawabnya."
Pria itu tersenyum tulus. "Oke ... aku akan nunggu ...."
Nasrul telah menyiapkan pesanan, kini menyerahkannya ke pria itu, dan kemudian ia memberikan uang lima puluh ribuan padanya.
"Nih, buat bayar kamu berdua. Ambil aja kembaliannya. Saya bawa ke dalem, ya, piringnya, Mas. Nanti sekuriti yang balikin." Ia lalu menatap Vivi. "Vi, ayo masuk, gak sehat makan di luar gini! Ayo!"
Dan Vivi hanya terdiam, menurut saja diajak masuk, meninggalkan Nasrul dalam keadaan menatap mereka dalam diam, kecewa dan sedih sambil memegang uang lima puluh ribuan.
Pria tampan berjas karyawan itu membawa Vivi menuju ke ruang istirahat kantor, duduk berhadap-hadapan di sana kemudian.
"Oh, ya, gimana ... kalau aku ketemu orang tua kamu?"
"Ketemu orang tua aku?" Vivi kaget.
"Iya, sepulang ini, kita ketemu orang tua kamu. Biar mereka dan kamu lihat keseriusanku ...."
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS NASRUL [B.U. Series - N]
Romance18+ Sebuah kisah sederhana tentang Nasrul, tukang gado-gado yang jatuh cinta dengan Vivi, gadis kantoran yang berpendidikan.