Chapter 17

9.5K 837 64
                                    

29 Oktober 2020

•••

Sehari sebelum Vivi kembali bekerja terasa tenang, tak ada gangguan apa pun, seakan ia telah melupakan dua kejadian di mana dua orang pria melamarnya kemudian ia dilanda dilema beberapa hari. Ia masih memikirkannya, tetapi ia tak ingin membebaninya dan memilih menjalankan hari-harinya seperti biasa.

Ia mempelajari soal ini sekarang, tak semenakutkan itu, walau ia masih memiliki beberapa kekhawatiran soal masa lalunya.

Dengan itu, Vivi yakinkan dirinya, sesuai ungkapan Nasrul untuk mengambil langkah berhati-hati. Masa lalu adalah masa lalunya, masa depan ia akan belajar dari sana, dan ia tak akan salah lagi. Ia tidak akan mengatakan dia pasti bisa, ia akan berusaha dan menjadi Vivi yang hati-hati.

Hari ini yang benar-benar tenang, ia manfaatkan agar pikirannya semakin tenang.

Salah satunya, berlari pagi di sekitaran rumahnya, ber-jogging ria ditemani suasana subuh yang siap tergantikan segarnya pagi. Wanita muda itu, menikmati tiap embusan angin yang menyentuh kulit putih dan mengibaskan rambut panjangnya yang dikuncir. Beberapa putaran dan kini ia berhenti di teras.

Ia beristirahat, dan setelah lama barulah sarapan berat bersama keluarganya, dan kemudian mengurus kebun bunganya di belakang rumah.

"Hah ...." Sekalipun agak lelah, Vivi tampak gembira melakukan rutinitasnya yang bebas.

"Gado-gado!" Sampai, teriakan di depan jalanan rumahnya terdengar, Vivi menoleh dan menemukan tukang gado-gado bersama gerobaknya di sana.

Vivi diam di tempat, termenung, jelas ia tahu jika paman gado-gado itu bukan Nasrul. Baik dari suara dan baunya. Namun, kata kunci gado-gado mengingatkannya pada salah satu pelamarnya itu, yang masih ia sembunyikan dari orang tuanya persoalan itu.

Selain bimbang tahu orang tuanya pastinya akan menyatakan Ugo adalah pelamar pertamanya, ia juga tahu mungkin saja mereka tak setuju mengetahui status Nasrul yang hanya penjual gado-gado keliling, dan mungkin mereka tahunya Nasrul itu bapak-bapak padahal pria dengan ketampanan yang ditutupi hutan lebat. Kemudian lagi, Vivi, rasa di dadanya masih bingung.

Adakah cinta di sana?

Entah untuk Nasrul yang cintanya ia anggap sebagai ayah.

Atau entah untuk Ugo, yang cintanya ia anggap sebagai teman.

Benar, cinta.

Vivi tak tahu perasaannya, menyulitkannya untuk memilih, itu mengapa ia memilih mempelajari rasa ini lebih dahulu dan melangkah lebih jauh guna memulainya. Pilihan tepat ada di tangannya, dan ia berpikir soal ... pilihan tepat dari orang yang tepat.

Selesai berkebun, Vivi pun membersihkan diri, rutinitas demi rutinitas ia lakukan tanpa terkecuali, walau sibuk ia terlihat tak menempik jika pikirannya masih ke mana-mana. Kini, ia menidurkan diri, menunggu esok dengan kesiapan matang bertemu dua orang itu. Matanya menutup, beberapa saat ....

Dan wajah demi wajah dua pria tampan itu terputar di kepalanya tiba-tiba.

Membuka matanya lagi, Vivi menghela napas panjang. "Yah, biarkan ini berlalu, Vivi. Kita harus belajar melangkah ke depan, dan kita udah bukan Vivi yang lama lagi." Ia meyakinkan dirinya sendiri, sebelum akhirnya menutup matanya.

Terbangun pun, Vivi dalam keadaan segar seperti biasa, benar-benar siap akan bekerja di liburan yang lumayan menenangkannya. Usai sarapan, ia berpamitan dengan orang tua, dan memakai taksi online langganannya menuju ke kantor. Sampai di sana, ia keluar, dan berjalan menuju ke bangunan besar itu.

Namun, sebelum menuju ke sana, ia menatap ke samping di mana tempat yang biasanya Nasrul tempati sebagai tempat jualannya. Dadanya berdegup, nyatanya menghadapinya memang lebih menggugupkan, tetapi ia menarik napas dalam dan mengembuskannya beberapa kali hingga ia bisa tenang.

Vivi yang belum bertemu langsung dengan Nasrul saja, reaksinya sudah lumayan, dan ia sadari ia harus benar-benar ekstra kala masuk ke kantornya. Menyapa orang-orang dan masuk ke ruangannya, dan entah mengapa kali ini ia memilih mengendap-ngendap layaknya pencuri sampai akhirnya dalam keheningan masuk ke kubikelnya.

"Jadi, dia masih gantungin lamaran elo?" Pertanyaan itu membuat Vivi penasaran, spontan menoleh dan menemukan mereka ada di kubikel tak jauh darinya. Suasana masih sepi jadi semuanya terdengar jelas, itu Ugo dan teman-temannya.

"Yah, gue rasa dia perlu waktu buat ngejawab." Ugo manggut-manggut.

"Bro, bukannya kalian lumayan deket, ya? Masa, dia gantungin elo?"

Ugo menghela napas. "Dekat apanya, gue aja gak tahu banyak hal tentang Vivi. Dia cewek yang ketutup, yang nyimpen banyak masalah sendirian, itu kenapa gue pengen jalan sama-sama sama dia biar dia bisa ngehadepin hal yang dia takutin."

Mendengarnya, Vivi terkejut, ia tersenyum hangat.

"Wuih, gue nyium bau-bau bucin akut, nih!" Teman-temannya tertawa begitupun Ugo.

"Dia bilang dia punya masa lalu buruk tentang cowok, mantan tunangan dia, orang gila mana coba yang kabur pas nikahan buat ninggalin Vivi yang jelas dari segi apa pun lebih dari pelakor?" Vivi terdiam mendengarnya.

"Wah, kasusnya berat, nih, Bos!" Temannya menanggapi.

"Dia trauma, dan bahkan ngonsumsi anti depressan, beberapa kali bundir dan yah ... gue bener-bener sedih banget dengernya. Cewek, yang gue pikir bahagia, nyatanya nyimpan banyak penderitaan di sana. Gue jadi bener-bener gak tega kalau dia jatuh ke tangan yang ... salah." Kemudian, wajah sedih Ugo, tergantikan senyuman. "Dah, matiin rekamannya!"

"Sip!" Vivi terkejut, mengerutkan kening melihat teman Ugo menekan ponsel di tangannya.

"Potong bagian terakhir jangan lupa!" Ugo tertawa. "Gimana? Percakapan kita udah meyakinkan belum?"

"Kita setel ulang!" Dan kemudian, mereka menyetel ulang rekaman yang merupakan percakapan tadi. Setelahnya, mereka tertawa. "Nah, sekarang tinggal kirim ke dia, gue yakin, deh, tu cewek bakal klepek-klepek sama lo!"

Ugo tertawa. "Yoi! Pastilah! Siapa yang gak bakal baper dengerin hal tadi!" Vivi menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca, apa maksudnya itu semua?

"Tapi, oi, apa lo tega ama tu cewek. Udah lo lamar dia, lho, terus lo mainin kek gini!"

Ugo mendengkus. "Ck, siapa yang mau punya cewek depresi, Cuk? Istri? Gue gak mau ngambil risiko anak gue ketularan orang gila."

Sialan ... Vivi mengumpat dalam benaknya.

"Lah, masa iya mental nurun? Perasaan kemungkinannya kecil, deh."

"Dah, gue juga kesel, tu cewek gak ada pegangan sok-sokan gantungin gue. Apa yang kurang dari gue coba? Udah kaya, ganteng, perfect! Cewek gila kok sok jual mahal! Mending, gue ambil aja perawan dia, terus kabur! Lagian bokap gue udah manggil gue buat ke luar negeri!" Ugo tertawa.

"Kejam bener lo, Bos!" Ungkapan itu bukan pengindahan, mereka malah tertawa-tawa mendengarnya.

Vivi tak menyangka, Ugo sekejam itu ... Ugo nyatanya seberengsek itu. Setelahnya pun ia berdiri, melangkah cepat keluar dan tanpa disangka tiga pria itu baru menyadarinya.

"Eh, itu Vivi, kan?" Dan hal itu membuat Ugo menenggak saliva.

Vivi kini menuju ke lokasi tempat biasa Nasrul berada, ia duduk di teras tersembunyi yang tersedia di sana, menunggu dan menungguinya dengan air mata yang berlinang tanpa diketahui orang-orang. Sampai, ia sadar, di jam seharusnya Nasrul hadir pria itu tak datang.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

MAS NASRUL [B.U. Series - N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang