30 Oktober 2020
•••
"Gue mikir ... mungkin gue bisa make duit tabungan nikah gue buat beli sesuatu lagi," kata Nasrul yang tengah menyusun batu bata dan menyemennya kemudian. Ia begitu apik melakukannya meski harus bergelantungan di pengait yang tersedia di sana.
"Sesuatu apaan? Dah jangan dipikirin soal duit lo yang itu, karena mau bagaimana pun lo pasti bakalan nemuin jodoh lo. Perbanyak aja duitnya, dan cari duit buat dari sekarang!" balas Dzaki yang ada di sampingnya.
"Bukan beli sesuatu buat sesuatu, sih. Cuman buat putar modal gitu, biar ada keuntungan. Bikin usaha lain selain ngegado-gado." Nasrul terlihat menggaruk pipinya yang dibalut janggut palsu dengan gelisah. "Gila, nih, gatel banget benda!"
"Kan gue udah kasih tau, gak usah pake! Risih!" Dzaki mendengkus. "Bikin usaha apaan?"
"Gue gak bisa kalau gak pake ini, entar ada kejadian yang gak diinginkan." Nasrul bergedik ngeri. "Maskeran juga, bikin susah napas, ini lebih mendingan, lah." Ia kemudian menghela napas. "Yah, soal usahanya, itu dia yang gue gak tau. Lo, kan, tau keterampilan gue gak banyak!"
"Keterampilan, sih, bisa diasah. Jadi gak perlu repot, yang penting sih lo liatin sekitaran, yang populer akhir-akhir ini. Entah kuliner, entah barang, apalah! Odading misalnya, kan?" Dzaki memukul-mukul paku dengan palunya.
"Hm ... gue pengennya bukan bisnis kuliner, sih, yang beda gitu."
"Udah, jangan dipikirin dulu, entah gak fokus! Nanti dibicarain pas istirahat!" tegur Dzaki, kemudian ia menatap pekerja lain. "Eh, lu ngaduk semen ya nanti! Lu ke belakang, dindingnya dicek keropos atau enggak, kalau iya langsung ancurin aja kalau enggak lanjut ke atas."
"Siap, Bang!" sahut mereka dan mulai melakukan pekerjaannya.
Meski diperintahkan fokus, tetap saja kepala Nasrul kini isinya dipenuhi putaran yang sama soal tabungan nikahnya yang rencananya untuk acara pernikahan ia dan gadis impiannya, Vienna. Namun, apalah daya, ia yang merasa gagal membatalkan rencananya. Sekarang, ia berencana membuat usaha lain dengan uang tak terpakai itu, setelah tabungan hariannya terkumpul nanti.
Jujur, Nasrul masih mengharapkan Vivi, sayangnya cincinnya ... dan kegagalannya mengutarakan rasanya, yah apa boleh buat. Nasrul harus menerima kenyataan jika ia tak sanggup menyatakannya lagi, meski ia bisa membeli cincin baru. Karena yang ia ketahui, Vivi masih dalam kondisi seperti itu. Ia sadar diri.
Ia pun hanya dekat dengan Vivi, berbeda dengan Ugo yang dekat dengan kedua orang tua Vivi karena berani ke rumahnya. Lagi, Ugo lebih superior darinya. Kenyataan menampar Nasrul keras.
"Aw!" Bahkan hal itu membuatnya tak fokus dan alat perata semen malah memukul jarinya.
"Ck, tuhkan lo gak fokus banyak pikiran!"
"Ya, maaf ...." Nasrul menghela napas panjang, ia harus fokus bekerja.
Dan setelah selesai bekerja, mereka pun beristirahat bersama, makan siang yang disiapkan Tuan Rumah kepada mereka. Teh hangat dan teh es serta gorengan.
"Lo gak ada rencana bikin gado-gado lo jadi warung tetap, Rul?" saran Dzaki di sela-sela makan pisang gorengnya. "Itu lumayan menguntungkan, sih, terlebih ada aplikasi online gitu. Bisa lo sambungin, sih. Keuntungan berlipat."
"Hm, bener juga ...." Nasrul manggut-manggut. "Cuman, kalau gue sendirian karyawannya, gue gak bisa dah!"
Dzaki menghela napas panjang. "Uh, bener juga, sih. Terus lo sendiri ada ide lain?"
Nasrul menggedikan bahu.
"Ya udah, pas pikiran kita gak capek aja nanti pikirin!" Nasrul manggut-manggut, ia menyantap makanannya dan mengunyah, tetapi terdiam dan mengeluarkan sesuatu yang lain dari mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS NASRUL [B.U. Series - N]
Romance18+ Sebuah kisah sederhana tentang Nasrul, tukang gado-gado yang jatuh cinta dengan Vivi, gadis kantoran yang berpendidikan.