Chapter 13

11K 856 19
                                    

26 Oktober 2020

•••

Vivi bangkit dari tidurnya dengan pelan, terduduk di tepian kasur bersama wajahnya yang kelihatan banyak pikiran. Sendu, dan senyap, kemudian mata cokelatnya menatap sesuatu di atas meja. Yaitu kotak berisi cincin dan kertas melamar.

Ia tak menyangka banyak hal.

Pertama, fakta jika orang yang menjadi gudang curhatnya nyatanya seumuran dirinya. Ia tak habis pikir jika di balik jabis tebal itu tersimpan wajah tampan yang muda. Wajah tampan yang membayang-bayangi isi kepalanya. Ia berpikir Nasrul adalah sosok ayah dengan ungkapannya yang dewasa, ia mempercayakan semua nasihatnya ke dia karena selalu punya balasan yang amat menenangkan hatinya.

Kedua, lebih aneh, nyatanya Nasrul menyimpan rasa padanya. Tak ada perasaan di dada Vivi karena berpikir Nasrul itu bapak-bapak, ia memanggilnya Mas pun bukan karena tahu umurnya melainkan itu bisa dikatakan panggilan sayang pada Nasrul yang merupakan sosok orang tua kedua baginya.

Nasrul tahu banyak hal tentang dirinya, tetapi Vivi yang jarang menjadi pendengar Nasrul dan baru-baru ini ....

Ketiga puncak segalanya, Nasrul melamarnya.

Aneh, mengetahui Nasrul tahu jika Vivi sudah dilamar dan bahkan reaksinya pada Ugo berubah drastis. Buruk. Kenapa Nasrul bersikeras untuk melakukannya? Vivi juga pun pernah bilang padanya kalau ia tak membuka hati para siapa pun. Vivi semakin dilema dengan hidupnya. Walau yah tampaknya Nasrul yang sadar akan hal itu memilih kabur dan tanpa sengaja benda itu, bersama Plan B entah dari siapa, jatuh ke tangan Vivi.

Sekarang, ada dua pria di sekitarnya, menginginkan jawaban darinya.

Vivi memegang dadanya yang tiba-tiba sesak, bukan napasnya, hanya dadanya, seperti ada sesuatu bertumpuk di satu tempat yang membuat bagian hatinya tergencet sedemikian rupa. Ini pilihan berat, semua yang baru saja terjadi benar-benar berat dan rumit, sampai ia sadar di kepalanya kini sekelumit ingatan hadir.

"Sumpah, ya, Mbak. Mbak ini wanita yang benar-benar kuat, kayak warrior!" ucap Nasrul seraya menyiapkan gado-gado untuk pelanggan terbaiknya, Vivi, yang duduk setelah menceritakan masa lalunya tentang mantan tunangannya.

"Cuman ... karena hal itu, saya punya trauma, Mas. Saya bahkan takut sama hubungan, saya juga takut banyak cowok, dan menjadi pribadi yang tertutup kecuali sama keluarga saya. Dan Mas tentunya."

"Itu pilihan yang tepat, Mbak." Nasrul tersenyum, gado-gado Vivi yang siap membuatnya menyerahkan piring itu ke sana.

"Tapi ... itu tandanya aku penakut dan gak berani jalan ke depan, kan?"

"Justru karena Mbak berusaha jalan ke depan, Mbak menjadi lebih selektif. Ini demi kenyamanan hati Mbak, demi mendapatkan pilihan tepat dan gak salah lagi. Pertahanan diri itu justru menurut saya bagus, karena Mbak akan terus belajar dari pengalaman, dan Mbak akan membuka pertahanan itu kepada orang tepat. Mbak bukan bikin tembok rasa takut, tapi tembok pertahanan supaya lebih selektif."

"Ah, gitu, Mas?"

"Justru rasa takut hal wajar, agar langkah kita lebih hati-hati!"

Vivi tersenyum.

Dan ia ikut tersenyum di dunia nyata, dadanya tak lagi merasakan sakit, dan dibandingkan wajah Ugo yang entah kenapa membuatnya sakit kala ia mengingat pria yang berjabis kemudian wajahnya semulus pantat bayi itu ada rasa lega di sana. Ia terus mengingat betapa dewasa tanggapannya, berapa baik hatinya dia, kemudian betapa sabarnya dirinya.

Kemudian, tahu mereka seumuran ....

"Apakah ... ini pilihan tepat?"

Sejujurnya, selain sosok ayah yang ia sukai dari Nasrul itu, ia sadari ada sosok lain yang memang membuatnya terbuka soal rahasianya pada pria itu ....

Senyum Vivi semakin melebar.

"Vivi, Sayang, kamu sudah bangun?" Ibunya mengetuk pintu.

Vivi menoleh ke arah pintu. "Udah, Bu. Vivi mandi dulu, ya," sahutnya dan ibu Vivi di balik pintu tersenyum mendengarnya.

"Nada suara Vivi keliatan seneng, Yah!"

"Bagus, tuh, bagus!"

"Cuman ... Ibu masih penasaran sama kemarin. Vivi mood-nya jadi naik turun. Pokoknya kita harus susun rencana!" Suaminya mengangguk.

Setelah Vivi membersihkan diri, ia memakai pakaian santainya, sebelum akhirnya menuju ke dapur di mana sudah tersajikan sarapan mereka pagi itu. Vivi duduk di kursinya, di hadapan meja melingkar bersama dua orang tuanya.

Mereka terlihat bahagia melihat wajah Vivi yang berseri.

Mereka sarapan dengan lahap, sesekali bercanda, hingga akhirnya selesai Vivi terlihat siap mengatakan sesuatu.

"Bu, Yah." Kemudian, ia terdiam.

Awalnya ia yakin pilihannya, tetapi ia mengingat seorang Ugo, seniornya di tempat kerja yang juga melamarnya, bahkan lebih. Pria itu baik, hanya saja perasaan Vivi padanya yang tak mengatakan demikian, bukan berarti Ugo jahat tetapi ... rasanya mengganjal karena kedekatan mereka yang minim hingga pilihannya demikian dan ia ... merasa bersalah akan hal itu.

"Vi, kenapa?" tanya sang ayah karena cukup lama anak gadisnya terdiam.

Vivi menggeleng, wajahnya kini memurung lagi dan itu mengkhawatirkan keduanya. Meski kemudian, ia tersenyum paksa. "Makanannya enak, Bu, Yah."

"Syukurlah kalau kamu suka." Ibunya tersenyum. "Kamu ... pengen gado-gado Mas Nasrul, gak? Ibu mau nyuruh Ayah beli gado-gado dia. Ibu sama Ayah jadi ketagihan buat makan."

"Eh? Bu?" Suaminya menatap aneh. "Baru aja makan, masa mau makan lagi?" Istrinya mengerjap-ngejapkan mata, seakan memberi kode tetapi suaminya kelihatan tak paham.

"Gak papa, disimpen buat makan siang." Ia kemudian menatap Vivi yang kini ekspresinya semakin murung. "Vi, kenapa?"

"Huh ... kemarin ... Mas Nasrul ada di depan." Keduanya terlihat bertukar pandang, akhirnya Vivi berbicara. "Dia pake masker, yang gak dibuka-buka padahal dia mau makan bakso, dan pas dibuka ternyata kumisnya ada yang ilang gegara salah cukup."

"Eh? Mas Nasrul ke sini? Ibu sama Ayah gak tahu, lho. Kalau tahu kami beli lagi. Apa dia bakalan ke sini, ya?" Ayahnya memanas-manasi.

Vivi menggedikan bahu.

"Yah, biarin Vivi selesain ngomong! Terus kenapa, Sayang?"

"Aku jadinya bantuin Mas Nasrul buat potongin kumisnya yang gundul sebagian, dan aku kaget ternyata dia bukan bapak-bapak seumuran Ayah. Kami cuman beda satu tahun." Dan suami istri itu kembali bertukar pandang, membenarkan.

Tinggal, kotak dan kertas itu.

"Terus, dia kabur."

"Eh? Kabur? Kok kabur? Kabur kenapa?"

"Ayah, santai ngomongnya!" Istrinya menghentikan suami yang bertanya menggebu.

Vivi menggedikan bahu. "Entah." Kemudian, si gadis berdiri dari duduknya. "Aku mau cuci piring dulu, ya, Bu, Yah." Dan ia beranjak menuju ke westafel.

"Yah ... Vivi gak ceritain soal kotak sama kertas itu." Suaminya merengut kecewa.

"Dia mungkin belum siap, jadi lebih baik kita aja yang bertindak."

"Gimana, Bu?"

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

MAS NASRUL [B.U. Series - N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang