Chapter 22

10.9K 840 59
                                    

"Jadi, aku pengennya pestanya kecil aja, Mas. Dan yang diundang cuman keluargaku, keluarga Mas, atau kerabat kita." Dan siapa sangka, Dzaki benar, bahkan jika dihitung pun begitu banyak sisa baik di tabungannya jikalau pun hanya Nasrul yang membayar. "Kita patungan, ya, Mas?"

"Jangan, Vivi. Aku aja yang bayar. Aku pria, aku yang bertanggung jawab atas pernikahanku," ujar Nasrul meyakinkan.

"Mas serius?" Tentu saja, Nasrul mengangguk menanggapinya. "Setelah ini kita tinggal ngurus surat-suratnya, dan yah masih ada banyak hal."

"Mas tahu banyak soal pernikahan? Aku baru cek di google soal itu, sih." Vivi terdiam selama beberapa saat, ada raut ketidaksiapan di sana.

"Ah, aku nanya ke temenku, Dzaki, yang kemarin."

"Ah, Dzaki, dan itu istrinya, kan?" Nasrul mengangguk, dan Vivi tertawa. "Mereka keliatan mesra, ya. Dan yah, panggilannya mesra banget kayak pasangan baru kemarin."

"Yah, Dzaki itu guru yang baik buat soal cinta-cintaan, buktinya dia yang nolongin aku ... ke kamu." Nasrul kelihatan malu-malu begitupun Vivi. "Dia suami dan calon ayah yang baik, istrinya yang hamil dimanjain terus dan mereka mesra terus saling support. Pokoknya seakan gak terpisahkan!"

Vivi mengangguk. "Aku liat begitu, aku ... semakin ngerasa ada harapan buat move on dari masa laluku." Ia menatap Nasrul. "Aku ... dan Mas ...."

"Aku udah banyak berjanji, dan janjiku janji laki-laki." Nasrul tersenyum, dan Vivi tertular senyuman tersebut. "Oh, ya, aku ada rencana buat bikin usaha ponsel setelah kita menikah nanti biar dijadiin modal tetap dan membiayai ... kita dan anak-anak nanti. Menurut kamu gimana?"

"Eh? Kenapa? Gak ngembangin usaha gado-gado Mas aja?" bingung Vivi.

Nasrul mengulum bibir. "Ugh, kalau itu ... aku enggak bisa."

"Kenapa?"

"Soalnya ... gado-gadoku enggak enak kalau aku gak punya janggut dan kumis." Vivi mengerutkan kening, aneh.

"Maksudnya?"

"Ini pantangan keluargaku, cuman keluargaku yang bisa bikin gado-gado resep keluarga Guritno, dan hanya bisa enak kalau kami punya kumis sama janggut. Kalau enggak." Nasrul menggeleng. "Itu kenapa aku enggak bisa bikin usahaku lebih gede, dan aku kemarin-kemarin berhenti jualan."

"Lho, masa begitu, Mas?" Wajah Vivi semakin heran. "Cuman sugesti Mas aja mungkin?"

Nasrul menggeleng. "Kamu bisa nyicipin gado-gadoku kalau mau, dan Dzaki tau kalau semuanya enggak ada yang enak padahal resep kek biasa."

"Ada yang begitu, ya, Mas? Aku ... bingung." Vivi mengulum bibir. "Padahal sebenernya aku pengen katering kita ... gado-gado Mas aja salah satunya."

"Maaf, Vi ...."

"Omong-omong, apa itu alasan Mas Nasrul ...." Ia menunjuk wajahnya sendiri dan Nasrul mengangguk. "Aku masih bener-bener bingung."

"Kalau kamu enggak percaya, kita bisa ke rumahku sebentar!"

"Enggak, aku ... percaya, kok, sama Mas." Vivi tersenyum simpul. "Aku tahu Mas gak pernah bohong ke aku." Nasrul memerah karenanya. "Nanti mungkin kateringnya kita beli ke orang aja, ya?"

MAS NASRUL [B.U. Series - N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang